Kamis, 11 September 2014

Visi Kebudayaan Suatu Keniscayaan

Visi Kebudayaan Suatu Keniscayaan

Taufik Ikram Jamil  ;   Sastrawan
KOMPAS, 11 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

PEMBICARAAN mengenai kebudayaan berkaitan dengan menyambut pemerintahan baru pimpinan Jokowi-JK dapat dikatakan tergolong sepi. Padahal, kebudayaan merupakan satu dari tiga konsep Trisakti yang disodorkan pasangan tersebut—selain ekonomi dan politik—dalam visi dan misi mereka.
Di samping itu, pembangunan kebudayaan melalui arus utamanya berupa produk budaya merupakan suatu keniscayaan di tengah arus kesejagatan (globalisasi) yang makin deras.

Sebaliknya, patut diakui bahwa pembicaraan mengenai kebudayaan yang sepi tersebut mungkin saja disebabkan sifat ekonomi dan politik sebagai unsur penting kebudayaan. Apalagi mendambakan ekonomi yang mandiri dan kedaulatan politik, tidak dapat tidak harus didasari pada kemampuan dan keperluan tempatan dengan perspektif pengembangan diri. Bukankah, pada dasarnya, kebudayaan itu merupakan upaya manusia memenuhi keperluannya?

Dalam wacana kemandirian ekonomi, misalnya, ditandai kedaulatan pangan, antara lain mewujudkan swasembada beras. Pasalnya, beras yang merupakan kebutuhan dasar sebagian besar masyarakat tidak sedikit harus diimpor. Padahal, lahan dan teknologinya masih dapat dikembangkan. Apalagi di sejumlah kelompok masyarakat, teknologi pertanian dan sistem pengerjaannya bukanlah hal asing, seperti dikenal dengan nama subak di Bali serta botobo di Sumatera.

Begitu juga dengan politik, yang bukan baru dalam masyarakat di Indonesia melalui sistem kerajaan dan masyarakat adat. Hal ini dapat diimplementasikan melalui kenyataan bahwa masyarakat harus dikelola berdasarkan pengalaman kolektifnya dalam bernegara, yang terhimpun melalui keterwakilan mereka dalam lembaga-lembaga negara. Dengan demikian, legislatif dan eksekutif harus benar-benar dibangun sebagai pihak yang tepercaya untuk menyuarakan kepentingan masyarakat.

Demikian pula pembangunan maritim, yang digadang-gadangkan Jokowi-JK, pada hakikatnya tidak hanya menjembatani antarpulau dengan suatu sistem transportasi yang teruji. Akan tetapi, lebih dari itu, menyangkut berbagai hal kebutuhan dasar manusia dan mengembangkannya. Dalam konsep maritim, misalnya, bagaimana Selat Malaka yang jenuh pungut disuburkan kembali di tengah jumlah nelayan yang makin membesar.

Orientasi budaya

Cuma saja, sosok kebudayaan tidak hanya berupa aktivitas fisik seperti terlihat pada contoh di atas, tetapi terlebih lagi adalah aktivitas spiritual, yang gabungan dari kedua unsur itu dinamakan orientasi budaya. Untuk itu, diperlukan pencantuman budaya dalam visi misi Jokowi-JK sebagai penekanan kebijakan pembangunan. Demikian pula ekonomi dan politik, walaupun pada dasarnya sebagai tindakan budaya, dicantumkan secara khusus karena dianggap keperluan utama akibat betapa parahnya keadaan kedua unsur tersebut.

Patut diakui, arus utama aktivitas spiritual budaya adalah hal-hal yang berkaitan dengan kesenian, kearifan lokal, sejarah, dan bahasa, yang membuahkan tata nilai. Wadahnya sumber daya manusia dan alam yang terkoneksi dalam interaksi manusia lintas sektoral sehingga aktivitas spiritual budaya senantiasa dapat mengevaluasi diri untuk pengembangan dirinya. Dengan demikian, sumber daya manusia merupakan taruhan utama dalam pembangunan suatu bangsa.

Dengan dasar semacam itu, masuk akal kalau muncul keinginan agar pemerintahan Jokowi-JK membuat kementerian kebudayaan tersendiri, lepas dari kementerian pendidikan. Pasalnya, kebudayaan tak terikat pada usia sekolah, tetapi sepanjang usia. Memang, kebudayaan memerlukan pewarisan, tetapi payungnya tetap pada orientasi budaya yang membaurkan aktivitas fisik dan spiritual sebagaimana diungkapkan di bagian atas.

Kementerian itu pun tak hanya berhubungan dengan pewarisan budaya, tetapi juga penerapannya terhadap perilaku sekarang. Apa yang pernah dilontarkan komisioner KPK, Busyro Muqoddas, beberapa waktu lalu, bahwa kesenian dapat menghambat perilaku korupsi pejabat, perlu disebutkan sebagai contoh areal kerja Kementerian Kebudayaan yang dimaksud. UU Kebudayaan diperlukan dalam konteks ini, antara lain untuk mengukur hasil kerja, bukan mengukur capaian kebudayaan.

Jika disebutkan daerah merupakan tumpuan pembangunan kebudayaan, hal itu bukan serta- merta mengacu pada administrasi pemerintahan yang sudah baku, yakni provinsi dan kabupaten/kota, tetapi pada masyarakat pendukung suatu produk budaya itu sendiri. Seperti dikatakan Nirwan Dewanto dalam Kongres Kebudayaan 1991, kebudayaan tak pernah memusat, tetapi berpuncak di komunitasnya. Bandung, misalnya, betapapun secara administratif pemerintahan adalah ibu kota Provinsi Jawa Barat, bukan lalu bermakna menjadi pusat kebudayaan di Jawa Barat atau Sunda khususnya.

Sebagaimana fungsinya yang awal, pemerintah—melalui Kementerian Kebudayaan—berperan sebagai pihak yang mengoordinasikan aktivitas budaya. Selain itu, tugas utamanya menyinergikan aktivitas budaya yang ada dalam suatu kesatuan NKRI, di samping memfasilitasi kemungkinan pengembangan kreativitas. Memperbanyak fasilitas untuk menyalurkan aktivitas budaya secara spiritual di daerah adalah agenda tersendiri.

Di atas semua itu, kita harus bergegas menggarap budaya sebagai mayor pembangunan. Sebab, dalam perkembangan kesejagatan, hanya budaya dengan dasar tradisi yang dapat menunjukkan jati diri manusia. Sementara sektor lain, macam ekonomi dan politik, akan jadi bias bersamaan makin kaburnya batas ekonomi-politik antarnegara. Pertanyaan ikutannya: apakah kita sudah benar-benar siap?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar