Negeri
Mustahil
Trias Kuncahyono ;
Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS,
21 September 2014
Daniel Tudor, seorang koresponden untuk
majalah The Economist, di Korea
Selatan, menulis buku menarik tentang Korea Selatan berjudul Korea, The Impossible Country (2012).
Buku ini bercerita tentang kisah Korsel dari negeri yang dibelit kemiskinan
dan di bawah kekuasaan tangan diktator menjelma menjadi negeri modern,
demokratis, dan makmur; negeri yang penuh semangat.
Korsel, menurut Daniel Tudor, memiliki dua mukjizat yang
telah menjadikan ”Negeri Ginseng” itu seperti sekarang ini. Pertama,
”Mukjizat Sungai Han”. Han adalah sungai besar di Semenanjung Korea
dan merupakan sungai terpanjang keempat (494 kilometer) setelah Sungai Amnok,
Duman, dan Nakdong. Empat provinsi—tiga di Korsel, yakni Gangwon, Gyeonggi,
dan Seoul; serta satu di Korea Utara (Korut), yakni North Hwanghae—dilewati
Sungai Han.
Istilah ”Mukjizat Sungai Han” digunakan
untuk menggambarkan pertumbuhan ekonomi Korsel setelah Perang Korea 1953 yang
demikian cepat: dari sebuah negara yang terpuruk karena perang, terbelakang
secara ekonomi dan fisik, pengangguran menumpuk, serta infrastruktur hancur
menjadi negara modern dan makmur.
Kini, perekonomian Korsel didominasi para
chaebol, konglomerat keluarga. Di antaranya adalah Hyundai, Daewoo, Samsung,
LG, Hanjin, SK Industrie, dan Kumho-Asiana. Produknya dapat dengan mudah kita
temui di Indonesia.
Secara lebih khusus, istilah ”Mukjizat
Sungai Han” menunjuk pada pertumbuhan perekonomian Seoul, ibu kota negara
yang dilalui Sungai Han. Perekonomian Korsel tumbuh cepat sejak 1960-an dan
pertumbuhannya dapat dikatakan stabil, 8 persen, sampai 1980-an.
Istilah ”Mukjizat Sungai Han” berasal dari
istilah di Jerman setelah akhir PD II, yakni ”Mukjizat Sungai Rhein”. Kedua
negara, Jerman dan Korsel, muncul dari reruntuhan perang menjadi negara maju.
Mukjizat kedua adalah transformasi politik dari negara
diktator militer menjadi negara demokratis. Negeri ini menjunjung
tinggi nilai-nilai rule of law, pemerintahan berdasarkan hukum dan hak-hak
warga negaranya. Yang terbukti bersalah, melanggar hukum, seperti korupsi,
dihukum berat, siapa pun mereka, termasuk dua presiden: Chun Doo-hwan
(1980-1988) dan Roh Tae-woo (1988-1993).
Di kawasan Asia, ada negara-negara lain
yang sukses secara ekonomi, tetapi tidak secara politik seperti Korsel.
Misalnya, Singapura dan Tiongkok. Kedua negara itu maju secara ekonomi,
tetapi secara politik, menurut istilah Tudor, masih di bawah sistem politik
otoritarian. Jepang memberikan sosok yang lain. Di ”Negeri Sakura” itu ada
pemilu yang bebas dan fair, tetapi sistemnya masih terlalu birokratis dan
kaku sehingga sulit untuk bisa tercipta sistem pemilu demokratis yang
sebenar-benarnya.
Korsel kini sudah maju, modern, dan
demokratis. Namun, apa sudah sesuai dengan cita-cita para bapak bangsanya?
Salah seorang pejuang kemerdekaan Korsel, Kim Gu (1876-1949),
pernah mengatakan, ”Saya tidak menginginkan
bangsa kami menjadi bangsa yang paling kuat dan kaya di dunia... sudah
cukuplah kesejahteraan kami sekarang ini yang membuat hidup kami
berkelimpahan. Yang kami inginkan adalah menjadi ’bangsa terindah di dunia’
yang memberikan kebahagiaan bagi bangsa kita sendiri dan bangsa-bangsa lain.”
Cita-cita Kim Gu itu juga cita-cita para
bapak bangsa Indonesia yang hingga kini belum sepenuhnya terwujud. Sebab,
negeri ini direcoki mereka yang hanya memburu kekuasaan dengan segala cara
dan kebahagiaan mereka sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar