Pakta
Integritas
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru
Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 14 September 2014
Seorang
ayah jengkel sekali kepada anak laki-lakinya yang kelas dua SMP, yang untuk
ke sekian kalinya kedapatan membolos dan merokok di warung di depan
sekolahnya.
Saking
marahnya, sang ayah menyuruh anaknya membuat surat perjanjian, di atas kertas
bermeterai Rp6.000, yang menyatakan bahwa dia tidak akan membolos dan merokok
lagi; dan kalau kedapatan dia mengulangi perbuatannya lagi, dia siap untuk
distop uang sakunya. Tetapinyatanya, diaboloslagi, danbolos lagi, sehingga
akhirnya tidak naik kelas. Dan ketika si anak mengulangi perbuatannya, sang
ayah pun tidak ambil peduli, alih-alih menyetop uang sakunya.
Alasan
ayahnya, nanti kalau tidak dibawakan uang, malah memalak anak orang, dan
justru makin membolos. Jadi dibiarkannya saja anak itu membolos. Kesimpulannya,
ayah gagal mendidik anaknya menjadi orang yang berintegritas.
Dasar
dari integritas kepribadian pada hakikatnya adalah kejujuran. Jujur pada diri
sendiri dan jujur pada orang lain. Orang yang berintegritas melaksanakan apa
yang diucapkannya dan selalu memenuhi janji-janjinya. Orang seperti ini bisa
dipercaya. Salah seorang kenalan saya adalah pedagang suku cadang di daerah
Sawah Besar, Jakarta Kota. Pada suatu hari saya ikut sopir saya ke tokonya
untuk memasang kaca spion yang rusak ditabrak motor.
Sambil
menunggu, saya ngobrol dengan kenalan saya itu di kantornya. Ketika itulah
ada seorang pemasok suku cadang masuk ke kantornya yang merangkap gudang
kecil untuk menyimpan stok barang-barang. Pemasok itu melapor bahwa pesanan
yang diminta sudah datang di depan toko dan harganya sekian juta rupiah.
Maka
tanpa banyak omong, kawan saya merobek selembar kertas koran dan mencoret-coret
huruf Cina di kertas itu dan meminta si pemasok mengambil uangnya ke bank di
sebelah tokonya. Pemasok yang rupanya sudah biasa dengan cara yang ”melanggar
hukum” itu dengan tenang melenggang ke bank untuk mengambil uangnya dan
langsung pulang setelah mendapat uangnya.
Pada
sore hari, sebelum bank tutup clearing,
si tauke teman saya itu selalu datang sendiri ke bank dan menyetorkan uang
tunai penghasilannya ke bank itu, sekalian menyelesaikan transaksi-transaksi
hari itu, termasuk pengambilan uang dengan ”cekran” (cek tetapi koran) itu.
Surat di atas kertas bermeterai yang dibuat anak atas permintaan ayahnya,
jelas lebih punya kekuatan hukum ketimbang Koran yang dijadikan cek oleh
tauke pedagang suku cadang itu.
Tetapi
yang punya kekuatan hukum belum tentu berlaku dalam realita kehidupan yang
sesungguhnya. Cekran nyatanya dianggap lebih bonafide (bisa dipercaya) dari
pada Pakta Integritas yang ditulis anak yang tukang membolos tadi. Hal ini
membuktikan bahwa sejatinya integritas itu tidak perlu dipaktakan (ditulis
dalam perjanjian yang resmi). Kalau orangpunyaintegritas, pakaisobekan kertas
koran pun cukup.
Anehnya,
orang masih saja sangat percaya pada pakta-pakta untuk menjamin integritas.
Maka politisi-politisi oleh pimpinan partainya diharuskan menandatangani
pakta integritas yang menyatakan dirinya tidak akan korupsi dan/atau
menyalahgunakan jabatan. Padahal nyatanya ada yang sudah beberapa kali
menandatangani pakta integritas (sebagai anggota DPR, sebagai menteri)
ujung-ujungnya ditangkap KPK juga.
Bukan
itu saja. Yang jauh lebih banyak adalah pejabat-pejabat pemerintah yang
setiap kali serah-terima jabatan harus melakukan sumpah jabatan disaksikan
rohaniwan yang membawa kitab suci dan diselenggarakan dalam upacara yang
formal, baris-berbaris, penandatanganan dokumen sertijab dan lain-lain,
disaksikan oleh para pejabat lain berikut para istri masing-masing.
Padahal,
banyak sekali di antara pejabat-pejabat yang disumpah itu yang juga korupsi,
baik yang ditangkap polisi/KPK maupun yang tidak. Jadi ada yang tidak
nyambung antara yang dijanjikan, disumpahkan, atau dipaktakan dengan perilaku
yang sesungguhnya. Selama hal itu dilakukan oleh perorangan dalam jumlah yang
tidak terlalu banyak, disebutnya ”oknum”. Tetapi kalau sudah menjadi
kebiasaan umum, dilakukan oleh hampir semua orang, diyakini sebagai hal yang
benar (walaupun salah) dan sistemis, maka namanya budaya.
Budaya
yang dimaksud di sini adalah budaya verbal, yaitu budaya yang lebih
mengutamakan kata-kata ketimbang perbuatan. Budaya Indonesia memang cenderung
berbudaya verbal. Kebanyakan orang Indonesia senang sekali mendengarkan
katakata yang indah, yang membesarkan hati dan cenderung percaya sekali
kepada apa yang diucapkan itu.
Maka
diciptakanlah pantun dan syair yang indah, kalimat- kalimat yang berbunga-bunga,
dan puja-puji kita dengar setiap hari di berbagai acara, doa-doa yang
serbanormatif disampaikan pada setiap ulang tahun dan kebiasaan ABS (asal
bapak/ bunda senang) juga berasal dari budaya verbalisme itu. Lihat saja
misalnya upacara pernikahan yang digelar mewah di hotel-hotel berbintang di
Jakarta.
Ketika
kedua mempelai memasuki ruangan resepsi, MC mengucapkan dengan katakata yang
indah bahwa malam ini adalah malam yang teramat indah untuk kedua mempelai.
Pengantin wanita tampak bagaikan bidadari, dan sang pria bagaikan pangeran
dari kerajaan kayangan. Mereka saling merindu, karena sudah 40 hari dan 40
malam tidak berjumpa (di tradisi Jawa ada kebiasaan ”pingitan”, yaitu
melarang kedua mempelai untuk saling berjumpa untuk jangka waktu tertentu
sebelum pernikahan).
Padahal
semalam sebelumnya, si calon suami masih mengantarkan calon istrinya ke mal
untuk membeli sepatu yang kelupaan dibeli. Bohong banget, kan ? Tetapi
kebohongan seperti itu justru yang disukai. Maka tidak heran sang ayah yang
anaknya membolos melulu, lebih senang menyaksikan anaknya menuliskan janji
palsunya, ketimbang memberi sanksi kalau anak itu ingkar janji.
Janji
tanpa sanksi, itulah penyebab mengapa sang anak membolos terus, dan mengapa
para pejabat dan pegawai korupsi terus. Karena itulah memang negara kita
memerlukan KPK. Maksudnya adalah untuk membuat pelaku korupsi jera. Tetapi
itu saja tidak cukup. Kekuatan SDM yang mengawaki KPK tidak akan cukup untuk
menangani korupsi yang sudah tersebar begitu banyak di Indonesia.
Maka
harus ada upaya lain untuk mencegah korupsi, misalnya mengembangkan sistem e-government untuk memperkecil
kesempatan pejabat untuk bersentuhan langsung dengan masyarakat yang
dilayaninya. Jadi untuk mengurangi korupsi sebenarnya tidak perlu pakta,
cukup dengan fakta saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar