Senin, 15 September 2014

Pentingnya Literasi Keuangan

Pentingnya Literasi Keuangan

Paul Sutaryono  ;   Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI,  Anggota Pengawas Yayasan Bina Swadaya
KORAN SINDO, 13 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Kini hampir semua bank nasional papan menengah ke atas menawarkan kartu kredit dan kartu debit (ATM) sehingga kian banyak orang mengantongi kartu plastik itu. Bagaimana mitigasi risiko alat pembayaran tersebut?

Literasi keuangan (financial literacy) yang bernas dan cerdas! Sebelumnya, mari kita cermati perkembangan ATM. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan pertumbuhan ATM naik 7,68% dari 6.292.164 lembar per Desember 2013 menjadi 6.775.560 lembar per Juli 2014. Pertumbuhan ATM itu ternyata lebih subur daripada kartu kredit yang hanya naik 3,05% dari 15.091.684 lembar menjadi 15.552.463 lembar pada periode yang sama. Mengapa kartu kredit menurun tajam?

Hal ini disebabkan lahirnya Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/2/PBI/ 2012 tanggal 6 Januari 2012 dilanjutkan dengan Surat Edaran BI Nomor 142/27/DASP yang membatasi kepemilikan kartu kredit. Aturan itu membatasi maksimal dua kartu kredit bagi konsumen yang mempunyai pendapatan antara Rp3 juta dan Rp10 juta dari dua penerbit kartu kredit. Aturan tersebut bertujuan untuk mengerek tingkat kehatihatian bank nasional dan melindungi konsumen.

Hal ini juga untuk mencegah terulangnya kasus konsumen kartu kredit yang pernah menerpa bank asing pada beberapa tahun silam. Pertumbuhan ATM yang begitu subur itu berarti orang makin banyak melakukan pembayaran non-tunai. Bagi bank nasional, hal itu merupakan pendapatan non-operasional (feebased income) yang gurih. Namun kian subur pertumbuhan ATM, kian tinggi pula potensi risikonya. Tengok saja kasus pembobolan ATM pada dua bank nasional papan atas pada medio Mei 2014. Itu yang layak dicegah!

 Upaya Pencegahan

Sungguh, kartu kredit dan ATM sudah menjadi simbol gaya hidup orang di kota besar saat ini. Namun ternyata kartu ajaib itu juga mendorong orang untuk makin konsumtif. Celakanya, konsumen yang gelap mata mulai memanfaatkan ATM untuk membobol bank. Oleh karena itu, ada tiga pihak yang wajib meningkatkan kewaspadaan yakni regulator, bank nasional, dan konsumen.

Upaya apa saja yang patut dipertimbangkan untuk mitigasi risiko kartu kredit dan ATM? Pertama, regulator merapatkan barisan. Pada prinsipnya, BI sebagai regulator yang mengatur alat pembayaran menggunakan kartu (APMK) telah menerbitkan aneka aturan untuk menjaga keamanan penggunaan kartu ATM atau kartu debit. Misalnya, aturan PIN yang harus terdiri dari enam digit dan migrasi kartu pita magnetik ke microchip.

Empat bulan sebelum kasus ATM itu meledak di dua bank nasional kelas kakap, BI telah meluncurkan PBI Nomor 16/1/ PBI/2014 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Keuangan. Aturan yang berlaku efektif 16 Januari 2014 menetapkan prinsip perlindungan konsumen yang meliputi keadilan dan keandalan, transparansi, perlindungan data dan/ atau informasi konsumen, serta penanganan dan penyelesaian pengaduan yang efektif.

Aturan paling anyar itu pun mewajibkan penyelenggara untuk menyediakan sistem yang andal dalam menyelenggarakan kegiatan jasa sistem pembayaran. Namun, lahirnya kasus dua bank besar itu menegaskan bahwa bank kelas kakap justru belum memiliki sistem yang canggih dan andal seperti harapan konsumen. Ini merupakan pelajaran berharga bagi semua kelompok bank nasional.

Kedua, mengadakan sosialisasi dan edukasi. Oleh karena itu, bank nasional pun wajib menyelenggarakan sosialisasi dan edukasi. Hal ini lebih efektif ketika dilakukan di kampus dan sekolah sebagai sumber utama pengguna kartu kredit dan ATM selain pusat keramaian. Literasi keuangan dalam bidang kartu wajib ditanamkan terutama kepada konsumen pemula agar tidak terjebak pada penggunaan kartu secara sembarangan.

Sosialisasi dan edukasi itu bukan hanya tentang kartu kredit dan ATM tetapi juga literasi (melek) keuangansecara umum. Ambil contoh, misalnya mengenai investasi. Ini akan sangat bermanfaat bagi konsumen (nasabah dan investor) terkait dengan banyaknya kasus perbankan dan non-perbankan selama ini. Lirik saja, kasus demi kasus muncul di permukaan bagai tiada putusnya.

Qurnia Subur Alam Raya (QSAR), investasi keuangan dengan kerugian Rp800 miliar pada 2002, Adess Sumber Hidup Dinamika (investasi peternakan itik, Rp200 miliar, 2003), Medical (multilevel marketing/MLM, Rp50 miliar, 2004), Berlian Artha Sejahtera (arisan berantai, Rp200 miliar, 2005), Futurista International Paradana (MLM, Rp puluhan miliar, 2005), Platinum Invesmet (valas, Rp500 miliar, 2005), Interbanking Bisnis Terencana (penyertaan modal, Rp42 miliar, 2006), Mitra Wira Usaha Mandiri (MLM, Rp puluhan miliar, 2006), Java Lintas Niaga (MLM, Rp70 miliar, 2006), Wahyu Sejahtera Mandiri (MLM, Rp30 miliar, 2006).

Disusul Wahana Bersama Globalindo (WBG) (valas, Rp3,5 triliun, 2007), Gama Smart Karya Utama (valas, Rp12 triliun, 2007), Sarana Perdana Indoglobal (valas, Rp2,1 triliun, 2007), PT Gradasi Anak Negeri (MLM, Rp 390 miliar, 2012), Koperasi Langit Biru (bisnis daging, Rp6 triliun, 2012) dan PT Gemilang Reksa Jaya (MLM, Rp ratusan miliar, 2012) (Harian Kontan, 25 Juli 2012).

Paling gres, kasus Koperasi Cipaganti dengan potensi kerugian Rp3,2 triliun. Ketiga, meningkatkan manajemen risiko operasional. Risiko operasional merupakan risiko yang berkaitan dengan operasional bisnis (Michel Crouhy, Dan Galai, dan Robert Mark, 2000). Risiko operasional itu meliputi dua komponen. Satu, risiko kegagalan operasional (operational failure risk) atau risiko intern yang meliputi risiko yang bersumber dari sumber daya manusia, proses dan teknologi.

Dua, risiko strategi operasional (operational strategic risk) atau risiko ekstern yang berasal dari faktor-faktor antara lain politik, pajak, regulasi, pemerintah, masyarakat dan kompetisi. Dibandingkan dengan risiko kredit, risiko pasar dan risiko likuiditas, pada dasarnya risiko operasional itu mempunyai cakupan yang lebih luas. Lantaran risiko operasional juga meliputi risiko yang bersumber dari karyawan dari semua level dari manajemen puncak hingga paling bawah. Kasus ATM itu termasuk risiko operasional yang bersumber dari lemahnya sistem teknologi informasi.

Untuk itu, bank nasional wajib membentengi diri dengan bukan hanya audit komputer tetapi juga audit antikasus perbankan yang berkaitan dengan teknologi informasi (anti-cyber crime). Ingat, bank besar saja sempat kelimpungan menghadapi kasus ATM, apalagi bank berskala kecil. Artinya, kasus semacam itu tidak memandang bank nasional papan atas atau bawah. Tentu saja, pengadaan sistem teknologi informasi yang canggih itu membutuhkan dana tinggi.

Namun, ini mutlak diperlukan dalam waktu dekat mengingat perkembangan teknologi informasi begitu pesat terlebih ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) efektif 2015. Bank nasional pun wajib merevitalisasi sistem dan prosedur (system operating procedures/SOP) disesuaikan dengan perkembangan produk dan jasa perbankan dan lingkungan bisnis.

Bank nasional perlu pula meningkatkan penerapan segregasi wewenang. Pembagian dan pembatasan wewenang (siapa melakukan apa) wajib terus ditingkatkan. Amat dianjurkan setiap karyawan untuk senantiasa mengganti sandi (password). Jangan pernah membuat sandi yang merupakan tanggal lahir karena itu amat mudah dideteksi. Sandi seharusnya meliputi gabungan angka dengan huruf. Sangat tidak disarankan untuk saling berbagi sandi dengan sesama karyawan sekalipun dengan atasan.

Dengan aneka upaya pencegahan demikian, sangat diharapkan kasus pembobolan perbankan dengan ATM dapat ditekan serendah mungkin. Kartu kredit pun laris manis sehingga laba bank nasional kian tinggi. Sungguh!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar