Rabu, 10 September 2014

Di Balik Persaingan Elite Politik

Di Balik Persaingan Elite Politik  

Gunawan Witjaksana  ;   Dosen,
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Semarang
SUARA MERDEKA, 09 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

SEHARI sebelum pelaksanaan Pemilihan Presiden 2014; pada Selasa, 8 September rapat paripurna DPR mengeluarkan keputusan yang menyejutkan. Parlemen mengesahkan revisi UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Dalam rapat tersebut, tiga fraksi, yaitu PDIP, PKB, dan Hanura walk out, dan hingga saat ini pun PDIP dan lima LSM masih menggugat regulasi itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mencermati peristiwa itu, publik bisa melihat masing-masing kelompok elite politik bersikukuh pada argumen masing-masing. Koalisi Merah Putih beranggapan bahwa selayaknyalah DPR sebagai wakil rakyat memberikan contoh model demokrasi sehingga dalam memilih pimpinan pun harus secara demokratis. Untuk itu, perlu lebih dulu bermusyawarah, dan andai tidak tercapai ada kesepakatan memutuskan melalui voting.

Di sisi lain, Koalisi Indonesia Hebat berpandangan bahwa UU tentang MD3 hasil revisi tersebut telah menghilangkan prinsip kegotongroyongan dalam mengelola bangsa demi tercapainya kesejahteraan masyarakat sesuai amanat konstitusi.

Sayang, kepesatan perkembangan teknologi informatika dan komunikasi, serta era kebebasan pers, disertai dengan perubahan orientasi para pengelola media massa telah menyebabkan hampir semua informasi yang terkait dengan UU MD3, diterima masyarakat. Termasuk pandangan yang hanya mempertontonkan kontroversi. Dampak disfungsionalnya tentu membuat bingung sebagian besar masyarakat. Adapun mereka yang ”paham” memilih menunggu keputusan MK berkait gugatan itu.

Belum rampung silang sengketa terkait UU tentang MD3, dua koalisi di DPR membuat kontroversi lanjutan, terkait RUU tentang Pilkada. Koalisi Merah Putih menginginkan gubernur dan wali kota/bupati kembali dipilih oleh DPRD, sedangkan Koalisi Indonesia Hebat tetap menginginkan pilkada langsung oleh rakyat.

Masing-masing pihak cenderung bertahan pada argumennya, dan kemungkinan ujung-ujungnya UU tentang Pilkada yang disahkan merupakan keinginan dari pemenang voting. Hal itu sekaligus tidak menutup kemungkinan kemunculan gugatan berikutnya ke MK. Apa tujuan sebenarnya yang ingin dicapai wakil rakyat di DPR? Benarkah yang mereka lakukan tersebut sesuai dengan keinginan rakyat yang mereka wakili, atau seperti sinyalemen banyak kalangan bahwa niat itu hanya demi keinginan, bahkan ambisi kelompok, yang lebih bernuansa balas dendam?

Tindakan Nyata

Hampir semua elite politik ketika akan dipilih berjanji menyejahterakan rakyat maka selayaknyalah mereka kembali berkomunikasi secara jujur kepada para pemilih. Dalam bahasa public relations (PR), citra positif yang mereka peroleh melalui pilihan rakyat terhadap mereka, kelak bila sudah menjabat akan kembali ditagih oleh pemilih melalui tindakan nyata dan rakyat bisa langsung merasakan manfaatnya.

Selain itu, sudah seharusnya apa yang dirasakan rakyat saat inilah yang harus diperjuangkan para elite melalui lembaga legislatif tempat mereka berkarya. Saat ini rakyat merasakan kehidupannya bertambah sulit karena BBM makin langka dan harganya pun akan naik, persoalan pupuk, kenaikan harga elpiji, tarif dasar listrik (TDL), sebagainya. Sangat ironis jika para elite malah mempertontonkan berbagai manuver yang sangat kontraproduktif.

Seharusnya mereka mengutamakan prinsip musyawarah dalam bermufakat, dilandasi asas gotong royong sesuai dengan prinsip demokrasi Pancasila. Hal itu supaya konsisten dengan janji merekae semasa berkampanye, yakni kalah atau menang adalah hal biasa dalam sebuah kompetisi, dan setelah itu mereka siap mendukung siapa pun yang dipilih rakyat. Bukan sebaliknya, yakni kesan mengandalkan kekuatan melalui voting yang sangat liberalis dan lebih memperlihatkan upaya balas dendam.

Para elite perlu segera menyadari saat ini rakyat sudah makin cerdas. Dengan dukungan media massa atau media yang lain rakyat akan selalu mengawasi apa yang telah dilakukan oleh wakil yang mereka beri mandat. Melalui berbagai informasi yang makin jelas dan lengkap, rakyat bisa menilai elite mana yang sebenarnya memperjuangkan rakyat, dan mana yang hanya berpura-pura.

Bila tidak puas, masih untung bila mereka sebatas tidak akan kembali memilih elite politik tersebut beserta partainya pada 5 tahun mendatang. Namun bila ketidakpuasan itu mereka lampiaskan melalui model lain yang berbau barbarian ke Senayan, bukankah itu ironi yang harus sama-sama kita hindarkan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar