Republik
Darurat Migas
Rieke Diah Pitaloka ;
Anggota
DPR dari Fraksi PDI-P
|
KOMPAS,
11 September 2014
JERO
Wacik ditetapkan jadi tersangka!” Kasus Jero Wacik berhari jadi topik hangat
di media cetak dan elektronik. Menteri yang juga memegang palu penentu
kebijakan migas ini diduga terlibat korupsi pengadaan proyek, penyalahgunaan
wewenang, dan melakukan pemerasan. Menurut Pusat Pelaporan Analisis dan
Transaksi Keuangan, Jero terindikasi melakukan pencucian uang. Kasus ini
menggugah pertanyaan: betulkah devisit kas negara dan problem energi
penyebabnya adalah subsidi bahan bakar minyak (BBM)? Apakah kasus-kasus yang
dituduhkan kepada Jero hanya soal tindakan ilegal seorang menteri?
Dalam
waktu hampir bersamaan, di forum terbuka, Joko Widodo menyampaikan kegeraman
terhadap mafia migas dan komitmen untuk memberantasnya. Ini sesungguhnya
sinyal sekaligus seruan seorang pemimpin: republik darurat migas,
pemberantasan mafia migas tidak bisa ditunda!
Selama
ini mafia menggurita bagai hantu, tidak kasatmata, tetapi jadi bagian dari
pemiskinan yang sistematis dan terstruktur. Anthony Giddens mengungkapkan,
semua interaksi sosial yang berulang akan melahirkan struktur. Karena itu,
perbaikan tata kelola energi nasional bukan sekadar memburu mafia migas.
Persoalan ini harus diletakkan pada kerangka berpikir perubahan struktural.
Perombakan struktur
Perubahan
dari struktur yang sedang berjalan butuh perombakan dalam tiga kerangka
interaksi sosial. Pertama, interaksi komunikasi, yang menghasilkan struktur
yang disebut pemaknaan. Kualitasnya ditentukan kerangka penafsiran. Tafsir
terhadap Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 hal yang fundamental. Ini roh
dan jiwa yang melahirkan pemaknaan tujuan bernegara: kesejahteraan
berkeadilan sosial.
Semua
kebijakan dan praktik politik dan ekonomi harus menjamin terciptanya
kesejahteraan umum. Artinya, terkait tata kelola energi nasional, Pasal 33
UUD 1945 adalah cakrawatinya.
Cabang-cabang
produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (bukan
oleh mafia migas). Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dikuasai
oleh negara bermakna negara penentu dalam pengaturan, pengelolaan,
pengurusan, dan peruntukan dari sumber daya alam Indonesia. Peruntukan hasil
pengelolaan bagi seluruh rakyat bermakna segenap rakyat, tanpa membedakan
status sosial dan ekonomi.
Di
mana letak distribusi keadilan dari ”si kaya” kepada ”si miskin”? Fungsi
tersebut ada pada ranah yang disebut keadilan sosial. Konstitusi meletakkan
fondasi perimbangan pada kedudukan seseorang dalam masyarakat. Keadilan
sosial berarti hak individu harus punya fungsi sosial (penerapan pajak progresif
dan prinsip gotong royong dalam sistem jaminan sosial).
Interaksi
sosial kedua adalah kekuasaan, yang membentuk struktur dominasi. Kualitasnya
ditentukan modalitas berupa fasilitas, yaitu ekonomi, sosial, politik, dan
budaya.
Dalam
masalah migas, potret dominasi bisa saja terjadi pada praktik monopoli dalam
mekanisme impor minyak. Perusahaan swasta yang ditunjuk pemerintah bertindak
sebagai ”koresponden supplier”, jadi penentu tunggal yang mengatur perusahaan
migas yang bisa terlibat pemenuhan kebutuhan BBM nasional dan menentukan
harga jual kepada pemerintah. Artinya, perusahaan yang sama mendikte berapa
uang rakyat yang harus dikeluarkan dari kas negara untuk membeli BBM impor,
tanpa rakyat pernah tahu berapa harga sesungguhnya dari para supplier.
Pemecah
kebekuan dominasi bisa dilakukan dengan resep yang oleh Soekarno disebut retooling. Ganti semua sistem dan alat
(termasuk orang) dalam produksi, juga distribusi pada tata kelola energi
nasional.
Harus diambil alih
Bagaimana
cara menentukan sistem dan alat agar tak lagi salah kaprah? Pada tataran ini,
tafsir dan pemaknaan terhadap konstitusi berperan. Sudah saatnya melakukan
retooling pengelolaan energi Indonesia: direorganisasi, dibelokkan setirnya
ke arah pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945.
Buat
terobosan pengambilalihan oleh negara atas peran dan praktik dalam pemenuhan
kebutuhan BBM, seperti dilakukan beberapa negara lain. Pemerintah membuat
sistem berbasis budaya transparansi dalam mekanisme impor, mulai dari tender,
kontrak, pendistribusian, hingga penentuan harga beli oleh pemerintah. Jika
ini dilakukan, biaya yang dibayarkan dari kas negara pun akan terkontrol dan
sesuai kebutuhan sesungguhnya. Tentu rakyat akan menikmati harga BBM yang tak
mencekik.
Apakah
pihak swasta tetap dilibatkan dalam? Retooling berarti juga ”mengorganisasi
dan menghimpun tenaga-tenaga serta modal”. Pihak swasta boleh saja
dilibatkan, tetapi kendali tetap di tangan pemerintah.
Dilibatkan
tak berarti bebas dan pasrah pada mekanisme pasar. Tetap ada syarat mutlak,
syarat yang tak boleh dikompromikan. Semua tenaga dan modal yang dilibatkan
adalah siapa pun yang sepakat dan ikut memperjuangkan upaya meretas jalan
kedaulatan energi. Tujuannya satu: kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat yang
berkeadilan sosial.
Hendaknya
ini jadi kesepakatan nasional. Kesepakatan untuk menjauhkan semua pihak yang
membuat kocar-kacir ekonomi nasional, pihak yang punya andil dalam defisit
keuangan negara, termasuk mafia migas dan penggawanya.
Hal
ketiga dalam interaksi sosial adalah moralitas atau sanksi, yang membentuk
struktur legitimasi. Legitimasi harus mengacu pada hukum dan aturan. Tanpa
merombak regulasi, tak mungkin ada perubahan struktural meski telah dilakukan
tafsir ulang dan retooling.
Aturan
tentang energi seyogianya mencermati ”hajat hidup orang banyak (public
goods)” yang diamanatkan konstitusi. Selama ini tidak ada definisi pasti,
terjadi multitafsir, perdebatan yang meluas dan mendalam yang justru jadi
pintu masuk pergeseran public goods
ke commercial goods. Sumber daya
alam jadi komoditas dagang semata. Prioritas bukan pada tata kelola yang
berpihak kepada rakyat, melainkan pada tata niaga yang orientasinya hanya
untung-rugi orang per orang dan kelompoknya.
Perspektif
tersebut agaknya menyusup ke berbagai regulasi, seperti pada UU No 30/2007
tentang Energi. Harga energi didasarkan pada nilai ”keekonomian” berkeadilan.
Frasa ”keekonomian” digunakan pula dalam peraturan pemerintah tentang
kebijakan energi nasional. Patut dicurigai kata ”keekonomian” bercitra
keadilan, tetapi sesungguhnya mengandung muatan kekerasan simbolik yang
melanggengkan watak pasar dalam energi nasional.
Tak
boleh lagi ada kasus seperti yang terjadi pada Jero Wacik. Namun, ini bukan the end of the beginning, bukan akhir
dari permulaan. Kejadian ini justru the
beginning of the beginning, pucuk dari tata kelola energi yang memerlukan
trilogi nasional: semangat, kemauan, dan tindakan nasional sebagai pancang
kedaulatan energi Indonesia. Ini urusan kita bersama, bukan hanya tanggung
jawab Jokowi! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar