Nasib
Oh Nasib
L Wilardjo ;
Fisikawan,
Guru Besar Fakultas Teknik Elektronika dan Komputer (FTEK) UKSW Salatiga
|
SUARA
MERDEKA, 08 September 2014
DALAM
pilpres tahun 2000 di Amerika Serikat, mantan wapres Al Gore dikalahkan
George W Bush. Al Gore telah berusaha keras meyakinkan para pemilih selama
kampanye bahwa ia akan menjadi presiden yang baik, yang memberi perhatian
kepada masalah lingkungan. Tetapi ia kalah tipis. Ia mengajukan gugatan
perselisihan hasil pemilihan umum ke MA namun tetap kalah.
Ia
tahu kubu George Bush memanfaatkan konservatisme, baik dalam politik maupun
dalam isu moral. Dalam politik, “konservatif” berarti hanya memercayai
nilai-nilai yang sudah teruji. Sejak kursi AS-1 diduduki George W H Bush le
perre (sang ayah), AS memang berkesan menyepelekan peringatan ilmuwan tentang
ancaman bencana alam. Kecaman terhadap konsumsi energi yang sangat lahap dan
sikap dingin negara itu terhadap Protokol Kyoto, ditanggapi Presiden Bush
senior (1992). Dikatakan, ’’American
life is not negotiable.” (Gaya hidup orang Amerika tidak boleh
ditawar-tawar.)
Dalam
isu moral, konservatisme kubu George Bush tampak pada pemihakan Jebb Bush,
gubernur Florida yang juga saudara George Walker Bush, kepada keluarga
Schindler. Pada waktu itu Michael Schiavo memohon izin Pengadilan Tinggi
Negara Bagian Florida, untuk melakukan euthanasia
terhadap istrinya, Mary. Istrinya sudah minta euthanasia itu dengan persetujuan sesudah penjelasan/PSP, atau informed consent) sebelum ia terlelap
dalam koma berkepanjangan (persistent
vegetative state/PVS) belasan tahun. Keluarga Schindler, orang tua Mary,
tidak menyetujui euthanasia itu. Mereka menang di pengadilan tingkat pertama
sehingga Michael mengajukan banding.
Pengadilan
Tinggi akhirnya mengabulkan permohonan euthanasia itu, tapi konservatisme
kubu Bush terlanjur mendulang dukungan warga gereja, terutama gereja-gereja
“Bible” yang non-denominational,
konservatif, dan tersebar di mana-mana. Gereja-gereja itu juga meremehkan
ancaman bencana alam akibat ulah serakah Amerika berkait lingkungan. Mereka,
dan kaum Republikan, baru menyadari kebenaran peringatan Al Gore setelah
bagian selatan negara adidaya itu dihajar Badai Kathryna pada awal pemerintahan
George Bush.
Setelah
MA memutuskan bahwa pemenangnya George W Bush, Al Gore memberi selamat. Ia
menerima kekalahannya dengan legawa.
Ia demokrat yang menghormati konstitusi. Ia dapat menerima kenyataan bahwa
lawan politiknya yang menang.
Trias Kuncahyono dalam kolom “Kredensial”-nya ( 31/8/14) mengatakan bahwa Al Gore
“mencintai nasib”. Benarkah? Saya rasa tidak. Mencintai nasib berarti
merangkul fatalisme. Fatalis adalah orang yang sudah dapat mengantisipasi
keadaan buruk yang mengancam akan menimpanyatapi tidak berusaha
mengelakkannya, dan tidak menyiapkan diri untuk meminimalkan dampak. Jelaslah
Al Gore, yang memperoleh hadiah Nobel dari Oslo untuk perdamaian berkat
kampanyenya melestarikan lingkungan bukan “pencinta nasib”.
Tidak Semua
Kalau
ada orang-orang yang dapat disebut “pencinta nasib”, mereka adalah keluarga
Oedipus, raja di Thebes dalam seri tragedi karya Sophocles. Oedipus dan
putrinya (yang juga adiknya karena “nasib” memaksanya menikahi ibu sendiri,
Jocasta) yakni Antigone, tidak berdaya jadi bulan-bulanan permainan nasib
yang digariskan para dewa Yunani Kuno.
Entah
dicari-cari yang serupa, atau hanya kebetulan, ada persamaan antara capres
Afganistan, Abdullah Abdullah, dan capres nomor urut 1 dalam pilpres RI 2014.
Menurut Kuncahyono, Abdullah bin Abdullah adalah contoh tokoh yang tidak
mencintai nasib. Kegigihannya menuntut kemenangan menunjukkan betapa sulitnya
ia mencintai nasib.
Mengikuti
pandangan filsuf Thomas Hobbes, Trias Kuncahyono menganggap manusia pada
dasarnya secara alamiah kompetitif, artinya ingin tampak lebih baik dan lebih
perkasa daripada liyan. Saya tidak tahu apakah memang demikian naluri manusia
pada umumnya sebagai individu. Tetapi secara kolektif, sebagai masyarakat
atau bangsa, kelihatannya memang begitulah.
Masyarakat
manusia mengembangkan kebudayaan dan membangun peradaban. Kebudayaan adalah
usaha dan upaya masyarakat/bangsa untuk memperoleh kedudukan “di atas angin”,
artinya tidak terpuruk dan tidak tak berdaya dalam berinteraksi dengan lingkungannya,
baik alam, maupun lingkungan sosialnya. Peradaban adalah perikeadaan
masyarakat berbudaya maju, dengan capaian-capaian yang mencuat tinggi dalam
berbagai bidang.
Tetapi
kedudukan di atas angin itu, taruhlah sebagai negara-bangsa adidaya, tidak
dicapai dengan Darwinisme sosial, atau dengan exploitation des l’hommes par l’hommes yang dibenci Bung Karno.
Itu justru bertentangan dengan pengertian “bangsa
yang berbudaya dan berperadaban tinggi.” Untuk kita, bangsa Indonesia,
kompetisi itu kita jalani secara demokratis dan konstitusional sesuai jiwa
Pancasila. Dalam pemilu misalnya, semboyan luber dan jurdil harus kita
aktualisasikan dengan bersedia menang atau kalah secara kesatria.
Tidak
semua orang selalu ingin menang seperti kata Hobbes. Ada juga yang berjiwa
besar (magnanimous), yang dengan
tulus bersedia mengalah dalam posisi sebenarnya lebih unggul, demi
kepentingan lebih besar bagi banyak orang. Ada yang berjiwa filantropis, yang
rela menyumbangkan kekayaan dan/atau kemampuannya kepada masyarakat. Ada pula
yang altruistik, mendahulukan kepentingan liyan
di atas keinginannya sendiri. Doktor
Albert Schweitzer, Ibu Teresa, dan presiden Uruguay sekarang ini
termasuk di antara orang-orang pecinta kemanusiaan seperti itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar