Wujudkan
Kabinet Antikorupsi
Muhammadun ;
Analis
Studi Politik pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
|
REPUBLIKA,
09 September 2014
Kembali,
seorang menteri ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Yang terakhir adalah Menteri ESDM Jero Wacik. Sebelumnya,
sudah ada Andi Mallarangeng (Menpora) dan Suryadharma Ali (Menag).
Tentu
saja, ini kado sangat pahit buat pemerintahan SBY-Boediono menjelang lengser
20 Oktober mendatang. Kalau daftar koruptor ditambah para politisi Partai
Demokrat, akhir pemerintahan SBY tentu saja penuh dilema.
Para
menteri kabinet SBY-Boediono merupakan koalisi beberapa partai, di mana semua
partai mendapatkan jatah kursi menteri. Dalam sistem presidensial, ini tentu
memangkas hak prerogatif presiden untuk menentukan sendiri menteri-menteri
yang membantunya, sama sekali bukan berdasarkan suara partai koalisi yang
mendukungnya di parlemen. Tetapi, fakta politik bicara bagi-bagi kursi
sebagai keabsahan dalam koalisi.
Dilema
ini juga dialami seorang Jokowi, presiden terpilih periode 2014-2019.
Walaupun selalu menjelaskan ihwal "koalisi tanpa syarat", tetapi
fakta mengabarkan politik balas jasa belum bisa sepenuhnya diabaikan. PDIP,
PKB, Partai Nasdem, dan Partai Hanura adalah partai politik yang mengantarkan
Jokowi menuju presiden ke-7 RI. Negosiasi politik tak bisa dilepaskan dari
politik bagi-bagi kursi. Kalau "tanpa syarat", mestinya negosiasi
berjalan mulus tanpa kendala.
Jebakan
politik transaksional (balas jasa) menjadi tantangan serius bagi Jokowi.
Bagaimana meyakinkan dan memastikan sang calon menteri sungguh profesional,
jujur, tidak berkepentingan memperkaya diri dan kelompok, dan mau bekerja
untuk rakyat. Dengan demikian, anggota kabinet yang dipilih tidak menjadi
atau dikelilingi "parasit" atau "benalu", yaitu
orang-orang yang sarat kepentingan ekonomi dan politik segelintir atau
sekelompok orang.
Politik transaksional
Mengadang
politik transaksional adalah langkah pertama dan paling utama yang harus
dilakukan Jokowi. Kalau sampai terperosok, maka lima tahun ke depan Jokowi
hanya dibayangi oleh kegalauan dan kegagalan.
Kegalauan
sudah dialami Presiden SBY yang disampaikan pada 5 Mei 2014 bahwa gaya
politik transaksonal itu ibarat racun yang sangat mematikan bagi demokrasi
Indonesia. Politik transaksional juga berpotensi melahirkan pemimpin dan
politisi korup. Hal tersebut terlihat dari beberapa kasus pejabat dan
politisi yang terjebak dalam kasus yang mengkhianati amanah rakyat.
Para
pemikir mazhab Frankfurt mengungkapkan, dunia politik adalah panggung
transaksional antara kepentingan ekonomi (bisnis) dan politik (kekuasaan).
Puncak kesuksesan politik adalah mampu meraih kekuasaan dan meraup
pundi-pundi ekonomi yang dapat menyejahterakan para politikus dan
kelompoknya.
Sedangkan,
teori ekonomi politik kekuasaan berparadigma kritis menyatakan bahwa puncak
kekuasaan bukan untuk meraih kekuasaan dan mengakses sumber-sumber
kemakmuran, melainkan untuk memperjuangkan kepentingan bersama (publik).
Teori terakhir ini kebanyakan hanya dijadikan bahan retorika, sedangkan
praktiknya masih jauh dari harapan. Logika politik transaksional, sadar atau
tidak sadar, menjadi kegalauan Jokowi dalam menyusun kabinet.
Kegalauan
menyusun kabinet jangan sampai berlarut karena bisa menjebak Jokowi dalam
demokrasi kolusif. Demokrasi kolusif ditandai dengan jelas dalam pengaturan
keseimbangan yang sangat hati-hati dalam kabinet, ketiadaan parpol oposisi
(yang efektif) di parlemen, dan hubungan promiscuous (sering gonta-ganti
pasangan) di dalam aliansi-aliansi politik yang ada. Aliansi politik itu
sangat tidak stabil karena parpol-parpol terus membentuk aliansi,
meningggalkan aliansi, dan membuat aliansi baru berdasarkan pertimbangan
jangka pendek yang nyaris kosong dari komitmen ideologis dan kepentingan
konstituen mereka.
Kabinet kerja
Fokus
utama Jokowi adalah menyusun kabinet kerja. Jokowi harus bisa memastikan
menterinya fokus bekerja untuk rakyat dan tidak memiliki perhatian atau
tarik-menarik kepentingan dengan partai atau kelompok, termasuk kelompok
bisnis. Tanpa figur-figur yang merdeka dari kerakusan memperkaya diri dan
kelompok, Indonesia sulit menjadi negara kompetitif di era persaingan global.
Kabinet
kerja yang digagas Jokowi menjadi salah satu jawaban mengadang politik
transaksional. Karena kabinet kerja atau kabinet ahli mensyaratkan para
menteri ialah para pekerja keras. Mereka bisa bekerja dengan baik bila ahli
dan profesional. Tidak ada tempat bagi mereka yang baru belajar atau
menyesuaikan diri terlebih dahulu. Ibarat mengendarai kendaraan bermotor,
begitu dilantik, mereka mesti langsung tancap gas.
Dalam
menyusun kabinet kerja ini, Jokowi setidaknya memperhatikan tiga hal.
Pertama, seperti diutarakan Herbert Kitschelt (2004) dalam karyanya "Parties and Political
Intermediation", fungsi parpol sebagai rumah bagi proses konsolidasi
bersama untuk menyelesaikan persoalan yang terkait tindakan kolektif dan
pilihan sosial anggotanya dapat berjalan efektif dalam lingkungan internal yang
kondusif. Jokowi harus memaksimalkan fungsi partai pendukungnya dalam
mencapai tujuan-tujuan politiknya, tentunya sangat ditentukan oleh kapasitas
dari kader politik, bukan hanya mengandalkan pada restu dan cantelan politik
dari figur elite utama.
Kedua,
merujuk tradisi politik Aristotelian,
Colin Hay (2007) dalam karyanya, Why We
Hate Politics, menguraikan ketika arena politik bekerja hanya untuk
melayani rasionalitas kepentingan pragmatis personal elite-elite politik,
proses tersebut akan berbuah irasionalitas kolektif. Jokowi harus menjadikan
rakyat menjadi mitra politik, bukan hanya menjadi objek dan manipulasi dari
kepentingan segelintir elite politik yang berhulu dan berhilir pada politik
transaksi.
Ketiga,
Jokowi harus mewaspadai sikap apatisme dan skeptisisme di kalangan kader
partai yang pada awalnya memiliki integritas dan komitmen yang kuat pada
parpol. Tidak ada motivasi dan hasrat politik yang kuat bahwa komitmen dan
perjuangan mereka untuk bekerja dan menyatu dengan rakyat akan mendapatkan
apresiasi yang setara (Airlangga
Pribadi, 2013).
Kabinet
kerja adalah keniscayaan. Libatkan rakyat dalam menyukseskan agenda
pemerintahan karena energi rakyat sangat besar. Makanya Jokowi harus serius,
sehingga harapan rakyat bisa segera direalisasikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar