Di
Balik Persaingan Elite Politik
Gunawan Witjaksana ;
Dosen,
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 09 September 2014
SEHARI
sebelum pelaksanaan Pemilihan Presiden 2014; pada Selasa, 8 September rapat
paripurna DPR mengeluarkan keputusan yang menyejutkan. Parlemen mengesahkan
revisi UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Dalam
rapat tersebut, tiga fraksi, yaitu PDIP, PKB, dan Hanura walk out, dan hingga
saat ini pun PDIP dan lima LSM masih menggugat regulasi itu ke Mahkamah
Konstitusi (MK).
Mencermati
peristiwa itu, publik bisa melihat masing-masing kelompok elite politik
bersikukuh pada argumen masing-masing. Koalisi Merah Putih beranggapan bahwa
selayaknyalah DPR sebagai wakil rakyat memberikan contoh model demokrasi
sehingga dalam memilih pimpinan pun harus secara demokratis. Untuk itu, perlu
lebih dulu bermusyawarah, dan andai tidak tercapai ada kesepakatan memutuskan
melalui voting.
Di
sisi lain, Koalisi Indonesia Hebat berpandangan bahwa UU tentang MD3 hasil
revisi tersebut telah menghilangkan prinsip kegotongroyongan dalam mengelola
bangsa demi tercapainya kesejahteraan masyarakat sesuai amanat konstitusi.
Sayang,
kepesatan perkembangan teknologi informatika dan komunikasi, serta era
kebebasan pers, disertai dengan perubahan orientasi para pengelola media
massa telah menyebabkan hampir semua informasi yang terkait dengan UU MD3,
diterima masyarakat. Termasuk pandangan yang hanya mempertontonkan
kontroversi. Dampak disfungsionalnya tentu membuat bingung sebagian besar
masyarakat. Adapun mereka yang ”paham” memilih menunggu keputusan MK berkait
gugatan itu.
Belum
rampung silang sengketa terkait UU tentang MD3, dua koalisi di DPR membuat
kontroversi lanjutan, terkait RUU tentang Pilkada. Koalisi Merah Putih
menginginkan gubernur dan wali kota/bupati kembali dipilih oleh DPRD,
sedangkan Koalisi Indonesia Hebat tetap menginginkan pilkada langsung oleh
rakyat.
Masing-masing
pihak cenderung bertahan pada argumennya, dan kemungkinan ujung-ujungnya UU
tentang Pilkada yang disahkan merupakan keinginan dari pemenang voting. Hal
itu sekaligus tidak menutup kemungkinan kemunculan gugatan berikutnya ke MK.
Apa tujuan sebenarnya yang ingin dicapai wakil rakyat di DPR? Benarkah yang
mereka lakukan tersebut sesuai dengan keinginan rakyat yang mereka wakili,
atau seperti sinyalemen banyak kalangan bahwa niat itu hanya demi keinginan,
bahkan ambisi kelompok, yang lebih bernuansa balas dendam?
Tindakan Nyata
Hampir
semua elite politik ketika akan dipilih berjanji menyejahterakan rakyat maka
selayaknyalah mereka kembali berkomunikasi secara jujur kepada para pemilih.
Dalam bahasa public relations (PR),
citra positif yang mereka peroleh melalui pilihan rakyat terhadap mereka,
kelak bila sudah menjabat akan kembali ditagih oleh pemilih melalui tindakan
nyata dan rakyat bisa langsung merasakan manfaatnya.
Selain
itu, sudah seharusnya apa yang dirasakan rakyat saat inilah yang harus diperjuangkan
para elite melalui lembaga legislatif tempat mereka berkarya. Saat ini rakyat
merasakan kehidupannya bertambah sulit karena BBM makin langka dan harganya
pun akan naik, persoalan pupuk, kenaikan harga elpiji, tarif dasar listrik
(TDL), sebagainya. Sangat ironis jika para elite malah mempertontonkan
berbagai manuver yang sangat kontraproduktif.
Seharusnya
mereka mengutamakan prinsip musyawarah dalam bermufakat, dilandasi asas
gotong royong sesuai dengan prinsip demokrasi Pancasila. Hal itu supaya
konsisten dengan janji merekae semasa berkampanye, yakni kalah atau menang
adalah hal biasa dalam sebuah kompetisi, dan setelah itu mereka siap
mendukung siapa pun yang dipilih rakyat. Bukan sebaliknya, yakni kesan
mengandalkan kekuatan melalui voting yang sangat liberalis dan lebih
memperlihatkan upaya balas dendam.
Para
elite perlu segera menyadari saat ini rakyat sudah makin cerdas. Dengan
dukungan media massa atau media yang lain rakyat akan selalu mengawasi apa
yang telah dilakukan oleh wakil yang mereka beri mandat. Melalui berbagai
informasi yang makin jelas dan lengkap, rakyat bisa menilai elite mana yang
sebenarnya memperjuangkan rakyat, dan mana yang hanya berpura-pura.
Bila
tidak puas, masih untung bila mereka sebatas tidak akan kembali memilih elite
politik tersebut beserta partainya pada 5 tahun mendatang. Namun bila
ketidakpuasan itu mereka lampiaskan melalui model lain yang berbau barbarian
ke Senayan, bukankah itu ironi yang harus sama-sama kita hindarkan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar