Rabu, 10 September 2014

Pernikahan Suci Vs Kapitalisme

Pernikahan Suci Vs Kapitalisme  

Noor Aflah  ;   Ketua Aliansi Cendekiawan Muslim Muda CSS Mora Kudus
SUARA MERDEKA, 08 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

“Yang kita tolak hanyalah logika dan mental kapitalisme yang mungkin terselip dalam hajatan pernikahan”

Minggu-minggu terakhir pada bulan Syawal kita bisa melihat begitu banyak resepsi pernikahan digelar di mana-mana. Hal itu wajar mengingat selain dikenal sebagai bulan kemenangan, Syawal dikenal sebagai bulan yang baik untuk menyelenggarakan pernikahan. Hadis fiíli Nabi Muhammad saw pun menerangkan demikian. Muhammad menikahi Siti Aisyah dan Ummu Salamah pada bulan Syawal.

Waktu itu Siti Aisyah ra berkata, “Rasulullah saw menikahi saya pada bulan Syawal, berkumpul (membina rumah tangga) dengan saya juga pada bulan Syawal. Maka siapakah dari istri Beliau yang lebih beruntung dari saya?” Menurut Imam Nawawi, hadis tersebut menerangkan anjuran untuk lebih utama menikah pada bulan Syawal.

Tak seorang pun memungkiri bahwa pernikahan adalah perjanjian agung, yang dibangun dalam ikatan suci nan sakral. Ia tidak hanya menyatukan dua insan yang berbeda tapi juga dua keluarga besar yang mungkin saja berbeda kultur dan budaya. Allah Swt menyebut sebuah pernikahan dengan mitsaqon gholidzo atau perjanjian yang kuat (QS An-Nisaí: 21).

Dalam Alquran, Allah hanya tiga kali menyebut kata mitsaqon gholidzo. Pertama dalam QS An-Nisa: 154, yang menerangkan perjanjian-Nya dengan orang-orang Yahudi. Kedua; dalam QS Al-Ahzab:7, ayat yang berisikan perjanjian Allah dengan para nabi. Ketiga; dalam QS An-Nisa: 21 yang menyebut pernikahan sebagai sebuah perjanjian yang kuat, teguh, dan kokoh.

Begitu sakral sebuah pernikahan hingga Allah pun menyamakan perjanjian (dalam pernikahan) tersebut dengan perjanjian-Nya dengan para nabi. Perjanjian yang kokoh mewujud ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan berikrar menjadi sepasang suami istri setelah sebelumnya hidup terpisah sebagai masing-masing individu.

Kita bisa melihat tradisi nyumbang dalam acara pernikahan, yaitu memberikan sejumlah uang, gula, beras, bahkan tenaga, kepada pihak yang akan menggelar hajatan. Awalnya, kita melihatnya sebagai solidaritas sosial. Sayang, hal itu lambat-laun adakalanya bergeser oleh logika dan mental kapitalisme. Namun kita juga tidak bisa menyeragamkannya.

Benih Jasa

Menurut Abdullah Badri (Kompas, 13/12/08), ada dua kemungkinan besar yang melatarbelakangi seseorang nyumbang. Pertama; membangun jasa. Artinya, perbuatan itu dilakukan dalam rangka menebar benih-benih jasa. Ia memberikan sesuatu supaya nantinya dikembalikan. Hal ini terbukti dengan adanya nama penyumbang di tiap bantuan yang diberikan.

Kedua; membangun balas jasa. Penjabarannya adalah memberikan sesuatu (bisa uang, barang, atau tenaga) dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyumbang kepada pihak yang disumbang. Dengan kata lain, dilakukan sebagai wujud balas budi karena dulu pernah dibantu.

Kendati tidak terjalin kesepakatan dalam praktik kedua pihak memahami bahwa apa yang telah itu memiliki makna keterikatan timbal balik secara ekonomi dan otomatis. Pihak yang disumbang merasa wajib ’’mengembalikan’’ kepada yang menyumbang. Begitu pun yang menyumbang menanti pengembalian ìmodalî itu.

Dalam konteks itu, penulis hanya ingin mengingatkan jangan sampai mental ataupun logika kapitalisme menyusup dalam tradisi nyumbang. Artinya, empunya hajat mengundang sebanyak-banyaknya tamu. Jangan sampai pernikahan yang merupakan upacara sakral dilandasi rasa ikhlas menjalankan sunah Nabi saw berubah menjadi modus pengumpulan sebanyak-banyaknya “modal”.

Penulis bukannya berburuk sangka melainkan sekadar berwasiat yang baik. Pasalnya, ada beberapa kejadian, seusai menyelenggarakan hajatan megah, selang beberapa hari si empunya hajat membeli perabot rumah dan bahkan motor, atau barang konsumtif lain.

Kita tak mungkin menolak tradisi, apalagi dalam konteks pernikahan. Yang kita tolak hanyalah logika dan mental kapitalisme yang mungkin terselip di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar