Rabu, 10 September 2014

Nasib Oh Nasib

Nasib Oh Nasib  

L Wilardjo  ;   Fisikawan, Guru Besar Fakultas Teknik Elektronika dan Komputer (FTEK) UKSW Salatiga
SUARA MERDEKA, 08 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

DALAM pilpres tahun 2000 di Amerika Serikat, mantan wapres Al Gore dikalahkan George W Bush. Al Gore telah berusaha keras meyakinkan para pemilih selama kampanye bahwa ia akan menjadi presiden yang baik, yang memberi perhatian kepada masalah lingkungan. Tetapi ia kalah tipis. Ia mengajukan gugatan perselisihan hasil pemilihan umum ke MA namun tetap kalah.

Ia tahu kubu George Bush memanfaatkan konservatisme, baik dalam politik maupun dalam isu moral. Dalam politik, “konservatif” berarti hanya memercayai nilai-nilai yang sudah teruji. Sejak kursi AS-1 diduduki George W H Bush le perre (sang ayah), AS memang berkesan menyepelekan peringatan ilmuwan tentang ancaman bencana alam. Kecaman terhadap konsumsi energi yang sangat lahap dan sikap dingin negara itu terhadap Protokol Kyoto, ditanggapi Presiden Bush senior (1992). Dikatakan, ’’American life is not negotiable.” (Gaya hidup orang Amerika tidak boleh ditawar-tawar.)

Dalam isu moral, konservatisme kubu George Bush tampak pada pemihakan Jebb Bush, gubernur Florida yang juga saudara George Walker Bush, kepada keluarga Schindler. Pada waktu itu Michael Schiavo memohon izin Pengadilan Tinggi Negara Bagian Florida, untuk melakukan euthanasia terhadap istrinya, Mary. Istrinya sudah minta euthanasia itu dengan persetujuan sesudah penjelasan/PSP, atau informed consent) sebelum ia terlelap dalam koma berkepanjangan (persistent vegetative state/PVS) belasan tahun. Keluarga Schindler, orang tua Mary, tidak menyetujui euthanasia itu. Mereka menang di pengadilan tingkat pertama sehingga Michael mengajukan banding.

Pengadilan Tinggi akhirnya mengabulkan permohonan euthanasia itu, tapi konservatisme kubu Bush terlanjur mendulang dukungan warga gereja, terutama gereja-gereja “Bible” yang non-denominational, konservatif, dan tersebar di mana-mana. Gereja-gereja itu juga meremehkan ancaman bencana alam akibat ulah serakah Amerika berkait lingkungan. Mereka, dan kaum Republikan, baru menyadari kebenaran peringatan Al Gore setelah bagian selatan negara adidaya itu dihajar Badai Kathryna pada awal pemerintahan George Bush.

Setelah MA memutuskan bahwa pemenangnya George W Bush, Al Gore memberi selamat. Ia menerima kekalahannya dengan legawa. Ia demokrat yang menghormati konstitusi. Ia dapat menerima kenyataan bahwa lawan politiknya yang menang.

Trias Kuncahyono dalam kolom “Kredensial”-nya ( 31/8/14) mengatakan bahwa Al Gore “mencintai nasib”. Benarkah? Saya rasa tidak. Mencintai nasib berarti merangkul fatalisme. Fatalis adalah orang yang sudah dapat mengantisipasi keadaan buruk yang mengancam akan menimpanyatapi tidak berusaha mengelakkannya, dan tidak menyiapkan diri untuk meminimalkan dampak. Jelaslah Al Gore, yang memperoleh hadiah Nobel dari Oslo untuk perdamaian berkat kampanyenya melestarikan lingkungan bukan “pencinta nasib”.

Tidak Semua

Kalau ada orang-orang yang dapat disebut “pencinta nasib”, mereka adalah keluarga Oedipus, raja di Thebes dalam seri tragedi karya Sophocles. Oedipus dan putrinya (yang juga adiknya karena “nasib” memaksanya menikahi ibu sendiri, Jocasta) yakni Antigone, tidak berdaya jadi bulan-bulanan permainan nasib yang digariskan para dewa Yunani Kuno.

Entah dicari-cari yang serupa, atau hanya kebetulan, ada persamaan antara capres Afganistan, Abdullah Abdullah, dan capres nomor urut 1 dalam pilpres RI 2014. Menurut Kuncahyono, Abdullah bin Abdullah adalah contoh tokoh yang tidak mencintai nasib. Kegigihannya menuntut kemenangan menunjukkan betapa sulitnya ia mencintai nasib.

Mengikuti pandangan filsuf Thomas Hobbes, Trias Kuncahyono menganggap manusia pada dasarnya secara alamiah kompetitif, artinya ingin tampak lebih baik dan lebih perkasa daripada liyan. Saya tidak tahu apakah memang demikian naluri manusia pada umumnya sebagai individu. Tetapi secara kolektif, sebagai masyarakat atau bangsa, kelihatannya memang begitulah.

Masyarakat manusia mengembangkan kebudayaan dan membangun peradaban. Kebudayaan adalah usaha dan upaya masyarakat/bangsa untuk memperoleh kedudukan “di atas angin”, artinya tidak terpuruk dan tidak tak berdaya dalam berinteraksi dengan lingkungannya, baik alam, maupun lingkungan sosialnya. Peradaban adalah perikeadaan masyarakat berbudaya maju, dengan capaian-capaian yang mencuat tinggi dalam berbagai bidang.

Tetapi kedudukan di atas angin itu, taruhlah sebagai negara-bangsa adidaya, tidak dicapai dengan Darwinisme sosial, atau dengan exploitation des l’hommes par l’hommes yang dibenci Bung Karno. Itu justru bertentangan dengan pengertian “bangsa yang berbudaya dan berperadaban tinggi.” Untuk kita, bangsa Indonesia, kompetisi itu kita jalani secara demokratis dan konstitusional sesuai jiwa Pancasila. Dalam pemilu misalnya, semboyan luber dan jurdil harus kita aktualisasikan dengan bersedia menang atau kalah secara kesatria.

Tidak semua orang selalu ingin menang seperti kata Hobbes. Ada juga yang berjiwa besar (magnanimous), yang dengan tulus bersedia mengalah dalam posisi sebenarnya lebih unggul, demi kepentingan lebih besar bagi banyak orang. Ada yang berjiwa filantropis, yang rela menyumbangkan kekayaan dan/atau kemampuannya kepada masyarakat. Ada pula yang altruistik, mendahulukan kepentingan liyan di atas keinginannya sendiri. Doktor  Albert Schweitzer, Ibu Teresa, dan presiden Uruguay sekarang ini termasuk di antara orang-orang pecinta kemanusiaan seperti itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar