Rabu, 10 September 2014

Wujudkan Kabinet Antikorupsi

Wujudkan Kabinet Antikorupsi

Muhammadun  ;   Analis Studi Politik pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
REPUBLIKA, 09 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Kembali, seorang menteri ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yang terakhir adalah Menteri ESDM Jero Wacik. Sebelumnya, sudah ada Andi Mallarangeng (Menpora) dan Suryadharma Ali (Menag).

Tentu saja, ini kado sangat pahit buat pemerintahan SBY-Boediono menjelang lengser 20 Oktober mendatang. Kalau daftar koruptor ditambah para politisi Partai Demokrat, akhir pemerintahan SBY tentu saja penuh dilema.

Para menteri kabinet SBY-Boediono merupakan koalisi beberapa partai, di mana semua partai mendapatkan jatah kursi menteri. Dalam sistem presidensial, ini tentu memangkas hak prerogatif presiden untuk menentukan sendiri menteri-menteri yang membantunya, sama sekali bukan berdasarkan suara partai koalisi yang mendukungnya di parlemen. Tetapi, fakta politik bicara bagi-bagi kursi sebagai keabsahan dalam koalisi.

Dilema ini juga dialami seorang Jokowi, presiden terpilih periode 2014-2019. Walaupun selalu menjelaskan ihwal "koalisi tanpa syarat", tetapi fakta mengabarkan politik balas jasa belum bisa sepenuhnya diabaikan. PDIP, PKB, Partai Nasdem, dan Partai Hanura adalah partai politik yang mengantarkan Jokowi menuju presiden ke-7 RI. Negosiasi politik tak bisa dilepaskan dari politik bagi-bagi kursi. Kalau "tanpa syarat", mestinya negosiasi berjalan mulus tanpa kendala.

Jebakan politik transaksional (balas jasa) menjadi tantangan serius bagi Jokowi. Bagaimana meyakinkan dan memastikan sang calon menteri sungguh profesional, jujur, tidak berkepentingan memperkaya diri dan kelompok, dan mau bekerja untuk rakyat. Dengan demikian, anggota kabinet yang dipilih tidak menjadi atau dikelilingi "parasit" atau "benalu", yaitu orang-orang yang sarat kepentingan ekonomi dan politik segelintir atau sekelompok orang.

Politik transaksional

Mengadang politik transaksional adalah langkah pertama dan paling utama yang harus dilakukan Jokowi. Kalau sampai terperosok, maka lima tahun ke depan Jokowi hanya dibayangi oleh kegalauan dan kegagalan.

Kegalauan sudah dialami Presiden SBY yang disampaikan pada 5 Mei 2014 bahwa gaya politik transaksonal itu ibarat racun yang sangat mematikan bagi demokrasi Indonesia. Politik transaksional juga berpotensi melahirkan pemimpin dan politisi korup. Hal tersebut terlihat dari beberapa kasus pejabat dan politisi yang terjebak dalam kasus yang mengkhianati amanah rakyat.

Para pemikir mazhab Frankfurt mengungkapkan, dunia politik adalah panggung transaksional antara kepentingan ekonomi (bisnis) dan politik (kekuasaan). Puncak kesuksesan politik adalah mampu meraih kekuasaan dan meraup pundi-pundi ekonomi yang dapat menyejahterakan para politikus dan kelompoknya.

Sedangkan, teori ekonomi politik kekuasaan berparadigma kritis menyatakan bahwa puncak kekuasaan bukan untuk meraih kekuasaan dan mengakses sumber-sumber kemakmuran, melainkan untuk memperjuangkan kepentingan bersama (publik). Teori terakhir ini kebanyakan hanya dijadikan bahan retorika, sedangkan praktiknya masih jauh dari harapan. Logika politik transaksional, sadar atau tidak sadar, menjadi kegalauan Jokowi dalam menyusun kabinet.

Kegalauan menyusun kabinet jangan sampai berlarut karena bisa menjebak Jokowi dalam demokrasi kolusif. Demokrasi kolusif ditandai dengan jelas dalam pengaturan keseimbangan yang sangat hati-hati dalam kabinet, ketiadaan parpol oposisi (yang efektif) di parlemen, dan hubungan promiscuous (sering gonta-ganti pasangan) di dalam aliansi-aliansi politik yang ada. Aliansi politik itu sangat tidak stabil karena parpol-parpol terus membentuk aliansi, meningggalkan aliansi, dan membuat aliansi baru berdasarkan pertimbangan jangka pendek yang nyaris kosong dari komitmen ideologis dan kepentingan konstituen mereka.

Kabinet kerja

Fokus utama Jokowi adalah menyusun kabinet kerja. Jokowi harus bisa memastikan menterinya fokus bekerja untuk rakyat dan tidak memiliki perhatian atau tarik-menarik kepentingan dengan partai atau kelompok, termasuk kelompok bisnis. Tanpa figur-figur yang merdeka dari kerakusan memperkaya diri dan kelompok, Indonesia sulit menjadi negara kompetitif di era persaingan global.

Kabinet kerja yang digagas Jokowi menjadi salah satu jawaban mengadang politik transaksional. Karena kabinet kerja atau kabinet ahli mensyaratkan para menteri ialah para pekerja keras. Mereka bisa bekerja dengan baik bila ahli dan profesional. Tidak ada tempat bagi mereka yang baru belajar atau menyesuaikan diri terlebih dahulu. Ibarat mengendarai kendaraan bermotor, begitu dilantik, mereka mesti langsung tancap gas.

Dalam menyusun kabinet kerja ini, Jokowi setidaknya memperhatikan tiga hal. Pertama, seperti diutarakan Herbert Kitschelt (2004) dalam karyanya "Parties and Political Intermediation", fungsi parpol sebagai rumah bagi proses konsolidasi bersama untuk menyelesaikan persoalan yang terkait tindakan kolektif dan pilihan sosial anggotanya dapat berjalan efektif dalam lingkungan internal yang kondusif. Jokowi harus memaksimalkan fungsi partai pendukungnya dalam mencapai tujuan-tujuan politiknya, tentunya sangat ditentukan oleh kapasitas dari kader politik, bukan hanya mengandalkan pada restu dan cantelan politik dari figur elite utama.

Kedua, merujuk tradisi politik Aristotelian, Colin Hay (2007) dalam karyanya, Why We Hate Politics, menguraikan ketika arena politik bekerja hanya untuk melayani rasionalitas kepentingan pragmatis personal elite-elite politik, proses tersebut akan berbuah irasionalitas kolektif. Jokowi harus menjadikan rakyat menjadi mitra politik, bukan hanya menjadi objek dan manipulasi dari kepentingan segelintir elite politik yang berhulu dan berhilir pada politik transaksi.

Ketiga, Jokowi harus mewaspadai sikap apatisme dan skeptisisme di kalangan kader partai yang pada awalnya memiliki integritas dan komitmen yang kuat pada parpol. Tidak ada motivasi dan hasrat politik yang kuat bahwa komitmen dan perjuangan mereka untuk bekerja dan menyatu dengan rakyat akan mendapatkan apresiasi yang setara (Airlangga Pribadi, 2013).

Kabinet kerja adalah keniscayaan. Libatkan rakyat dalam menyukseskan agenda pemerintahan karena energi rakyat sangat besar. Makanya Jokowi harus serius, sehingga harapan rakyat bisa segera direalisasikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar