Moralitas
vs Efisiensi
Romli Atmasasmita ;
Guru
Besar (Emeritus) Hukum Pidana Unpad
|
KORAN
SINDO, 16 September 2014
Sejarah
kelahiran hukum pidana menjelaskan bahwa hukum pidana klasik berpijak pada
kesusilaan sebagai basis penilaian perilaku, baik (right) atau salah (wrong).
Untuk penilaian baik atau buruk, rujukan yang diakui adalah undang-undang,
tidak ada yang lain, kecuali agama.
Nilai
baik atau buruk di dalam undang-undang, perbuatan yang dilarang dan diancam
hukuman, merupakan nilai moral yang diterima dan diakui mayoritas masyarakat
sesuai dengan faktor geografis, waktu, dan kultur yang telah melembaga dalam
masyarakatnya. Basis moralitas masyarakat yang tertulis dalam UU telah
berusia ratusan tahun yang lampau dan di dalam sistem hukum pidana Indonesia
tercatat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)—lege generali —tahun 1811, yang
diberlakukan di seluruh Indonesia sejak 1973.
Nilai
moralitas di balik KUHP dalam konteks perkembangan masyarakat masa kini—abad
globalisasi— sudah tentu jauh berbeda dengan masa abad pertengahan lampau.
Atas perkembangan tersebut, sejak tahun 1955, sistem hukum pidana Indonesia
mengakui keberadaan UU pidana di luar KUHP atau dikenal dengan UU Pidana
Khusus (lex specialis) dan UU
Pidana Administratif (lex specialis
systematic). UU Pidana khusus misalnya UU Tipikor dan UU TPPU, adapun UU
Pidana Administratif misalnya UU Ketentuan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) atau
UU Perbankan.
Sekalipun
dalam sistem hukum pidana Indonesia diakui ada tiga golongan UU Pidana, basis
penilaian moralitas masih tetap mendominasi pandangan baik pembentuk UU
maupun para ahli, apalagi kalangan praktisi hukum pidana di Indonesia.
Menguatnya dominasi pandangan moralitas tersebut mengakibatkan dalam praktik
penegakan hukum saat ini tidak jelas lagi fungsi hukum pidana, apakah masih
mengutamakan fungsi ultimum remedium
atau primum remedium dalam arti apakah
sanksi administratif atau sanksi perdata lebih diutamakan daripada sanksi
pidana atau sebaliknya.
Dalam
keadaan anomali penerapan sanksi pidana di dalam aktivitas bisnis atau
aktivitas perseorangan di Indonesia dewasa ini, sekitar tahun 1970-an di Amerika
Serikat dan diikuti negaranegara Eropa telah terjadi perubahan pandangan
mendasar yang berdampak terhadap penggunaan sanksi pidana dan berusaha
mengembalikan fungsi ultimum remedium sampai pada batas-batas yang diterima
masyarakat liberalis-kapitalis. Bagaimana cara mengembalikan posisi fungsi ultimum remedium tersebut?
Para
ahli hukum di negara tersebut telah menggunakan analisis ekonomi dalam
melihat dampak suatu regulasi terhadap kesejahteraan masyarakatnya atau
dikenal dengan economic analysis of law (EAL) yang dipelopori Ronald Coase
(1978), Guido Calabresi (1961), dan Richard A Posner (1973). Juga tokoh
penting yang berjasa di lapangan hukum pidana Gary S.Becker yang dikenal
dengan karyanya Economics Analysis of
Human Behavior. Pendekatan analisis ekonomi terhadap UU Anti-Trust dan UU
Perpajakan di AS berkembang merambah masalah kejahatan dan penghukuman sampai
saat ini. Posner misalnya meragukan efisiensi penggunaan hukuman badan
dibandingkan dengan hukuman denda baik secara sosial maupun secara ekonomi.
Bahkan dia meragukan produktivitas hukuman badan tersebut terhadap
produktivitas eks nara-pidana setelah bebas dari penjara.
Pendapat
Posner dalam konteks Indonesia ternyata benar, misalnya anggaran untuk
perkara korupsi (APBN) sekitar Rp100 juta, untuk KPK lebih dari nilai
tersebut. Jika ada perkara korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara di
bawah batas anggaran tersebut, pertanyaannya apakah perkara dilanjutkan atau
dihentikan dengan kewajiban tersangka mengembalikan sejumlah kerugian tersebut
kepada kas negara, ditambah bunga denda terhitung sejak tempus delicti sampai yang bersangkutan ditahan?
Jika
tetap dilanjutkan dan terdakwa dijatuhi hukuman tiga tahun dengan biaya
makanan napi untuk per hari per satu napi Rp15.000, total biaya yang
dikeluarkan negara adalah 3 x 365 x 15.000 + Rp100 juta (biaya perkara) atau
Rp116.425.000. Jika rata-rata per tahun terdapat 100 napi koruptor, total
biaya negara yang dikeluarkan selama tiga tahun adalah 300 x Rp116.425.000,
yaitu Rp34.927.500.000.
Total
biaya tersebut belum termasuk biaya perawatan untuk kesehatan narapidana.
Biaya yang menjadi beban negara tersebut jelas telah menggerus APBN sehingga
basis penilaian moralitas saat ini lebih banyak mudarat daripada maslahatnya,
apalagi dalam keadaan negara defisit. Alokasi anggaran negara sebanyak itu
tentu amat membantu untuk program kesehatan dan pendidikan.
Efek
jera yang berbasis moralitas saat ini tidak nyata karena pelaku sebagai aktor
yang rasional dengan perhitungan nilai ekonomis cenderung melakukan kejahatan
atau berpotensi menjadi residivis. Karena bagi mereka melakukan kejahatan
termasuk korupsi memiliki opportunity
cost yang lebih kecil daripada benefit
yang diperoleh. Misalnya kemudahan-kemudahan selama menjalani hukuman di
dalam lembaga pemasyarakatan (LP). Sudah saatnya dipertimbangkan alternatif
sanksi yang bersifat nonpenal, tetapi tetap menjerakan bukan dalam konteks
fisik melainkan dalam konteks finansial dan sosial, misalnya pidana denda
optimal plus bunga dan pidana kerja sosial.
KUHP
Belanda sejak 1996, untuk kejahatan tertentu, telah meninggalkan basis
moralitas dengan tujuan keadilan retributif dan telah menggunakan analisis
ekonomi mikro dengan tujuan keadilan restoratif, yaitu hukuman yang
menggunakan sistem transaksi di mana penuntut wajib menghentikan tuntutan
jika tersangka telah membayar kerugian kepada korban atau pelakunya berusia
70 tahun atau tindak pidana diancam pidana di bawah enam tahun (Pasal 74 dan
74 a). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar