Senin, 22 September 2014

Uni(k)

Uni(k)

Samuel Mulia  ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS, 21 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

SAYA ini senang sekali mengamati manusia, termasuk diri sendiri. Tentu pengamatan saya sebatas pengamatan dua mata saja. Tidak ada buku referensi, data akurat, atau hasil penelitian yang teliti dan jitu yang mendukung tulisan ini.

ABCDE vs KLMNOP

Saya teringat kepada masa di sekolah dahulu. Dalam satu kelas kami mendapat pelajaran yang sama. Satu tambah satu sama dengan dua. Itu diajarkan untuk saya yang IQ-nya anjlok dan mereka yang IQ-nya menjulang tinggi, bahkan tinggi sekali.

Dengan materi pelajaran yang sama, kami diuji. Saya tidak mendapat juara, mereka menjadi juara kelas. Secara tidak langsung, saya menjadi murid yang biasa. Kalau mau lebih kelihatan manusiawi dan santun, murid yang biasa-biasa banget.

Buat saya, adanya peringkat juara adalah sebuah diskriminasi dan bukan pemacu semangat. Penilaian itu datang dari mata manusia yang masuk ke dalam kategori murid yang biasa-biasa banget. Saya tidak tahu kalau dari kacamata murid yang IQ-nya tinggi banget.

Dalam mata pelajaran agama maupun etika, saya dan murid-murid lainnya diajari sebuah pelajaran yang sama. Penghinaan itu tidak baik, kalau berbicara itu yang santun, sampai soal memaafkan yang juga harus dilakukan.

Kami sama-sama menyimak semuanya itu, tetapi tak semua dari kami menjalankan nasihat itu. Di dalam rapor kenaikan kelas, nilai tinggi dalam pelajaran ini tak akan memberi kesempatan seseorang untuk menjadi juara.

Dua kejadian yang kontradiktif itu buat saya cukup membingungkan, tetapi akhirnya saya menyimpulkan bahwa itulah uniknya manusia. Di satu sisi bisa menjadi penghina yang luar biasa, di satu sisi manusia menjelma menjadi malaikat yang luar biasa. Pertemuan kedua sisi manusia yang ekstrem itu melahirkan ungkapan seperti serigala berbulu domba.

Pendidikan formal atau tidak formal mengajarkan saya ABCDE, ketika saya beribadah saya diajarkan untuk KLMNOP. Saya mau menerapkan KLMNOP ketika berdampingan dengan ABCDE, ternyata beberapa kali malah terjadi friksi.

Perbedaan memberi warna pada kehidupan. Demikian yang pernah saya dengar. Artinya, saya dan Anda setuju bahwa setiap orang berhak memiliki pendapatnya sendiri-sendiri dan perbedaan itu yang menghasilkan warna. Nah, kalau demikian adanya, seharusnya hidup itu seperti lagu bunga-bunganya Syahrini di Sappada Mountain yang diakhiri dengan kalimat telak, I feel free. Tetapi ternyata yang ada, perbedaan tak jarang melahirkan permusuhan.

Mirip kodok

Mengapa terjadi demikian? Ini perkiraan saya yang didapati dari hasil sebuah perjalanan hidup. Mungkin sebagai manusia, saya ini takut mengetahui kalau sesuatu yang baik dan tidak baik itu bergumul seperti pergumulan yang terjadi di padang Kurusetra, dan Kurusetra itu adalah diri saya sendiri.

Sisi baik saya bersuara bahwa sisi tidak baik saya harus dihilangkan atau diminimalkan. Sisi tidak baik saya berteriak mungkin lebih kencang bahwa sisi baik saya terlalu mengada-ada, karena tak ada manusia yang mampu bersih seratus persen dari perbuatan tidak baik.

Sisi baik saya gemar membuat aturan main sebanyak mungkin agar sisi tidak baik saya kalah telak. Sisi tidak baik saya menyuarakan bahwa aturan main itu hanya guyonan belaka yang bakal menjadi beban, karena sejak aturan itu mulai dibuat, saya tahu persis saya tak bisa melakoni semuanya dan bakal menjadi bumerang.

Sisi baik saya mengatakan uang bukanlah segala-galanya, sisi tidak baik saya bersuara benar tidak segalanya, tetapi ah... yang benar saja masak saya tidak suka punya uang banyak. Sisi baik saya takut mengetahui gempuran yang disuarakan sisi tidak baik. Dan semakin ketakutan, saya semakin membuat aturan main yang begitu banyaknya.

Kalau sudah begitu, saya jadi berpikir, mungkin di situlah letak uniknya saya sebagai manusia. Bukan karena saya hidup mirip kodok di dua dunia, bukan karena saya memiliki kehidupan dengan dua muka, tetapi keunikannya karena saya terkejut, kok, kayaknya ketidakbenaran bisa mendatangkan kebenaran.

Saya terkejut kalau ternyata saya senang punya uang banyak, meski saya tahu itu bukan segalanya. Saya terkejut karena perbedaan pendapat yang membuat hidup lebih berwarna, ternyata mengancam keberadaan saya, dan membuat saya tak bisa bernyanyi bahagia seperti Syahrini dan mengatakan I feel free.

Saya dinasihati untuk memaafkan. Waktu saya dinasihati itu, saya mengangguk-angguk tanda setuju. Setelah itu ada suara lain yang berbicara. ”Iya elo emang punya kemampuan memaafkan, tetapi elo jangan lupa bro, kalau elo juga punya kemampuan yang sama besarnya untuk tidak memaafkan.”

Maka seringlah saya mendengar ucapan macam begini. ”Sudahlah kita ini, kan, manusia. So pasti pernah salah dan pernah benar. Pernah baik, pernah tidak baik.” Maka saya bergumam sendiri. Semoga kalau suatu hari saya angkat kaki dari bumi ini, Tuhan menyetujui seperti banyaknya mulut yang bersuara seperti itu.

Dan kalau saya lolos dari hari penghakiman, itu karena kemanusiaan saya yang unik, dan bukan karena saya telah membuat aturan main yang baik dan benar, meski tak bisa saya lakoni seratus persen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar