Rabu, 10 September 2014

Menanti Angin Segar “Sopir Baru”

Menanti Angin Segar “Sopir Baru”

Sehabudin  ;   Alumnus FSH, UIN Sunan Kalijaga
OKEZONENEWS, 09 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Sudah menjadi perbincangan umum, pembangunan nasional pada masa rezim Soeharto (Orde Baru: 1966-1998) menyimpan aneka anomali politik. Salah satunya adalah masifnya praktik korupsi. Ternyata, korupsi itu berlanjut hingga era reformasi (1998-2013).

Hadirnya era reformasi yang ditopang oleh pilar-pilar supremasi hukum, HAM, dan demokrasi, rakyat menaruh harapan besar bahwa pemerintah era reformasi dapat mewujudkan kehidupan yang bebas dari korupsi. Namun, perjalanan era reformasi belum seutuhnya mampu merealisasikan harapan besar itu. Tetap saja, korupsi kerap terjadi bahkan seolah-olah menjadi budaya bangsa Indonesia.

Untuk mencegah dan memberantas anomali politik yang semakin akut itu, pemerintah berupaya membentuk lembaga penegak hukum, seperti Mahkamah Konstitusi (2001), Komisi Pemberantasan Korupsi (2003), dan satu paket kebijakan nasional yaitu Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) dan Perpres No. 55 Tahun 2012 tentang Stranas PPK serta Inpres No. 1 tahun 2013 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.

Sungguh paradoks, lembaga penegak hukum yang seharusnya berkoar-koar menyuarakan kebenaran, menegakkan keadilan, dan menuntaskan persoalan korupsi, malah masuk ke dalam “lingkaran setan korupsi”. Sebut saja kasus korupsi ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar (2013). Begitu pula Stranas PPK, Stranas PPK masih mandul. Mandulnya Stranas PPK karena terhalang oleh komitmen pemerintah (pusat dan daerah) yang masih lemah dalam memberantas korupsi, kultur birokrasi yang tidak sehat, kuatnya sifat permisif kalangan elite politik terhadap praktik korupsi, lemahnya fungsi legislasi, dan lumpuhnya fungsi pengawasan. Akibatnya, praktik korupsi terus menjamur di negeri pemilik bendera dwi warna ini.

Di tengah masifnya praktik korupsi, rakyat sedang berada dalam transisi kepemimpinan. Dengan diketuknya palu MK (Kamis, 21 Agustus 2014) berarti kepemimpinan SBY-Boediono (2009-2013) sebentar lagi berakhir dan akan dilanjutkan oleh presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo-Jusuf Kalla. Tentunya, transisi kepemimpinan ini memberikan harapan baru sekaligus mengundang seribu satu macam pertanyaan. Akankah kepemimpinan Jokowi-JK (2014-2019) mampu mengentaskan korupsi, atau jangan-jangan semakin menambah runyam.

Harus diketahui bersama, masifnya praktik korupsi di tubuh pemerintahan sedikit banyaknya dapat berimbas negatif terhadap aneka sektor kehidupan seperti birokrasi-pemerintahan, politik-hukum, dan sosial-ekonomi. Misalnya, sektor sosial-ekonomi,  korupsi mengakibatkan mahalnya harga jasa dan pelayanan publik, pengentasan kemiskinan berjalan lambat, terbatasnya akses vital bagi rakyat miskin, solidaritas sosial semakin langka, dan meningkatnya angka kriminalitas. Dan sektor politik-hukum, korupsi melahirkan kepemimpinan korup, hilangnya kepercayaan pada demokrasi, penegakkan hukum rapuh, dan hukum tidak lagi menjadi panglima, tapi sebagai media mengelabui rakyat.

Ketika iklim pemerintahan telah terbentuk seperti itu, tidak heran kalau Indonesia selalu menyandang status negara koruptor di level internasional. Bahkan lebih jauh dari itu, Indonesia harus merangkak menuju titik kulminasi peradaban.

Oleh karena itu, saat ini rakyat  menaruh asa dan cita-cita kepada kepemimpinan Jokowi-JK. Di masa depan kepemimpinan Jokowi-JK diharapkan bersikap berani dan tegas. Artinya, Jokowi yang populer blusukan itu dan wapresnya harus berani menetapkan kebijakan nasional antikorupsi dan berorientasi kepada kesejahteraan dan keadilan kolektif dengan berbagai tantangan dan risiko. Tiada lain hal itu untuk menciptakan stabilitas politik-pemerintahan. Terciptanya stabilitas politik-pemerintahan dapat melahirkan kebanggaan rakyat untuk selalu memajukan bangsa dan negara.

Selain berani dan tegas, sikap transformator Jokowi-JK sangat dinantikan. Transformator berarti pemimpin harus siap menjadi perintis perubahan, mampu menghadirkan ide-ide kreatif, inovatif, dan solutif dalam mengentaskan korupsi, baik skala makro (grand corruption) maupun skala mikro (petty corruption), dan menindak tegas para begal politik serta penyam(b)un(g) lidah rakyat.

Juga, kualitas Jokowi-JK (moral, spiritual, dan intelektual) sangat urgen. Tak dipungkiri pemimpin berkualitas akan menjadi uswah hasanah. Apapun prilaku politiknya akan ditiru dan digugu. Konsekuensi logisnya, bagaimana rakyat akan meneladani seorang pemimpin, kalau pemimpinnya itu berprilaku amoral (koruptif dan manipulatif) dan berpolitik tidak berpijak pada nilai-nilai luhur spiritual dan intelektual.

Memang kepemimpinan yang tegas, berani, kreatif, inovatif, solutif, dan berkualitas akan senantiasa membawa angin segar. Tepatnya, angin segar perubahan. Ya, perubahan ke arah terwujudnya kehidupan bangsa yang antikorupsi dengan didukung sistem nilai budaya politik yang berintegritas dan berkualitas. Inilah yang dinantikan rakyat semenjak tumbangnya rezim Soeharto.

Namun, apabila Jokowi-JK sebagai “sopir” baru “bus” bernama Indonesia, tidak tegas, berani, kreatif, inovatif, solutif, dan berkualitas rakyat dari Sabang sampai Merauke harus rela hidup kembali dalam masa transisi kepemimpinan yang menjemukan, menyaksikan lini kehidupan bangsa yang carut-marut, menonton tikus-tikus berdasi beranak-pinak di layar kaca, menerima stigma negatif dari publik internasional, dan menelan pil  pahit kehidupan: kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.

Akhirul kalam, bersama asa dan optimisme, besar harapan angin segar perubahan sopir baru negeri beribukota Jakarta akan berhembus pasca 20 Oktober 2014, lalu membelai negeri yang sedang dirundung “penyakit kronis bangsa”. Amin Ya Mujib as-Sailin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar