Senin, 15 September 2014

Paradoks Pilkada Langsung atau Tak Langsung

Paradoks Pilkada Langsung atau Tak Langsung

Moch Nurhasim  ;   Peneliti Pusat Penelitian Politik-LIPI
KORAN SINDO, 13 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Ihwal pro-kontra pilkada langsung atau dipilih DPRD bukan hanya wilayah “pertarungan politik”. Isu pilkada langsung atau tak langsung secara substansial adalah refleksi dua perspektif utama pemilihan (elektoral).

Dalam perkembangan demokrasi suatu negara, termasuk di Indonesia, demokrasi dalam konteks elektoral mengalami pasang surut. Sejak era pascakemerdekaan hingga Orde Baru, perspektif yang menonjol adalah demokrasi perwakilan, bukan demokrasi langsung. Demokrasi model ini di antaranya dicirikan oleh proses pemilihan yang sifatnya terbatas. Partisipasi politik bukan sesuatu yang inklusif.

Di era transisi demokrasikonsolidasi demokrasi, khususnya era reformasi, perspektif lama demokrasi perwakilan mulai ditinggalkan. Sebagai gantinya, muncul suatu keyakinan baru bahwa demokrasi perwakilan menisbikan partisipasi rakyat yang memiliki kedaulatan, suara rakyat adalah suara tuhan (vox populi, vox dei). Bandul penentu kekuasaan akhirnya diubah, dikembalikan kepada rakyat yang memiliki kedaulatan atau hak suara yang menentukan.

Perdebatan mana yang lebih baik, pilkada langsungkah atau pilkada melalui DPRD? Perdebatan yang muncul ke publik akhir-akhir ini di media terasa kurang berimbang. Secara teoritik, kedua praktik demokrasi itu, baik pemilihan langsung maupun melalui perwakilan, menyimpan kecenderungan yang hampir mirip. Kedua-duanya memiliki kekuatan sekaligus menyumbang kelemahan.

Demokrasi langsung dan tidak langsung (perwakilan), kedua-duanya tidak dapat menghindarkan dirinya dari politik transaksional. Politik uang (money politics) tetap saja terjadi pada kedua jenis pilkada. Pada pilkada langsung, politik uang misalnya, terjadi saat proses penentuan calon kepala daerah agar memperoleh direstui partai dan politik uang juga terjadi pada saat pelaksanaan pilkada.

Sudah jamak atau menjadi rahasia umum, biaya politik para kandidat gubernur, bupati, dan wali kota muncul mulai dari proses pencalonan internal partai hingga akan dilantik. Dari sifatnya itu, proses internal partai juga tidak bisa menghindari politik dinasti dan/atau oligarki partai. Partai sebagai salah satu pihak yang dapat mencalonkan calon kepala daerah juga tidak dapat terhindar dari hukum besi oligarki.

Pada beberapa kasus, perjuangan untuk berkuasa akhirnya dimulai dari penguasaan partai yang kemudian berlanjut pada proses penentuan pencalonan gubernur, bupati dan wali kota. Pada jenis kedua pilkada, baik pilkada langsung maupun melalui perwakilan, kedua-duanya tidak mungkin bisa memberikan jaminan dapat mengatasi watak asli keduanya, oligarki partai dalam penentuan calon dan transaksi politik lainnya.

Perbedaan yang mencolok pada kedua jenis pilkada itu hanya terletak pada beberapa sisi. Pada pilkada langsung, pertama, ada alternatif calon lain dari jalur independen. Sehingga, muncul tokoh-tokoh baru yang tidak memiliki kendaraan partai politik. Kedua, penentu kemenangan adalah rakyat sebagai pemilik suara. Partisipasi politik meluas, rakyat menentukan siapa yang akan menjadi pemenangnya. Namun, dari penyelenggaraan pilkada langsung sejak Juni 2005 harus diakui, perilaku pemilih juga tidak menceritakan suat kemajuan yang berarti.

Transaksi politik antara calon kepala daerah dengan pemilih juga sering terjadi. Mobilisasi melalui jalur-jalur “agama, kesukuan, etnik, kekerabatan”, dan pembelian suara nyaris pula tidak terhindarkan. Memilih kucing dalam karung juga sering tak dapat dihindari. Lebih dari itu, beberapa pengalaman pilkada dan pemilu legislatif juga memperlihatkan adanya gejala transformasi perilaku pemilih yang pada beberapa wilayah tertentu tidak pula dapat menghindarkan diri dari pengaruh patron-klien dan orang kuat di daerah.

Fakta lain yang juga menjadi penting, argumentasi dari demokrasi partisipatif yang hendak dipertahankan dari pilkada langsung, tapi bukankah ada gejala bahwa pilkada langsung makin tidak menarik pemilih untuk mencoblos. Pada beberapa pilkada langsung partisipasi pemilih jauh lebih rendah, di bawah 50%. Gejala seperti itu juga tidak dapat dinafikkan, bahwaada yang tidak beres dari pelaksanaan pilkada langsung selama ini.

Sementara pada pilkada perwakilan, dapat saja ada alternatif calon dari jalur independen, tetapi, komposisi DPRD akan menentukan siapa yang terpilih. Publik pun dapat dengan mudah membaca siapa calon yang akan direstui oleh DPRD. Ditimbang dari segi biaya, seperti yang pernah dikeluhkan oleh Jusuf Kalla, pilkada langsung lebih menyedot dana APBN dan APBD ketimbang pilkada melalui perwakilan. Itulah paradoks pilkada, baik langsung maupun pilkada perwakilan.

Kedua-duanya juga menyimpan potensi rente dan korupsi. Para kepala daerah yang langsung dipilih oleh rakyat juga tidak terhindar dari korupsi. Data Kementerian Dalam Negeri hingga Januari 2014 menunjukkan kurang lebih 318 (60%) dari 524 kepala daerah terjerat kasus korupsi. Kedua-duanya juga tak terhindar dari sifat oligarki partai, kecuali kalau partai-partai politik itu dikubur.

Tetapi itu tidak mungkin dilakukan, karena partai adalah instrumen utama demokrasi pemilihan. Lebih dari itu semua, pertimbangan dalam memutuskan pilkada langsung dan tidak langsung–yang kedua-duanya juga konstitusional, jangan terjebak pada mikropik politik yang sifatnya sesaat. Menurut hemat penulis, kedua jenis pilkada harus dapat menjawab beberapa tantangan, antara lain pertama, apakah pilkada (baik langsung atau tidak langsung) berdampak pada kualitas demokrasi yang substantif di tingkat lokal.

Kedua, apakah pilkada (baik langsung atau tidak langsung) menjamin terselenggaranya pemerintahan daerah yang dapat memerintah. Selama ini hasil pilkada langsung hanya sedikit yang menunjukkan pemerintahannya bekerja atau dapat memerintah. Ketiga, apakah pilkada (baik langsung atau tidak langsung) akan melahirkan kesejahteraan rakyat, menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh rakyat.

Keempat, apakah pilkada (baik langsung atau tidak langsung) melahirkan kepala daerah yang benarbenar “merakyat,” dekat dengan rakyat, mengerti rakyat, dan menyelesaikan masalah mereka. Kelima, apakah pilkada (baik langsung atau tidak langsung) akan membawa kemajuan bagi daerah.

Refleksi atas kelima pertanyaan itu pesannya tegas, bahwa desain pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati dan wali kota) bukan semata-mata untuk mencapai tujuan demokrasi pemilihan, tetapi harus dapat membawa manfaat bagi rakyat yang memiliki kedaulatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar