Kamis, 18 September 2014

Moralitas vs Efisiensi

Moralitas vs Efisiensi

Romli Atmasasmita  ;   Guru Besar (Emeritus) Hukum Pidana Unpad
KORAN SINDO, 16 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Sejarah kelahiran hukum pidana menjelaskan bahwa hukum pidana klasik berpijak pada kesusilaan sebagai basis penilaian perilaku, baik (right) atau salah (wrong). Untuk penilaian baik atau buruk, rujukan yang diakui adalah undang-undang, tidak ada yang lain, kecuali agama.

Nilai baik atau buruk di dalam undang-undang, perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman, merupakan nilai moral yang diterima dan diakui mayoritas masyarakat sesuai dengan faktor geografis, waktu, dan kultur yang telah melembaga dalam masyarakatnya. Basis moralitas masyarakat yang tertulis dalam UU telah berusia ratusan tahun yang lampau dan di dalam sistem hukum pidana Indonesia tercatat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)—lege generali —tahun 1811, yang diberlakukan di seluruh Indonesia sejak 1973.

Nilai moralitas di balik KUHP dalam konteks perkembangan masyarakat masa kini—abad globalisasi— sudah tentu jauh berbeda dengan masa abad pertengahan lampau. Atas perkembangan tersebut, sejak tahun 1955, sistem hukum pidana Indonesia mengakui keberadaan UU pidana di luar KUHP atau dikenal dengan UU Pidana Khusus (lex specialis) dan UU Pidana Administratif (lex specialis systematic). UU Pidana khusus misalnya UU Tipikor dan UU TPPU, adapun UU Pidana Administratif misalnya UU Ketentuan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) atau UU Perbankan.

Sekalipun dalam sistem hukum pidana Indonesia diakui ada tiga golongan UU Pidana, basis penilaian moralitas masih tetap mendominasi pandangan baik pembentuk UU maupun para ahli, apalagi kalangan praktisi hukum pidana di Indonesia. Menguatnya dominasi pandangan moralitas tersebut mengakibatkan dalam praktik penegakan hukum saat ini tidak jelas lagi fungsi hukum pidana, apakah masih mengutamakan fungsi ultimum remedium atau primum remedium dalam arti apakah sanksi administratif atau sanksi perdata lebih diutamakan daripada sanksi pidana atau sebaliknya.

Dalam keadaan anomali penerapan sanksi pidana di dalam aktivitas bisnis atau aktivitas perseorangan di Indonesia dewasa ini, sekitar tahun 1970-an di Amerika Serikat dan diikuti negaranegara Eropa telah terjadi perubahan pandangan mendasar yang berdampak terhadap penggunaan sanksi pidana dan berusaha mengembalikan fungsi ultimum remedium sampai pada batas-batas yang diterima masyarakat liberalis-kapitalis. Bagaimana cara mengembalikan posisi fungsi ultimum remedium tersebut?

Para ahli hukum di negara tersebut telah menggunakan analisis ekonomi dalam melihat dampak suatu regulasi terhadap kesejahteraan masyarakatnya atau dikenal dengan economic analysis of law (EAL) yang dipelopori Ronald Coase (1978), Guido Calabresi (1961), dan Richard A Posner (1973). Juga tokoh penting yang berjasa di lapangan hukum pidana Gary S.Becker yang dikenal dengan karyanya Economics Analysis of Human Behavior. Pendekatan analisis ekonomi terhadap UU Anti-Trust dan UU Perpajakan di AS berkembang merambah masalah kejahatan dan penghukuman sampai saat ini. Posner misalnya meragukan efisiensi penggunaan hukuman badan dibandingkan dengan hukuman denda baik secara sosial maupun secara ekonomi. Bahkan dia meragukan produktivitas hukuman badan tersebut terhadap produktivitas eks nara-pidana setelah bebas dari penjara.

Pendapat Posner dalam konteks Indonesia ternyata benar, misalnya anggaran untuk perkara korupsi (APBN) sekitar Rp100 juta, untuk KPK lebih dari nilai tersebut. Jika ada perkara korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara di bawah batas anggaran tersebut, pertanyaannya apakah perkara dilanjutkan atau dihentikan dengan kewajiban tersangka mengembalikan sejumlah kerugian tersebut kepada kas negara, ditambah bunga denda terhitung sejak tempus delicti sampai yang bersangkutan ditahan?

Jika tetap dilanjutkan dan terdakwa dijatuhi hukuman tiga tahun dengan biaya makanan napi untuk per hari per satu napi Rp15.000, total biaya yang dikeluarkan negara adalah 3 x 365 x 15.000 + Rp100 juta (biaya perkara) atau Rp116.425.000. Jika rata-rata per tahun terdapat 100 napi koruptor, total biaya negara yang dikeluarkan selama tiga tahun adalah 300 x Rp116.425.000, yaitu Rp34.927.500.000.

Total biaya tersebut belum termasuk biaya perawatan untuk kesehatan narapidana. Biaya yang menjadi beban negara tersebut jelas telah menggerus APBN sehingga basis penilaian moralitas saat ini lebih banyak mudarat daripada maslahatnya, apalagi dalam keadaan negara defisit. Alokasi anggaran negara sebanyak itu tentu amat membantu untuk program kesehatan dan pendidikan.

Efek jera yang berbasis moralitas saat ini tidak nyata karena pelaku sebagai aktor yang rasional dengan perhitungan nilai ekonomis cenderung melakukan kejahatan atau berpotensi menjadi residivis. Karena bagi mereka melakukan kejahatan termasuk korupsi memiliki opportunity cost yang lebih kecil daripada benefit yang diperoleh. Misalnya kemudahan-kemudahan selama menjalani hukuman di dalam lembaga pemasyarakatan (LP). Sudah saatnya dipertimbangkan alternatif sanksi yang bersifat nonpenal, tetapi tetap menjerakan bukan dalam konteks fisik melainkan dalam konteks finansial dan sosial, misalnya pidana denda optimal plus bunga dan pidana kerja sosial.

KUHP Belanda sejak 1996, untuk kejahatan tertentu, telah meninggalkan basis moralitas dengan tujuan keadilan retributif dan telah menggunakan analisis ekonomi mikro dengan tujuan keadilan restoratif, yaitu hukuman yang menggunakan sistem transaksi di mana penuntut wajib menghentikan tuntutan jika tersangka telah membayar kerugian kepada korban atau pelakunya berusia 70 tahun atau tindak pidana diancam pidana di bawah enam tahun (Pasal 74 dan 74 a).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar