Pernikahan
Suci Vs Kapitalisme
Noor Aflah ;
Ketua
Aliansi Cendekiawan Muslim Muda CSS Mora Kudus
|
SUARA
MERDEKA, 08 September 2014
“Yang kita tolak
hanyalah logika dan mental kapitalisme yang mungkin terselip dalam hajatan
pernikahan”
Minggu-minggu
terakhir pada bulan Syawal kita bisa melihat begitu banyak resepsi pernikahan
digelar di mana-mana. Hal itu wajar mengingat selain dikenal sebagai bulan
kemenangan, Syawal dikenal sebagai bulan yang baik untuk menyelenggarakan
pernikahan. Hadis fiíli Nabi Muhammad saw pun menerangkan demikian. Muhammad
menikahi Siti Aisyah dan Ummu Salamah pada bulan Syawal.
Waktu
itu Siti Aisyah ra berkata, “Rasulullah
saw menikahi saya pada bulan Syawal, berkumpul (membina rumah tangga) dengan
saya juga pada bulan Syawal. Maka siapakah dari istri Beliau yang lebih
beruntung dari saya?” Menurut Imam Nawawi, hadis tersebut menerangkan
anjuran untuk lebih utama menikah pada bulan Syawal.
Tak
seorang pun memungkiri bahwa pernikahan adalah perjanjian agung, yang
dibangun dalam ikatan suci nan sakral. Ia tidak hanya menyatukan dua insan
yang berbeda tapi juga dua keluarga besar yang mungkin saja berbeda kultur
dan budaya. Allah Swt menyebut sebuah pernikahan dengan mitsaqon gholidzo atau perjanjian yang kuat (QS An-Nisaí: 21).
Dalam
Alquran, Allah hanya tiga kali menyebut kata mitsaqon gholidzo. Pertama dalam QS An-Nisa: 154, yang
menerangkan perjanjian-Nya dengan orang-orang Yahudi. Kedua; dalam QS Al-Ahzab:7,
ayat yang berisikan perjanjian Allah dengan para nabi. Ketiga; dalam QS
An-Nisa: 21 yang menyebut pernikahan sebagai sebuah perjanjian yang kuat,
teguh, dan kokoh.
Begitu
sakral sebuah pernikahan hingga Allah pun menyamakan perjanjian (dalam pernikahan)
tersebut dengan perjanjian-Nya dengan para nabi. Perjanjian yang kokoh
mewujud ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan berikrar menjadi
sepasang suami istri setelah sebelumnya hidup terpisah sebagai masing-masing
individu.
Kita
bisa melihat tradisi nyumbang dalam acara pernikahan, yaitu memberikan
sejumlah uang, gula, beras, bahkan tenaga, kepada pihak yang akan menggelar
hajatan. Awalnya, kita melihatnya sebagai solidaritas sosial. Sayang, hal itu
lambat-laun adakalanya bergeser oleh logika dan mental kapitalisme. Namun
kita juga tidak bisa menyeragamkannya.
Benih Jasa
Menurut
Abdullah Badri (Kompas, 13/12/08),
ada dua kemungkinan besar yang melatarbelakangi seseorang nyumbang. Pertama;
membangun jasa. Artinya, perbuatan itu dilakukan dalam rangka menebar
benih-benih jasa. Ia memberikan sesuatu supaya nantinya dikembalikan. Hal ini
terbukti dengan adanya nama penyumbang di tiap bantuan yang diberikan.
Kedua;
membangun balas jasa. Penjabarannya adalah memberikan sesuatu (bisa uang,
barang, atau tenaga) dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyumbang
kepada pihak yang disumbang. Dengan kata lain, dilakukan sebagai wujud balas
budi karena dulu pernah dibantu.
Kendati
tidak terjalin kesepakatan dalam praktik kedua pihak memahami bahwa apa yang
telah itu memiliki makna keterikatan timbal balik secara ekonomi dan
otomatis. Pihak yang disumbang merasa wajib ’’mengembalikan’’ kepada yang
menyumbang. Begitu pun yang menyumbang menanti pengembalian ìmodalî itu.
Dalam
konteks itu, penulis hanya ingin
mengingatkan jangan sampai mental ataupun logika kapitalisme menyusup dalam
tradisi nyumbang. Artinya, empunya hajat mengundang sebanyak-banyaknya tamu. Jangan sampai pernikahan yang merupakan upacara sakral
dilandasi rasa ikhlas menjalankan sunah Nabi saw berubah menjadi modus
pengumpulan sebanyak-banyaknya “modal”.
Penulis
bukannya berburuk sangka melainkan sekadar berwasiat yang baik. Pasalnya, ada
beberapa kejadian, seusai menyelenggarakan hajatan megah, selang beberapa
hari si empunya hajat membeli perabot rumah dan bahkan motor, atau barang
konsumtif lain.
Kita tak mungkin menolak tradisi,
apalagi dalam konteks pernikahan. Yang kita tolak hanyalah logika dan mental
kapitalisme yang mungkin terselip di dalamnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar