Menjaga
Demokrat (dari) Menjegal Rakyat
Refly Harun ; Pakar
dan Praktisi Hukum Tatanegara
|
DETIKNEWS,
22 September 2014
Dukungan
Partai Demokrat terhadap pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung, Kamis
(19/9/2014), seperti napas baru bagi kelompok pengusung (tetap) pilkada
langsung. Dukungan gerbong besar Demokrat di DPR periode 2009-2014 –
mengontrol 148 kursi – telah membuat konstelasi politik langsung berubah.
Semula koalisi
pilkada oleh DPRD unggul besar karena disokong oleh enam parpol, yaitu
Golkar, Gerindra, PPP, PAN, PKS, termasuk Demokrat sendiri. Praktis hanya
tiga parpol yang setia pada pilkada langsung, yaitu PDIP, PKB, dan Hanura.
Kini, kondisi berbalik. Koalisi pro pilkada langsung unggul 287 kursi
berbanding 273 kursi dari kelompok pilkada oleh DPRD – yang secara resmi
dikumandangkan oleh kelompok politik baru bernama Koalisi Merah Putih (KMP).
Bila dihitung,
keunggulan kubu pro pilkada langsung hanya 14 kusi. Masih riskan dan sangat
mungkin disalib. Tidak heran pembesar Demokrat langsung mengimbau kepada para
anggotanya agar datang pada rapat paripurna pengambilan keputusan yang
diperkirakan akan digelar pada tanggal 25 September 2014 nanti.
Dukungan
Demokrat juga makin menggairahkan kelompok masyarakat sipil yang terus
menyuarakan penolakan terhadap pilkada oleh DPRD di berbagai kota, mulai dari
para aktivis mahasiswa, pengamat, hingga aktivis perempuan. Menjelang
pengambilan keputusan dalam rapat paripurna DPR tanggal 25 September nanti,
kelompok masyarakat sipil sudah menyiapkan demonstrasi sebesar dan sebisa
mungkin di depan Gedung DPR. Bisa dijamin demonstrasi ini murni suara dari
para aktivis demokrasi, sama sekali tidak mengerahkan kelompok-kelompok
'profesional' yang biasa dibayar dengan sebungkus nasi dan uang Rp 50-100
ribu.
Jalan Tengah
Dukungan
Demokrat seperti jalan tengah (the
middle way) bagi Presiden SBY untuk memelihara warisan (legacy) demokrasinya. Atas nama
kewenangan konstitusional, SBY bisa menyatakan tidak setuju dengan ide
pemilihan oleh DPRD. Maka seketika itu pula pembahasan di DPR tidak ada
artinya lagi karena setiap RUU harus dibahas bersama DPR dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama. Bila salah satu pihak tidak setuju, RUU Pilkada
tidak bisa dimajukan lagi dalam persidangan saat ini (Pasal 20 Ayat [2] dan
Ayat [3] UUD 1945).
Soalnya, api
pilkada oleh DPRD justru berasal dari pemerintah sendiri. Adalah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
yang semula mengusulkan pilkada oleh DPRD untuk gubernur, sedangkan untuk
bupati/walikota tetap dipilih langsung oleh rakyat. Di perjalanan pembahasan
RUU Pilkada, Kemendagri mengganti proposal. Giliran bupati/walikota yang diusulkan
dipilih oleh DPRD, sedangkan gubernur tetap dipilih langsung. Posisi pemerintah terakhir ini diamini Demokrat hingga sebelum
terbentuknya KMP yang menyapu semua ide tentang separuh langsung-separuh
tidak langsung tersebut dengan proposal pemilihan penuh oleh DPRD, baik untuk
gubernur maupun bupati/walikota.
Penggunaan
kewenangan konstitusional oleh SBY seolah menghadapkan sang Presiden pada
posisi dilematis. Menyatakan tidak setuju dengan pemilihan DPRD seperti
menjilat ludah sendiri karena posisi itu justru awalnya menjadi sikap
pemerintah, kendati hanya untuk satu jenis pemilihan, apakah gubernur ataukah
bupati/walikota.
Bila
menguatkan pilkada oleh DPRD, SBY juga akan menjilat ludahnya akan hikayat
keberhasilan pilkada langsung di semua daerah dalam pemerintahannya. Hikayat
keberhasilan proses demokrasi di Tanah Air yang ia ceritakan saat
menyampaikan pidato kenegaraan tanggal 15 Agustus lalu.
Pilihan
mendukung pilkada oleh DPRD juga akan menyebabkan SBY akan meninggalkan
warisan (legacy) yang buruk pada akhir pemerintahannya bagi proses demokrasi
yang telah mulai menunjukkan perkembangannya. Pilihan untuk menggerakkan
mesin Demokrat adalah jalan tengah elegan yang menghindarkan SBY dari dilema
akut.
Soalnya lagi,
tidak ada jaminan voting bisa dimenangkan kubu pro pilkada langsung. Itulah
sebabnya kita menagih komitmen seluruh anggota Demokrat untuk datang dan
memberikan suara menentang pilkada oleh DPRD. Tentu saja soliditas PDIP,
Hanura, dan PKB tidak boleh pecah dengan tawaran atau masalah apa pun.
Tentu tidak
mudah menahan suara 148 anggota Demokrat karena sebagian besar tidak akan
duduk lagi di kursi empuk DPR. Tidak ada hantu yang perlu ditakuti lagi untuk
berbeda pendapat. Hantu bernama 'recall', yang selama ini menghalangi anggota
DPR untuk berbeda pendapat dengan partainya, tidak memiliki daya magis lagi
karena para anggota sudah di akhir perjalanan mereka selama lima tahun.
Taat kepada
garis partai agar bisa dimajukan lagi pada perhelatan pemilu lima tahun lagi
bukanlah insentif yang menarik untuk tetap setia kepada partai. Kenikmatan
berada di lingkaran kekuasaan juga tidak akan dirasakan lagi oleh mereka yang
tidak terpilih karena Demokrat sudah memilih untuk menjadi penyeimbang,
paling tidak posisi hingga hari ini. Kalaupun masuk pada pemeritnahan Jokowi-JK, Demokrat bukan peran utama lagi, melainkan
sekadar figuran.
Mengingat
perbedaan suara tipis, cuma 14 kursi, sedikit saja anggota DPR dari Demokrat
mangkir tidak menghadiri sidang paripurna atau ada yang berani memilih untuk
mendukung pilkada tidak langsung, maka proposal dipilih oleh DPRD bisa menang
dalam pertarungan voting. Kondisi
ini tentu tidak diinginkan mereka yang setia mengusung pilkada langsung.
Terlebih tahun
depan ada lebih dari 200 pilkada yang akan digelar. Inilah insentif bagi kubu
Merah Putih untuk tetap merekatkan barisan. Dengan penguasaan hampir semua
DPRD di republik ini, KMP tinggal bagi-bagi jatah siapa dapat posisi kepala
daerah di mana. Alasan yang dikumandangkan selama ini mengenai beragam
mudharat pilkada langsung hanyalah dalih yang sengaja dicari-cari demi
penguasaan politik lokal dengan cara mudah dan murah, tanpa sama sekali
melibatkan keputusan rakyat.
Calon-calon
kepala daerah tinggal 'sowan' ke para pembesar KMP untuk meminta restu. Para
pembesar KMP tinggal memerintahkan DPRD yang mereka kuasai untuk mengamankan
pilihan para elite tersebut. Para anggota DPRD tersebut pasti tidak akan
berani berbeda pendapat dengan para elite karena instrumen recall masih di
tangan pembesar-pembesar partai.
Pada titik
ini, sebagaimana tulisan sebelumnya "Memasung
Pilkada Langsung" (11/9/2014), kita tidak hanya akan kehilangan
pilkada langsung oleh rakyat, melainkan pula pilkada oleh para wakil-wakil
rakyat di daerah. Pilkada akan digantikan keputusan segelintir elite, yaitu
mereka yang berada di pucuk pimpinan parpol-parpol yang berkoalisi. Padahal,
parpol kita sendiri saat ini masih jauh dari tradisi demokrasi. Pilkada akan
bergeser dari dipilih dengan jalan ‘demokratis’ menjadi jalan ‘oligarkis’
bahkan ‘elitis’.
Man to Man Marking
Tidak ada cara
lain, bila ingin efektif, kelompok-kelompok masyarakat sipil harus melakukan
taktik "man to man marking",
taktik menjaga lawan satu demi satu dalam sepakbola. Semua anggota DPR dari
empat fraksi pendukung pilkada langsung, yang akan unggul bila hadir semua
dan memberikan suara bagi pilkada (tetap) langsung, harus dibanjiri dengan
pesan-pesan agar mereka datang dan menggunakan hak suara mereka.
Penting
diingatkan kepada mereka bahwa suara mereka bakal menentukan nasib demokrasi
di negeri ini. Suara mereka bakal menentukan terhenti atau tidaknya laju
demokrasi yang mulai tumbuh di arah yang benar dengan bermunculan sosok-sosok
seperti Risma (Surabaya), Ganjar Pranowo (Jawa Tengah), Azwar Anas
(Banyuwangi), Nurdin Abdullah (Bantaeng), Ridwan Kamil (Bandung), dan
beberapa lagi. Bahkan, presiden terpilih, Jokowi, juga produk dari pemilihan
langsung.
Fenomena
Jokowi telah menunjukkan bahwa pilkada langsung adalah tempat persemaian
calon-calon pemimpin bangsa. Fenomena Jokowi menunjukkan bahwa pemimpin tidak
datang dari para pemimpi, tetapi memang benar-benar mereka yang telah
berpengalaman dalam memimpin. Pemimpin tidak datang dari langit, tapi tumbuh dari
bumi bersama rakyat yang dipimpinnya.
Tanggal 25
September nanti, para wakil rakyat akan beradu voting bagi masa depan demokrasi ini. Dalam balutan dilema,
Presiden SBY sepertinya tidak akan menggunakan kewenangan konstitusional
untuk menghentikan upaya membelokkan arus demokrasi – kendati kita tetap akan
menuntutnya pada situasi yang genting dan mengharuskan. Oleh karena itu,
marilah kita jaga wakil-wakil rakyat yang pro pemilihan langsung untuk datang
ke sidang paripurna DPR, dan yang lebih penting lagi memberikan suara bagi
masa depan demokrasi di negeri, yaitu pemilihan (tetap) langsung kepala
daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar