Rusak
Akibat Pilkada Langsung
Bambang Soesatyo ;
Anggota
Komisi III DPR RI/Presidium Nasional KAHMI 2012-2017 dan Wakil Ketua Umum
Kadin Indonesia
|
KORAN
SINDO, 16 September 2014
Harmoni
dan sistem nilai yang berakar pada kearifan budaya lokal sudah mengalami
kerusakan parah karena masyarakat di hampir semua daerah terkotak-kotak oleh
sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Mengembalikan
pilkada kepada DPRD merupakan bagian dari upaya mengakhiri pengotak-kotakan
masyarakat.
Terkotak-kotak
warga di berbagai daerah akibat pelaksanaan pilkada langsung tak bisa
ditutup-tutupi lagi. Pengotakkotakan itu sulit dihindari karena tokoh-tokoh
lokal yang bertarung dalam kontestasi pilkada lazimnya mengerahkan dukungan
dari keluarga besar, kerabat, suku, dan warga dari desa atau kampung tempat
lahir sang calon. Pengotak-kotakan itu tidak otomatis berakhir pascapilkada.
Ketidakpuasan dari calon yang dinyatakan kalah selalu menyisakan sentimen
negatif terhadap calon yang menang bersama pendukungnya.
Sentimen
negatif seperti itu mudah menimbulkan gesekan. Sebagian warga Bali tetap
tidak respek terhadap Gubernur I Made Mangku Pastika yang dinyatakan oleh
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pemenang pemilihan gubernur Bali pada 2013.
Sebagian warga Jawa Timur pun kurang lebih berperilaku sama dalam menyikapi
kemenangan Soekarwo, apalagi setelah MK menolak gugatan Khofifah Indar
Parawansa, pesaing Soekarwo. Apalagi jika pengotak-kotakan warga dalam
pilkada langsung itu diwarnai aksi kekerasan berdarah.
Akan
muncul dendam yang tak berkesudahan. Juni 2008, Maluku Utara dilanda
kerusuhan akibat pilkada langsung. Pendukung pasangan Abdul Gafur-Abdur Rahim
Fabanyo bentrok dengan polisi. Kerusuhan pecah setelah menteri dalam negeri
menetapkan pasangan Thaib Armayn- Abdul Ghani Kasuba sebagai pemenang. Di
Tana Toraja, Pilkada Juni 2010 bahkan menelan korban tewas akibat bentrok
kedua kubu pendukung pasangan. Kekerasan berdarah juga terjadi dalam Pilgub
Bali. Seorang pendukung Made Mangku Pastika bernama Made Pasek Bendana
terluka akibat ditebas senjata samurai.
Rangkaian
contoh kasus ini menggambarkan kerusakan yang sudah terjadi akibat
pelaksanaan pilkada langsung. Artinya, ekses pilkada langsung bukan hanya
terlihat dari biaya politik yang begitu tinggi. Salah satu kerusakan paling
parah akibat pilkada langsung adalah menyisakan disharmoni dalam masyarakat
serta hilangnya sistem nilai yang diadopsi masyarakat setempat secara
turun-temurun. Padahal, harmoni dan sistem nilai yang berakar pada kearifan
budaya lokal itu secara historis justru telah menjadi faktor penguat
ketahanan warga setempat.
Ekses
pilkada langsung bermunculan di berbagai daerah karena figur-figur peserta
pilkada bersama komunitas pendukungnya belum dipersiapkan untuk berperilaku
demokratis dan fair dalam menyikapi hasil perhitungan suara. Tidak
mengherankan jika gugatan hasil pilkada menumpuk di MK. Dalam beberapa kasus,
pilkada bahkan cenderung dijadikan persoalan hidup-mati sehingga para
pendukung masing-masing kubu sering didorong untuk berhadap-hadapan.
Pertanyaannya, akankah gejala terkotak-kotak masyarakat itu akan terus
dibiarkan?
Ada
kecenderungan bahwa pengotak-kotakan warga akan terus berulang setiap daerah
menyongsong hajatan pilkada. Tidak ada yang bisa memberi jaminan bahwa
pengotak-kotakan masyarakat itu bisa dihilangkan dalam rentang waktu
tertentu. Kalau kecenderungan yang berbahaya ini dibiarkan, artinya negara
memelihara potensi konflik dalam skala yang sangat mengerikan. Karena itu,
harus ada upaya memulihkan harmoni antarkelompok masyarakat di berbagai
daerah.
Persatuan
masyarakat dan sistem nilai yang turun-temurun telah diikat oleh kearifan
budaya lokal harus direvitalisasi. Demokratisasi pada akhirnya memang harus
diwujudkan, tetapi demokratisasi tidak boleh mencabut setiap individu dari
akar budaya lokal. Kebebasan berpendapat serta kebebasan memilih dan dipilih
jangan sampai menghancurkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam semangat
musyawarah- mufakat sebagai sistem nilai yang telah memelihara persatuan dan
kesatuan warga bangsa selama ini.
Asas Manfaat
Karena
itu, pilkada oleh DPRD perlu diberlakukan kembali. Mekanisme ini harus
dipahami sebagai upaya bersama mewujudkan kembali harmoni antarkelompok
masyarakat di berbagai wilayah di Tanah Air. Pilkada oleh DPRD sama sekali
tidak menghilangkan daulat rakyat sebab anggota DPRD dipilih oleh rakyat.
Memang, tidak ada yang sempurna dari mekanisme pilkada langsung maupun
pilkada oleh DPRD. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing- masing
dan ini telah dibahas para ahli dalam beberapa kesempatan akhir-akhir ini.
Berangkat
dari pemahaman itu, tentu harus ada keberanian untuk melihat dan menilai
mekanisme apa yang paling banyak mendatangkan manfaat. Nah , karena pilkada
langsung sudah terbukti menimbulkan banyak kerusakan, tentu saja mekanisme
pemilihan ini harus dihentikan dulu. Sebagai salah satu jalan keluar, pilkada
oleh DPRD menjadi alternatif yang paling ideal. Ini bukan sekadar pilihan
sekumpulan politisi di Senayan (DPR RI). Pilihan ini setidaknya sudah
direkomendasi oleh organisasi keagamaan terkemuka. PP Muhammadiyah menolak
pilkada langsung karena tidak membawa banyak manfaat.
Muhammadiyah
meminta supaya pilkada, khususnya tingkat gubernur, dipilih oleh DPRD.
Menurut kajian hukum PP Muhammadiyah, gubernur adalah perpanjangan tangan
dari pemerintah pusat. Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Ibnu
Sina Chandranegara menegaskan, ”Muhammadiyah pada kajian akademisnya
berkesimpulan bahwa pelaksanaan pilkada langsung, khususnya tingkat provinsi
dan gubernur, ternyata tidak membawa hasil dan manfaat yang banyak.” Senada,
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj menegaskan NU mendukung pilkada oleh
DPRD.
Posisi
dan sikap NU ini diputuskan dalam Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar NU
di Cirebon, Jawa Barat, pada 2012. ”Ini
keputusan para ulama sepuh yang dengan jernih menilai mudarat (dampak buruk)
pilkada langsung sudah jelas, sementara manfaatnya belum tentu tercapai,”
kata Said Aqil. Para ulama menilai, pilkada langsung maupun pilkada tidak
langsung sama-sama memiliki kelemahan. Namun, para kiai yang mengalami
langsung kondisi di lapangan menilai efek negatif yang ditimbulkan oleh
pilkada langsung lebih besar dari pilkada tak langsung, terutama terkait
biaya yang besar dan konflik horizontal akibat perbedaan dukungan.
Lembaga
Ketahanan Nasional (Lemhannas) pun menyarankan pemilihan gubernur oleh DPRD,
sementara pemilihan bupati/wali kota tetap secara langsung oleh rakyat.
Menurut Gubernur Lemhannas Budi Susilo Soepandji, pandangan Lemhanas ini
didasarkan pada kajian Lemhannas pada 2007. Rekomendasinya, pemerintah dan
DPR lebih baik menyetujui usulan agar pemilihan gubernur melalui DPRD dan
pemilihan bupati/wali kota dilaksanakan secara langsung. Cukup jelas bahwa
harus ada yang diperbaiki terkait mekanisme pilkada.
Mekanisme
pilkada langsung juga ideal, tetapi dia telah menimbulkan kerusakan yang
sangat mengkhawatirkan karena penerapannya dipaksakan yakni ketika sebagian
masyarakat, termasuk penyelenggara pilkada, belum cukup siap untuk menghargai
hakikat dari one man one vote.
Pilkada justru sering dijadikan ajang atau pasar jual-beli suara. Demokrasi perwakilan yang diwarnai semangat musyawarah-mufakat
sejatinya tradisi Indonesia. Tradisi ini sama sekali tidak mengharamkan beda pendapat atau
beda pilihan. Akhirnya, demi tujuan bersama yang lebih besar dan strategis,
selalu ada kemauan bermusyawarah untuk bermufakat.
Sejarah Indonesia sarat dengan
praktik demokrasi perwakilan serta semangat musyawarah-mufakat. Di atas tradisi itulah eksistensi Negara Kesatuan
Republik Indonesia tetap kokoh dan terjaga. Jangan korbankan rakyat demi
periuk nasi dari proyek pilkada langsung atas nama kepentingan rakyat dan
demokrasi.
Kita tahu, penghapusan proyek pilkada langsung tersebut berarti hilang pula
kontrak dan peluang rezeki bagi pengamat
dan akademisi asongan yang selama ini dimanfaatkan para calon kepala
daerah. Lalu, perusahaan dan lembaga yang hidupnya dari hasil survei juga
akan gulung tikar.
Para
pengacara yang selama ini main di lahan sengketa pilkada juga akan gigit
jari. Media cetak, elektronik seperti TV dan radio, media online, advertising dalam dan luar ruang juga
terancam kekurangan pendapatan. Termasuk para bandar dan tukang ijon akan
kehilangan lahan. Rencana pengalihan
pilkada langsung ke pilkada DPRD memang akan mengganggu kepentingan banyak
pihak. Wajar kalau mereka yang terganggu itu ngotot dan pasang badan dengan
berbagai cara agar pilkada langsung tersebut tetap dilanggengkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar