Rabu, 10 September 2014

Pemberantasan Buta Aksara

Pemberantasan Buta Aksara

Siti Muyassarotul Hafidzoh  ;   Litbang PW Fatayat NU DIY
REPUBLIKA, 09 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Setiap 8 September diperingati sebagai hari aksara internasional. Peringatan ini bagi bangsa Indonesia sangat strategis untuk merumuskan kembali kebijakan negara terkait dengan kondisi buta aksara yang masih mendera rakyat Indonesia.

Terlebih lagi dengan hadirnya pemimpin baru, di mana revolusi mental dihadirkan dengan meningkatkan kualitas pendidikan bangsa yang di antaranya adalah dengan pemberantasan buta aksara. Karena buta aksara sangat berpengaruh atas indeks pembangunan manusia atau human development index (HDI).

Tinggi rendahnya buta aksara akan menjadi penentu utama tinggi-rendahnya kualitas pembangunan manusia Indonesia. Angka buta aksara menyumbang dua pertiga dalam penentuan HDI, sepertiga dalam pendidikan, dan lainnya ekonomi serta kesehatan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2012 penduduk di Indonesia yang tunaaksara sekitar 6,4 juta. Angka ini, memang menurun bila dibandingkan 2004 yang mencapai 15,4 juta orang.

Disparitas antarprovinsi pun menunjukkan kemajuan signifikan. Saat ini, hanya ada dua provinsi yang persentase tunaaksara orang dewasanya di atas 10 persen. Peringkat kita sebagai negara dengan tunaaksara terbanyak juga menurun. Pada 2012 kita peringkat 50. Tahun 2013, turun pesat jadi peringkat 38 di 2013 dari 140 negara (Windu Nuryanti: 2013).

Data ini harus menjadi harapan dan optimisme dalam merealisasikan pemberantasan buta aksara secara maksimal. Optimisme ini terkait problem buta aksara yang dicanangkan pemerintah. Tidak ada jaminan bahwa mereka akan melek aksara terus karena terkait berbagai hal, sangat mungkin akan kembali buta aksara. Artinya, perlu kerangka kebijakan yang sistematis dan berkelanjutan dalam mencipta masyarakat Indonesia yang bebas buta aksara.

Agenda pemberantasan buta aksara dalam gerak kebijakan yang dilakukan pemerintah selama ini terkendala oleh beberapa hal. Pertama, karena mereka berasal dari keluarga miskin. Kemiskinan sering kali menjadi kendala sangat praktis dalam upaya pembelajaran masyarakat.

Mereka sibuk dengan agenda setiap hari dalam upaya mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Karena sibuk dengan ritualisme kerja sehari-hari, mereka menganggap tidak penting akan melek atau buta aksara. Bagi mereka, mengatasi masalah kemiskinan jauh lebih urgen di tengah balutan krisis multidimensi.

Kedua, mereka berada di daerah terpencil dan pelosok. Karena jauh dari pusat kebudayaan dan pusat peradaban, masyarakat menganggap diri mereka sebagai sosok inferior. Menjadi masyarakat terbelakang kemudian dipahami secara kodrati, sehingga upaya dan usaha pemberatasan aksara tidak begitu penting dalam agenda kemasyaratan karena melek aksara belum mereka sadari sebagai bagian dari upaya penciptaan kemajuan dan kesejahteraan.

Ketiga, karena paradigma berpikir yang kalut tersebut, mereka kemudian tidak mempunyai motivasi belajar yang tinggi. Belajar sudah tidak menjadi prioritas kerja sehari-hari mereka. Mereka menganggap sudah terlambat untuk belajar.

Yang lebih tragis, belajar bagi mereka malah dianggap membuang waktu saja. Pola pemikiran yang demikian masih menggejala dalam tradisi masyarakat Indonesia. Bukan saja mereka yang masih buta aksara. Mereka yang sudah melek aksara saja masih enggan dan bermalas-malas dalam meningkatkan belajar dan tradisi membaca. Belajar dan membaca sering kali dianggap sesuatu yang "aneh", dan sok belajar. Inilah yang masih dilematis dalam struktur kesadaran masyarakat Indonesia.

Bekerja sama

Di tengah problem kalut tersebut, sudah saatnya dalam rangka merealisasikan pemberantasan buta aksara, pemerintah bekerja sama dengan berbagai pihak melakukan kerja sosial yang strategis, sistematis, dan berkelanjutan. Pertama, membongkar kesadaran semu ihwal belajar.

Kesadaran akan lemahnya motivasi belajar merupakan pangkal persoalan dalam hak pemberantasan buta aksara. Berbagai program bisa diproyeksikan, tetapi kalau masyarakat enggan dan tidak semangat belajar, hasilnya pasti tidak maksimal. Perlu dibongkar kesadaran semu tersebut, diganti dengan kesadaran autentik ihwal motivasi belajar yang total dan penuh kesungguhan.

Kedua, memaksimalkan kerja sama dengan perguruan tinggi negeri dan swasta dalam upaya gerakan masif pemberantasan buta aksara. Kerja sama dalam konteks bisa dilakukan lewat program kuliah kerja nyata (KKN) yang langsung masuk dalam jantung tradisi masyarakat.

Kerja sama bisa digunakan dalam realisasi tersebut. Kalau selama ini sudah dilakukan, maka upaya maksimalisasi di berbagai tempat terpelosok dan marginal. Kerja sama ini akan sangat efektif kalau pemerintah dan perguruan tinggi juga bekerja sama dengan berbagai lembaga sosial yang mempunyai basis kultural yang jelas di berbagai daerah terpelosok.

Taruhlah, misalnya, bekerja sama dengan organisasi sosial keagamaan yang mempunyai tradisi ritual keagamaan yang ajek dalam masyarakat. Kampanye pemberatasan buta aksara dapat dimaksimalkan dalam berbagai ritual keagamaan, terlebih juga dikampanyekan oleh agamawan dan tokoh masyarakat lokal.

Ketiga, program ini diintegrasikan dengan program pemerintah lainnya. Dalam konteks sekarang, maksimalisasi pemberantasan buta aksara bisa dilanjutkan lewat anggaran pendidikan 20 persen. Anggaran 20 persen dari total APBN dapat dijadikan modal berharga dalam mencipta masyarakat yang melek aksara. Anggaran besar tersebut jangan hanya diorientasikan dalam penjaminan mutu (quality assurance) pendidikan menengah dan tinggi. Kaum buta aksara harus diperhatikan dengan serius sehingga indeks pembangunan manusia (HDI) semakin meningkat.

Demi masa depan bangsa, buta aksara harus kita berantas. Melek aksara adalah bagian penting pemenuhan hak asasi manusia (HAM). Peringatan hari aksara sedunia menjadi cacatan penting bagi Indonesia untuk terus berbenah menyongsong mimpi visi Indonesia 2030 yang maju dan berkeadaban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar