Kamis, 04 September 2014

Kebudayaan di Ujung Tanduk

Kebudayaan di Ujung Tanduk

Mukhlis Paeni  ;   Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI);
Ketua Dewan Pembina Asosiasi Tradisi Lisan (ATL)
KOMPAS, 04 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

APAKAH sumbangan kebudayaan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara? Betulkah kebudayaan hanya akan membebani keuangan negara, juga dianggap belum jelas peranannya, jika ia menjadi satu kementerian yang berdiri sendiri?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, mari kita tengok negeri yang bertaburkan pulau (ada 17.404 pulau, besar-kecil) di atas bentangan dua samudra ini: Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Indonesia adalah sebuah negara yang secara geografis membentang sepanjang lebih kurang 5.000 kilometer: dari barat ke timur, dari Sabang ke Merauke. Indonesia juga diimpit dua benua, Asia dan Australia. Penduduknya 251.160.124 jiwa, terbesar ke-4 di dunia setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat.

Bangsa Indonesia—begitulah sebutan ikatan politik dari 1.280 suku bangsa yang mendiami negeri ini—memiliki kekayaan ekspresi budaya yang tak terhitung jumlahnya. Baik dalam wujud tata nilai dan etika berperilaku yang menjadi fondasi pembentukan karakternya maupun dalam wujud ekspresi budaya materi yang diciptakannya sebagai hasil kreativitas dan inovasinya menjawab berbagai tantangan zaman.

Kurang diperhatikan

Jejak-jejak peradaban yang mereka tinggalkan berserak di mana-mana. Ada yang tertidur pulas di lemari-lemari kaca museum—baik yang terurus maupun yang tak terurus, ada yang dibiarkan terbengkalai (hujan kehujanan dan panas kepanasan) hingga akhirnya lapuk termakan zaman. Ada yang berpindah tangan ke makelar barang antik, yang kemudian bernasib baik dipajang dengan megah di etalase lemari museum di berbagai kota besar di Eropa, atau dipajang di ruang tamu rumah orang kaya.

Dan, yang tak kalah serius adalah raibnya manuskrip-manuskrip dalam berbagai jenis, seperti lontara, babad, tambo, hikayat-hikayat, dan naskah-naskah keagamaan abad ke-16 hingga awal abad ke-18 dalam jumlah yang sangat besar setiap tahun. Benda-benda pustaka ini adalah khazanah pengetahuan yang justru sangat serius dijadikan kajian di berbagai universitas dan lembaga ilmu pengetahuan di dunia, terutama di negara-negara tetangga, khususnya Malaysia. Ironisnya, di negeri sendiri ia tak memperoleh perhatian.

Tahukah Anda bahwa sebuah manuskrip sekumal apa pun wujudnya dihargai Rp 5 juta oleh pembeli naskah/manuskrip kuno? Anda pun bisa membayangkan bahwa naskah-naskah kuno itu setiap tahun berkarung-karung mengalir ke luar negeri. Marah, geram, dan amat sedih melihat adegan ini. Akan tetapi, mau marah kepada siapa? Keadaan ini masih berlangsung hingga hari ini, tetapi siapa yang bertanggung jawab?

Inilah yang antara lain menimpa berbagai produk budaya kita, seperti juga kasus hilangnya patung tau-tau di kuburan-kuburan batu di Toraja, keris-keris pusaka di berbagai pura di Bali, koleksi museum, benda cagar budaya bawah air, dan kepala-kepala arca yang dipenggal. Lalu, bagaimana dengan batik-batik bodong yang diselundupkan, produksi kerajinan tangan tradisional dari Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera, yang semua itu bisa ditemukan di berbagai toko cendera mata di negeri tetangga dengan label produk budaya mereka. Tak secuil pun label ”made in Indonesia”, padahal jelas-jelas itu karya perajin tradisional Indonesia. Akan tetapi, siapa yang peduli? Kejadian seperti ini bukan cerita baru karena hingga kini dibiarkan berlangsung tanpa ada yang merasa kehilangan mukanya.

Budaya: mata tambang baru

Negeri kita amat kaya dengan keanekaragaman jenis tambang yang ada di perut bumi: gas alam, minyak bumi, batubara, bauksit, timah, emas, tembaga, batu mulia, marmer, granit, dan banyak lagi. Namun, semua tahu bahwa cepat atau lambat kekayaan itu akan habis. Timah di Bangka dan Belitung sudah akan habis. Begitu pula minyak bumi diprediksi akan habis dalam 50 tahun ke depan.

Bagaimana dengan deposit budaya? Deposit tambang alam dan deposit tambang budaya sangat berbeda perlakuannya. Deposit tambang alam seperti batubara, minyak, gas alam, emas, dan bauksit jika dieksploitasi terus-menerus pasti akan habis. Sebaliknya, deposit tambang budaya apabila terus dieksploitasi justru akan bertambah subur karena ia merupakan ”deposit terbarukan”. Kebudayaan tambah diperhatikan tambah berkembang, malah sebaliknya jika dibiarkan tanpa perhatian, ia akan musnah. Tentu saja dengan catatan bahwa eksploitasi budaya sebagai deposit industri budaya memerlukan cara tersendiri sehingga karya budaya yang ditambang tetap menjadi mata air yang jernih, tetap menjadi sumber inspirasi bagi munculnya kreativitas, inovasi, dan penciptaan baru yang lebih bervariasi.

Kekayaan budaya sebagai mata tambang baru bagi industri budaya Indonesia ribuan jenisnya walau hingga kini kita baru berhasil mengidentifikasikan sebanyak lebih kurang 4.000 jenis. Jumlah sebanyak itu belumlah berarti dibandingkan dengan masih banyaknya karya budaya yang belum teridentifikasi. Namun, itu pun tak ada artinya jika hanya dibiarkan saja tanpa kepedulian.

Kini bangsa Indonesia berhadapan dengan sebuah era baru yang disebut Era Industri Budaya. Pada era ini masyarakat Indonesia diharapkan dapat menemukan sebuah cakrawala baru dalam tatanan kehidupannya di bidang pengelolaan kebudayaan.

Industri budaya adalah wujud dari upaya mencari sebuah solusi bagi pembangunan berkelanjutan. Iklim perekonomian yang berdaya saing dan memiliki sumber daya yang aktual harus diciptakan dan dicari. Kreativitas seni perlu ditumbuhkan, inovasi teknologi harus diciptakan, dan semangat wirausaha yang mampu menghasilkan nilai ekonomi baru perlu dikembangkan.

Kreativitas seni yang berasal dan lahir dari ide serta pikiran manusia, bermodalkan ide-ide kreatif, talenta, dan keterampilan, harus ditumbuhkembangkan. Akan tetapi, tidak berarti bahwa manusia (Indonesia) memiliki kebebasan mutlak menuangkan kreativitasnya secara bebas seperti yang ada dalam otaknya. Sebab, kreativitas tetap punya aturan, nilai-nilai, dan tanggung jawab. Hal itu tak lain karena hasil kreativitas itu akan bertemu dan dinikmati oleh masyarakat sekitarnya yang punya aturan nilai-nilai dan tanggung jawab terhadap lingkungannya, kebudayaannya, serta terhadap negara dan bangsa.

Masalah utama yang dihadapi ialah deposit budaya daerah yang kita miliki tidak terpelihara alias tidak terjaga dengan baik. Sementara di pihak lain, sumber daya manusia (SDM) yang menjadi mediator bagi pengembangan industri budaya tersebut belum disiapkan secara serius dan optimal. Jika kondisi ini belum disiapkan, ini berarti bahwa perhatian kita terhadap pembangunan kebudayaan masih sangat rendah. Padahal, SDM industri budaya tidak hanya dituntut agar kreatif, tetapi juga diharapkan memiliki hati nurani. Kreativitas yang dihasilkan bukan kreativitas tanpa batas, melainkan kreativitas yang bertanggung jawab.

Karena itu, jika pembangunan di bidang kebudayaan belum menjadi perhatian utama kita, terutama oleh pemerintah, jangan marah jika dewasa ini negara tetangga sudah mulai menambang deposit budaya daerah kita melalui pintu globalisasi, melalui internasionalisasi perdagangan bebas, dan banyak pintu lain. Sementara kita masih berkata: ”Ah, Belanda masih jauh!”

Profesional-”skill”-moralitas

Sangat disadari bahwa penanganan industri budaya memerlukan keahlian khusus untuk mengolahnya. Perlu profesionalitas dan skill, keterampilan, yang tepat untuk mengerjakannya. Di samping itu, juga diperlukan moralitas yang tinggi sebagai landasannya.

Hasil-hasil kreasi industri budaya seharusnya menjadi karya-karya unggul yang dapat mengangkat harkat bangsa, dan karena itu ia harus menjadi karya yang mendunia, yang mengglobalkan produk imajinasi kreatif anak bangsa. Tentu saja karya-karya tersebut harus dilindungi kaidah-kaidah hukum yang berlaku secara internasional. Karena itu pula ia harus dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta. Perlindungan hak cipta tidak sekadar melindungi karya-karya cipta itu sendiri, tetapi lebih dari itu ia adalah sebuah kekuatan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan kebebasan berkreasi.

Dalam hubungan ini negara berkepentingan melindungi harta warisannya sebagai pemilik ”deposit budaya” dan negara berkepentingan melindungi masyarakatnya agar tidak menjadi obyek eksplorasi industri tanpa nilai tambah bagi kesejahteraan hidup masyarakat. Negara juga berkepentingan menjaga dampak negatif yang ditimbulkan oleh eksplorasi karya-karya budaya bangsa, terutama jika eksplorasi itu akan merugikan masyarakat dan negara secara umumnya.

Namun, apa yang kini terjadi? Gondang sembilan lebih sering ditabuh di Johor dibandingkan dengan di Sumatera Utara. Reog ponorogo dan tari pendet menjadi latar promosi Malaysia. Rendang pun sudah menjadi masakan tradisional Malaysia. Tenunan bidai (bide) dari Kalimantan Barat dijual ke tetangga, tetapi dalam perjalanan sang bidai berganti nama menjadi tenunan Serawak. Dewasa ini angklung juga sudah diajarkan di sekolah-sekolah di negeri tetangga. Sementara produksi gamelan Jawa lebih banyak dibuat untuk ekspor dibandingkan dengan untuk kepentingan dalam negeri, dan entah apa yang menyusul.

Namun, kita pun tidak dapat menutup mata bahwa dalam lima tahun terakhir ada ratusan film dan sinetron yang beredar di negeri kita ternyata bukan ciptaan murni anak bangsa, melainkan hanya jiplakan semata. Tak hanya jalan cerita, judul dan posternya pun dijiplak dari sana-sini. Kalau ini dibiarkan berlarut-larut, apakah ini bukan bencana budaya? ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar