Senin, 15 September 2014

Pakta Integritas

Pakta Integritas

Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 14 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Seorang ayah jengkel sekali kepada anak laki-lakinya yang kelas dua SMP, yang untuk ke sekian kalinya kedapatan membolos dan merokok di warung di depan sekolahnya.

Saking marahnya, sang ayah menyuruh anaknya membuat surat perjanjian, di atas kertas bermeterai Rp6.000, yang menyatakan bahwa dia tidak akan membolos dan merokok lagi; dan kalau kedapatan dia mengulangi perbuatannya lagi, dia siap untuk distop uang sakunya. Tetapinyatanya, diaboloslagi, danbolos lagi, sehingga akhirnya tidak naik kelas. Dan ketika si anak mengulangi perbuatannya, sang ayah pun tidak ambil peduli, alih-alih menyetop uang sakunya.

Alasan ayahnya, nanti kalau tidak dibawakan uang, malah memalak anak orang, dan justru makin membolos. Jadi dibiarkannya saja anak itu membolos. Kesimpulannya, ayah gagal mendidik anaknya menjadi orang yang berintegritas.  

Dasar dari integritas kepribadian pada hakikatnya adalah kejujuran. Jujur pada diri sendiri dan jujur pada orang lain. Orang yang berintegritas melaksanakan apa yang diucapkannya dan selalu memenuhi janji-janjinya. Orang seperti ini bisa dipercaya. Salah seorang kenalan saya adalah pedagang suku cadang di daerah Sawah Besar, Jakarta Kota. Pada suatu hari saya ikut sopir saya ke tokonya untuk memasang kaca spion yang rusak ditabrak motor.

Sambil menunggu, saya ngobrol dengan kenalan saya itu di kantornya. Ketika itulah ada seorang pemasok suku cadang masuk ke kantornya yang merangkap gudang kecil untuk menyimpan stok barang-barang. Pemasok itu melapor bahwa pesanan yang diminta sudah datang di depan toko dan harganya sekian juta rupiah.

Maka tanpa banyak omong, kawan saya merobek selembar kertas koran dan mencoret-coret huruf Cina di kertas itu dan meminta si pemasok mengambil uangnya ke bank di sebelah tokonya. Pemasok yang rupanya sudah biasa dengan cara yang ”melanggar hukum” itu dengan tenang melenggang ke bank untuk mengambil uangnya dan langsung pulang setelah mendapat uangnya.

Pada sore hari, sebelum bank tutup clearing, si tauke teman saya itu selalu datang sendiri ke bank dan menyetorkan uang tunai penghasilannya ke bank itu, sekalian menyelesaikan transaksi-transaksi hari itu, termasuk pengambilan uang dengan ”cekran” (cek tetapi koran) itu. Surat di atas kertas bermeterai yang dibuat anak atas permintaan ayahnya, jelas lebih punya kekuatan hukum ketimbang Koran yang dijadikan cek oleh tauke pedagang suku cadang itu.

Tetapi yang punya kekuatan hukum belum tentu berlaku dalam realita kehidupan yang sesungguhnya. Cekran nyatanya dianggap lebih bonafide (bisa dipercaya) dari pada Pakta Integritas yang ditulis anak yang tukang membolos tadi. Hal ini membuktikan bahwa sejatinya integritas itu tidak perlu dipaktakan (ditulis dalam perjanjian yang resmi). Kalau orangpunyaintegritas, pakaisobekan kertas koran pun cukup.

Anehnya, orang masih saja sangat percaya pada pakta-pakta untuk menjamin integritas. Maka politisi-politisi oleh pimpinan partainya diharuskan menandatangani pakta integritas yang menyatakan dirinya tidak akan korupsi dan/atau menyalahgunakan jabatan. Padahal nyatanya ada yang sudah beberapa kali menandatangani pakta integritas (sebagai anggota DPR, sebagai menteri) ujung-ujungnya ditangkap KPK juga.

Bukan itu saja. Yang jauh lebih banyak adalah pejabat-pejabat pemerintah yang setiap kali serah-terima jabatan harus melakukan sumpah jabatan disaksikan rohaniwan yang membawa kitab suci dan diselenggarakan dalam upacara yang formal, baris-berbaris, penandatanganan dokumen sertijab dan lain-lain, disaksikan oleh para pejabat lain berikut para istri masing-masing.

Padahal, banyak sekali di antara pejabat-pejabat yang disumpah itu yang juga korupsi, baik yang ditangkap polisi/KPK maupun yang tidak. Jadi ada yang tidak nyambung antara yang dijanjikan, disumpahkan, atau dipaktakan dengan perilaku yang sesungguhnya. Selama hal itu dilakukan oleh perorangan dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, disebutnya ”oknum”. Tetapi kalau sudah menjadi kebiasaan umum, dilakukan oleh hampir semua orang, diyakini sebagai hal yang benar (walaupun salah) dan sistemis, maka namanya budaya.

Budaya yang dimaksud di sini adalah budaya verbal, yaitu budaya yang lebih mengutamakan kata-kata ketimbang perbuatan. Budaya Indonesia memang cenderung berbudaya verbal. Kebanyakan orang Indonesia senang sekali mendengarkan katakata yang indah, yang membesarkan hati dan cenderung percaya sekali kepada apa yang diucapkan itu.

Maka diciptakanlah pantun dan syair yang indah, kalimat- kalimat yang berbunga-bunga, dan puja-puji kita dengar setiap hari di berbagai acara, doa-doa yang serbanormatif disampaikan pada setiap ulang tahun dan kebiasaan ABS (asal bapak/ bunda senang) juga berasal dari budaya verbalisme itu. Lihat saja misalnya upacara pernikahan yang digelar mewah di hotel-hotel berbintang di Jakarta.

Ketika kedua mempelai memasuki ruangan resepsi, MC mengucapkan dengan katakata yang indah bahwa malam ini adalah malam yang teramat indah untuk kedua mempelai. Pengantin wanita tampak bagaikan bidadari, dan sang pria bagaikan pangeran dari kerajaan kayangan. Mereka saling merindu, karena sudah 40 hari dan 40 malam tidak berjumpa (di tradisi Jawa ada kebiasaan ”pingitan”, yaitu melarang kedua mempelai untuk saling berjumpa untuk jangka waktu tertentu sebelum pernikahan).

Padahal semalam sebelumnya, si calon suami masih mengantarkan calon istrinya ke mal untuk membeli sepatu yang kelupaan dibeli. Bohong banget, kan ? Tetapi kebohongan seperti itu justru yang disukai. Maka tidak heran sang ayah yang anaknya membolos melulu, lebih senang menyaksikan anaknya menuliskan janji palsunya, ketimbang memberi sanksi kalau anak itu ingkar janji.

Janji tanpa sanksi, itulah penyebab mengapa sang anak membolos terus, dan mengapa para pejabat dan pegawai korupsi terus. Karena itulah memang negara kita memerlukan KPK. Maksudnya adalah untuk membuat pelaku korupsi jera. Tetapi itu saja tidak cukup. Kekuatan SDM yang mengawaki KPK tidak akan cukup untuk menangani korupsi yang sudah tersebar begitu banyak di Indonesia.

Maka harus ada upaya lain untuk mencegah korupsi, misalnya mengembangkan sistem e-government untuk memperkecil kesempatan pejabat untuk bersentuhan langsung dengan masyarakat yang dilayaninya. Jadi untuk mengurangi korupsi sebenarnya tidak perlu pakta, cukup dengan fakta saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar