Seni
Kritik Seorang Kartunis
Seno Gumira Ajidarma ;
Wartawan Tempo
|
KOMPAS,
21 September 2014
ANGIN Melbourne bersuhu 15 derajat celsius
sedang bertiup kencang pada pagi 18 September lalu, ketika Ucok, Direktur
Galeri Soemardja Institut Teknologi Bandung (ITB) yang berambut setengah
gimbal, menyampaikan berita itu, ”Mas, sudah tahu Mas Pri meninggal dunia
kemarin?”
Tentu saya terenyak. Sembari melangkah di
trotoar yang mulai penuh dengan manusia, yang seperti merasa bersalah kalau
tidak berjalan cepat, hadir kembali sosok Priyanto Sunarto, sang kartunis,
yang tahun-tahun terakhir hidupnya bahkan begitu sulit hanya untuk berjalan
dari meter ke meter. Kartunis mingguan berita Tempo yang juga mengajar di
Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan Departemen Seni Rupa ITB itu didera
berbagai komplikasi akibat penyakit diabetes, yang membuat segenap
kegiatannya harus didukung kruk, dengan kondisi yang membuat setiap inci
geraknya bagai merupakan usaha berat.
Tidak diragukan bahwa sebagai kartunis
(istilah yang lebih tepat daripada karikaturis yang salah kaprah) Priyanto
yang menandatangani kartunnya sebagai PRIS lebih dari layak untuk dicatat,
dan hal itu akan semakin terbukti pada masa depan. Namun, adalah
pencapaiannya sebagai manusia yang bagi saya menggetarkan, karena tampak
dengan jelas sikap dan perjuangannya untuk tidak perlu menyerah meskipun
dirasakannya betapa penyakit yang akan mengakhiri daya hidup tubuhnya itu
merayap dengan kepastian.
Tiga
aspek kartun Pri-S
Pencapaian semacam itu, jika menengok
kembali kartun-kartunnya yang disebut—entah oleh dirinya, entah oleh
Tempo—sebagai ”kartun opini”, tampak merupakan konsekuensi belaka dari
sikapnya yang juga keras terhadap ketidakwajaran dunia di sekitarnya.
Menggunakan tolok ukur semasa Orde Baru, ketika sikap kritis terhadap
penguasa merupakan barang langka, meskipun dalam kerangka humor, kartun
Priyanto tetap saja tergolong bernyali karena kerasnya kritik yang mendekati
”kurang ajar”—yang pada masa penuh eufemisme itu bisa terkesan vulgar.
Mendekati 17 tahun setelah Reformasi 1998, ketika gugatan bisa tampil secara
barbar, kartun Priyanto semasa Orde Baru terasa eksotik, bukan sekadar karena
sosok dan atmosfer yang ”Indonesiawi”, tetapi juga terjejaki bagaimana
kartun-kartunnya sungguh merupakan seni kritik.
Dalam diskusi pada pameran ”Politik Gambar Dua Empu: Priyanto S
Prinka”, 13 Desember 2013, di Taman Ismail Marzuki, bersama Goenawan
Mohamad dan Bambang Bujono, saya mencatat terdapatnya tiga aspek dalam kartun
Priyanto semasa Orde Baru, dari 1977 sampai 1994, seperti yang terdapat dalam
buku Opini Pri-S (2009).
Pertama, di luar kebiasaan para kartunis di
Indonesia yang mengandalkan sosok seorang tokoh untuk berkomentar, Priyanto
menjadikan ”rakyat” alias banyak sosok sebagai tokoh kartun yang kolektif.
Saya pernah membaca bahwa tokoh kartun politisnya bernama Sartempe, tetapi
setidaknya dalam buku tersebut nama itu tak sampai saya ingat, dan
menonjolnya satu saja sosok dibanding yang lain tidak terjadi. Maka, berbeda
dengan tokoh kartun tunggal yang sebagai komentator di luar peristiwa bisa
berada ”di atas angin”, sosok-sosok kolektif ini berada di dalam peristiwa
atau kasus yang diberi komentar, dan karena itu lebih sering menjadi bagian
dari korban.
Kedua, bahwa kasus-kasus fantastis alias
tidak masuk akal maupun di luar nalar, yang merupakan kejadian sehari-hari
selama Orde Baru, tergambarkan dalam gambar-gambar yang juga fantastis.
Sekadar deskripsi: untuk menggambarkan Sidang Umum MPR 1988 yang tidak akan
mengubah apa pun, terlihat gambar mulut-mulut menganga beterbangan di udara;
dalam teater absurd permudikan Lebaran 1989, hanya tangan-tangan di dalam
kereta api, bus, mobil, maupun di udara memenuhi bidang gambar untuk bersalaman;
hanya satu wajah raksasa menonton lakon Opera
Kecoa karya Teater Koma pada 1990 yang dilarang main.
Ketiga, kartun Priyanto sungguh berfungsi
sebagai rekaman sejarah Orde Baru. Dari minggu ke minggu segala kejadian yang
berhubungan dengan kebijakan pemerintah maupun peristiwa yang berlangsung di
antara khalayak jelata hadir dalam sudut pandang terjelas, yang meski bukan
merupakan sudut pandang sejarawan, tidak bisa ditolak kesahihannya sebagai
penggambaran situasi Orde Baru. Determinasi kekuasaan yang dengan segala daya
berusaha hadir secara absolut, sedikit banyak berdampak kepada perilaku
khalayak yang belum berani melawan, yang dalam kacamata seorang kartunis
sungguh begitu layak—dengan penuh keprihatinan—untuk ditertawakan.
Kartun
eksotik dan seni kritik
Saya tidak merasa telah melakukan kajian
yang pantas atas karya Priyanto, tetapi dapat saya katakan bahwa kesan atas
terdapatnya identitas ”keindonesiaan” yang dicapai Priyanto boleh dibenarkan.
Saya sendiri tidak akan pernah bisa mengatakan di sebelah mana ”Indonesianya”
sebuah coretan dan apakah identitas itu memang bisa dibatasi sebagai
”Indonesia” saja dan bukan yang lain. Namun, kartun Priyanto secara visual
memang bisa dipisahkan dari banyak kartun: bergaya kasar dan tidak
berpretensi canggih, bagai keluguan seni rakyat kelas bawah—dan karena itulah
saya sebut eksotik.
Sedangkan keberadaannya sebagai seni kritik
juga hanya bisa saya jabarkan dengan terbatas, antara lain karena dengan
segala keterusterangan dan sifat ”tabrak langsungnya” (menyindir secara halus
bukanlah gaya Priyanto), gambar-gambar kartunnya tetap berhasil sebagai humor
yang cemerlang—dan itulah syarat utama untuk disebut kartun, yang paling
politis sekalipun. Tentu boleh dicatat bahwa Priyanto sendiri sempat
berpindah posisi sebagai peneliti kartun, yang kemudian menjadi disertasi S-3
pada tahun 2005, ”Metafora Visual
Kartun Editorial pada Surat Kabar 1950-1957”, yang agak keterlaluan jika
tidak cepat-cepat diterbitkan sebagai buku.
Ketika untuk pertama kalinya—dan ternyata
tak pernah lagi—sama-sama menjadi pembicara pada suatu forum tentang komik
dan kartun, dengan keheranan yang sungguh jujur Priyanto Sunarto bertanya
kepada saya, ”Kok, kamu jadinya kayak
orang seni rupa, sih?” Saat itu saya hanya tersenyum, tetapi beliau
mungkin tak menyadari bahwa bagi saya sebagai orang yang tidak mampu
menggambar, pertanyaannya itu telah menjadi pernyataan yang berarti.
Burung-burung beterbangan di atas Sungai
Yarra ketika saya teringat semua hal yang berhubungan dengan sang kartunis. Terima kasih banyak Mas Pri, dan selamat
jalan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar