Senin, 15 September 2014

MK Bukan Legislatif

MK Bukan Legislatif

Moh Mahfud MD  ;   Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO, 13 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Mahkamah Konstitusi (MK) bisa diibaratkan sebagai lembaga negara yang dibenci, tetapi juga dirindui sekaligus. Setelah meledaknya kasus penangkaptanganan Ketua MK Akil Mochtar, 2 Oktober 2013, MK menjadi sasaran kebencian dan kemarahan banyak pihak.

Perkara-perkara lama yang sudah bertahun-tahun selesai di MK diungkit-ungkit lagi, dituding sebagai produk korupsi, para pimpinan lembaga negara mengisolasi MK dengan membuat keputusan yang terkait dengan MK tanpa mengundang pimpinan MK, bahkan pada sidang resmi MK diserang secara brutal oleh pengunjung sidang.

Namun pada saat yang sama MK tetap dirindukan dan menjadi tempat berharap untuk menyelesaikan secara adil dan konstitusional berbagai konflik yang terkait dengan masalah-masalah konstitusi. Meskipun banyak yang mencaci MK, banyak pula yang tetap mengajukan perkara ke MK untuk diputus, baik pemilu (pileg, pilpres, dan pilkada) maupun pengujian undangundang (judicial review).

Uniknya, tidak jarang kita mendengar ancaman orang akan menguji ke MK satu UU yang masih berupa ide atau rencana alias belum menjadi UU. Harus diingat, MK bukan lembaga legislatif atau lembaga negara pembentuk atau pembuat UU. MK adalah lembaga yudikatif yang mengadili jika ada masalah konstitusionalitas UU, tetapi MK tidak boleh membuat vonis pengujian UU yang sifatnya mengatur, sebab yang boleh mengatur dengan UU hanya lembaga legislatif (DPR dan pemerintah).

Penggagas peradilan konstitusi Hans Kelsen mengatakan bahwa MK merupakan negative legislator atau lembaga yang hanya boleh membatalkan atau menegasikan UU (atas sebagian isinya) tanpa boleh membuat isi UU. Tegasnya, dalam konteks UU, MK boleh membatalkan UU, tetapi tidak boleh membuat peraturan yang menjadi materi muatan UU.

Harus diingat pula bahwa MK hanya boleh membatalkan UU atau isi UU yang bertentangan dengan konstitusi atau berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara, kelompok masyarakat maupun badan hukum. MK tidak boleh membatalkan UU atau isi UU yang hanya tidak disukai oleh seseorang, ditentang oleh sekelompok orang, atau tidak disenangi oleh hakim MK sendiri.

Ukuran utama bagi MK untuk membatalkan UU atau isi UU adalah manakala ia benarbenar bertentangan dengan konstitusi. Itulah sebabnya dari begitu banyak pengajuan judicial review ke MK (minimal sampai April 2013), terdapat hanya sekitar 23% yang dikabulkan, itu pun banyak yang dengan pengabulan bersyarat.

Di dalam beberapa putusan MK ada dua istilah yang sering dipergunakan sebagai alasan untuk membatalkan atau tidak membatalkan isi UU, yakni istilah opened legal policy (pilihan politik hukum yang terbuka) dan closed legal policy (pilihan politik hukum yang tertutup) sebagaimana diatur di dalam UUD. MK tidak boleh membatalkan UU atau isi UU yang materinya menjadi pilihan politik hukum terbuka (opened legal policy) bagi DPR, tetapi boleh membatalkan isi UU yang secara konstitusional bersifat tertutup alias tak bisa diartikan lain dari isi UUD.

Ihwal pencalonan pasangan capres/cawapres oleh parpol atau gabungan parpol, misalnya, bisa disebut sebagai contoh dari pilihan politik hukum yang tertutup. Pasal 6A UUD 1945 menegaskan bahwa pasangan capres/cawapres harus diajukan oleh parpol atau gabungan parpol. MK tidak boleh membatalkan isi UU yang sudah mengatur sama dengan isi UUD itu. Yang bisa mengubah itu hanya MPR melalui amendemen atas UUD 1945. I

Ini berbeda dengan pencalonan kepala daerah yang memang tidak menutup calon perseorangan. Pasal 18B UUD 1945 mengatur, pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis. Istilah demokratis mencakup pengajuan calon melalui parpol yang sudah mempunyai kursi di DPRD dan pengajuan calon secara perseorangan. Maka itu ketika lembaga legislatif mereduksi istilah demokratis dengan hanya memberi hak pengajuan calon kepala daerah kepada parpol, MK membatalkannya.

Reduksi atas istilah demokratis itu dipandang sebagai pelanggaran atas hak konstitusional warga negara. Ini lain lagi, misalnya, soal banyaknya kursi atau daerah pemilihan untuk pemilu legislatif serta jumlah komisi di DPR RI. Hal-hal tersebut sepenuhnya menjadi hak lembaga legislatif untuk menentukannya.

MK tak boleh membatalkan halhal tersebut, apalagi kemudian mengaturnya, kecuali nyatanyata ada pemasungan terhadap hak konstitusional atau melanggar prinsip-prinsip dalam konstitusi. MK tak bisa membatalkan isi UU yang menentukan jumlah anggota atau jumlah alat kelengkapan seperti komisikomisi di DPR, sebab hal-hal tersebut merupakan pilihan politik hukum terbuka bagi lembaga legislatif untuk menentukannya sendiri sesuai dengan hak dan prosedur yang tersedia.

Kalau MK membatalkan halhal yang sudah menjadi hak DPR untuk menentukannya sendiri berdasar pilihan politik hukum secara terbuka, apalagi kemudian ikut mengaturnya, maka MK telah bergeser atau digeser dari lembaga yudikatif menjadi lembaga legislatif. Itu tidak boleh terjadi, kecuali dengan alasan luar biasa dan bersifat einmalig.

Sebagai mantan hakim MK saya mulai merasa gembira karena dalam vonis-vonisnya belakangan ini MK sudah independen, tidak terombang-ambing oleh intervensi atau teror opini, keluar dari trauma dan mulai berjalan dengan gagah sebagai penjaga demokrasi dan nomokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar