Uni(k)
Samuel Mulia ;
Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di
Kompas
|
KOMPAS,
21 September 2014
SAYA ini senang sekali mengamati manusia,
termasuk diri sendiri. Tentu pengamatan saya sebatas pengamatan dua mata
saja. Tidak ada buku referensi, data akurat, atau hasil penelitian yang
teliti dan jitu yang mendukung tulisan ini.
ABCDE
vs KLMNOP
Saya teringat kepada masa di sekolah
dahulu. Dalam satu kelas kami mendapat pelajaran yang sama. Satu tambah satu
sama dengan dua. Itu diajarkan untuk saya yang IQ-nya anjlok dan mereka yang
IQ-nya menjulang tinggi, bahkan tinggi sekali.
Dengan materi pelajaran yang sama, kami
diuji. Saya tidak mendapat juara, mereka menjadi juara kelas. Secara tidak
langsung, saya menjadi murid yang biasa. Kalau mau lebih kelihatan manusiawi
dan santun, murid yang biasa-biasa banget.
Buat saya, adanya peringkat juara adalah
sebuah diskriminasi dan bukan pemacu semangat. Penilaian itu datang dari mata
manusia yang masuk ke dalam kategori murid yang biasa-biasa banget. Saya
tidak tahu kalau dari kacamata murid yang IQ-nya tinggi banget.
Dalam mata pelajaran agama maupun etika,
saya dan murid-murid lainnya diajari sebuah pelajaran yang sama. Penghinaan
itu tidak baik, kalau berbicara itu yang santun, sampai soal memaafkan yang
juga harus dilakukan.
Kami sama-sama menyimak semuanya itu,
tetapi tak semua dari kami menjalankan nasihat itu. Di dalam rapor kenaikan
kelas, nilai tinggi dalam pelajaran ini tak akan memberi kesempatan seseorang
untuk menjadi juara.
Dua kejadian yang kontradiktif itu buat saya cukup
membingungkan, tetapi akhirnya saya menyimpulkan bahwa itulah uniknya
manusia. Di satu sisi bisa menjadi penghina yang luar biasa, di satu sisi
manusia menjelma menjadi malaikat yang luar biasa. Pertemuan kedua sisi
manusia yang ekstrem itu melahirkan ungkapan seperti serigala berbulu domba.
Pendidikan formal atau tidak formal
mengajarkan saya ABCDE, ketika saya beribadah saya diajarkan untuk KLMNOP.
Saya mau menerapkan KLMNOP ketika berdampingan dengan ABCDE, ternyata
beberapa kali malah terjadi friksi.
Perbedaan memberi warna pada kehidupan.
Demikian yang pernah saya dengar. Artinya, saya dan Anda setuju bahwa setiap
orang berhak memiliki pendapatnya sendiri-sendiri dan perbedaan itu yang
menghasilkan warna. Nah, kalau demikian adanya, seharusnya hidup itu seperti
lagu bunga-bunganya Syahrini di Sappada
Mountain yang diakhiri dengan kalimat telak, I feel free. Tetapi ternyata yang ada, perbedaan tak jarang
melahirkan permusuhan.
Mirip
kodok
Mengapa terjadi demikian? Ini perkiraan
saya yang didapati dari hasil sebuah perjalanan hidup. Mungkin sebagai
manusia, saya ini takut mengetahui kalau sesuatu yang baik dan tidak baik itu
bergumul seperti pergumulan yang terjadi di padang Kurusetra, dan Kurusetra
itu adalah diri saya sendiri.
Sisi baik saya bersuara bahwa sisi tidak
baik saya harus dihilangkan atau diminimalkan. Sisi tidak baik saya berteriak
mungkin lebih kencang bahwa sisi baik saya terlalu mengada-ada, karena tak
ada manusia yang mampu bersih seratus persen dari perbuatan tidak baik.
Sisi baik saya gemar membuat aturan main
sebanyak mungkin agar sisi tidak baik saya kalah telak. Sisi tidak baik saya
menyuarakan bahwa aturan main itu hanya guyonan belaka yang bakal menjadi
beban, karena sejak aturan itu mulai dibuat, saya tahu persis saya tak bisa
melakoni semuanya dan bakal menjadi bumerang.
Sisi baik saya mengatakan uang bukanlah
segala-galanya, sisi tidak baik saya bersuara benar tidak segalanya, tetapi
ah... yang benar saja masak saya tidak suka punya uang banyak. Sisi baik saya
takut mengetahui gempuran yang disuarakan sisi tidak baik. Dan semakin
ketakutan, saya semakin membuat aturan main yang begitu banyaknya.
Kalau sudah begitu, saya jadi berpikir,
mungkin di situlah letak uniknya saya
sebagai manusia. Bukan karena saya hidup mirip kodok di dua dunia,
bukan karena saya memiliki kehidupan dengan dua muka, tetapi keunikannya karena saya terkejut, kok, kayaknya ketidakbenaran bisa mendatangkan kebenaran.
Saya terkejut kalau ternyata
saya senang punya uang banyak, meski saya tahu itu bukan segalanya. Saya
terkejut karena perbedaan pendapat yang membuat hidup lebih berwarna,
ternyata mengancam keberadaan saya, dan membuat saya tak bisa bernyanyi
bahagia seperti Syahrini dan mengatakan I feel free.
Saya dinasihati untuk memaafkan. Waktu saya
dinasihati itu, saya mengangguk-angguk tanda setuju. Setelah itu ada suara
lain yang berbicara. ”Iya elo emang punya kemampuan memaafkan, tetapi elo
jangan lupa bro, kalau elo juga punya kemampuan yang sama besarnya untuk
tidak memaafkan.”
Maka seringlah saya mendengar ucapan macam begini.
”Sudahlah kita ini, kan, manusia. So pasti pernah salah dan pernah benar.
Pernah baik, pernah tidak baik.” Maka saya bergumam sendiri. Semoga kalau
suatu hari saya angkat kaki dari bumi ini, Tuhan menyetujui seperti banyaknya
mulut yang bersuara seperti itu.
Dan kalau saya lolos dari hari penghakiman, itu karena kemanusiaan saya yang unik, dan bukan karena
saya telah membuat aturan main yang baik dan benar, meski tak bisa saya
lakoni seratus persen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar