Menyelamatkan
Masa Depan Demokrasi
St Sunardi ; Dosen
Pasca Sarjana Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
|
KOMPAS,
23 September 2014
BARU sebentar merasa lega setelah pemilihan legislatif
dan pemilihan presiden, masyarakat dikejutkan oleh Rancangan Undang-Undang
Pemilihan Kepala Daerah yang kontroversial. Apa implikasi pilkada oleh DPRD
bagi demokrasi di Indonesia? Apalagi kalau ternyata upaya ini lebih terkait
dengan efek hasil pilpres daripada usaha untuk memajukan demokrasi di
Indonesia.
Sudah banyak dibahas keterbatasan demokrasi
perwakilan. Bahaya ini sudah diperingatkan oleh Nietzsche: demokrasi (parlemen) membuat orang-orang
medioker menjadi penguasa, sebaliknya orang-orang unggul direpresi.
Pandangan kontroversial ini membuat Nietzsche dicap sebagai anti demokrasi.
Pesan Nietzsche sebetulnya sederhana: demokrasi yang konon untuk mengakui
manusia dengan potensinya justru direduksi dalam suatu prosedur buatan
orang-orang kerdil yang membuat orang-orang unggul ini tidak nongol keluar.
Kalau diungkapkan dalam bahasa filsafat politik
kontemporer, demokrasi itu justru terjadi kalau mereka yang selama ini tidak
diperhitungkan (discounted) mulai
diperhitungkan (counted) (J Rancière, 1999).
Gagasan demokrasi sangat kontras dengan ide
penghapusan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Argumentasi
dalam ide penghapusan itu bisa membuat kita mengalami sesat pikir dalam
politik demokrasi.
Karena dipilih oleh rakyat, para anggota DPR
merasa berhak menentukan cara pilkada (sejauh penentuan itu sesuai prosedur,
misalnya suara terbanyak) termasuk mengusulkan pilkada oleh DPRD, karena
pemilihan langsung memboroskan uang dan menimbulkan banyak konflik
horizontal.
Dalam argumentasi tersebut kita melihat bahaya
praktik demokrasi yang justru sedang melawan demokrasi tersebut sendiri (democracy against democracy) (G Agamben, et al, 2011).
Bolehkah anggota DPR membuat aturan pilkada
tanpa melibatkan rakyat secara langsung karena sudah diwakili oleh DPRD? Di
sinilah terletak persoalan etika-politik demokrasi yang bisa membunuh
demokrasi itu sendiri, bahkan politik dalam arti yang sebenarnya (bukan
politik parlemen).
Realitas politis suatu bangsa tidak bisa
direduksi ke dalam politik parlemen. Realitas politik di parlemen sebagai
lembaga representasi rakyat tidak menyedot habis realitas politik yang hidup
di rakyat.
Politik rakyat tidak selesai dengan terpilihnya
para anggota parlemen yang seolah- olah bisa melakukan apa saja karena mereka
sudah dipilih oleh rakyat.
Sebaliknya, parlemen seharusnya mencari
berbagai cara (antara lain membuat undang- undang) agar bangsa ini bisa
mencari orang-orang unggul dengan memperhitungkan (to count) mereka yang selama ini tidak diperhitungkan (discounted).
Ide penghapusan pilkada secara langsung
mengesankan bahwa sekelompok besar orang di parlemen takut munculnya orang
unggul.
Kita seakan-akan dalam keadaan darurat sehingga
harus menarik arena demokrasi dari rakyat ke parlemen. Ini tragis, pertanda
kembalinya Ancien Régime!
Patologi
politis
Kita bisa menduga bahwa gerak politik di
parlemen ini tidak bisa dipisahkan dari hasil pemilihan presiden (pilpres)
yang baru saja selesai. Kita khawatir mereka menerjemahkan efek hasil pilpres
itu menjadi politik balas dendam (politics
of revenge) di parlemen dan kengerian akan demokrasi (hatred of democracy) yang hasilnya
tidak bisa dikendalikan oleh partai politik.
Kalau ini yang benar-benar sedang terjadi,
justru inilah yang merugikan kepentingan rakyat. Justru inilah suatu
pemborosan karena biaya tinggi pemilihan legislatif (pileg) dan pilpres hanya
menghasilkan rasa dendam dan benci di kalangan orang-orang yang tidak siap
bertanding dalam arena politik yang sesungguhnya, yaitu rakyat.
Menang dan kalah direduksi menjadi terpilih
atau tidak terpilih, bukannya pembelajaran demokrasi. Padahal, dalam pileg
dan pilpres yang baru lalu muncul kegairahan politik luar biasa di kalangan
rakyat yang melampaui mesin partai. Bukankah ini suatu kemenangan rakyat?
Karena itu, agenda yang lebih mendesak bagi
partai politik dan parlemen adalah memperbaiki aturan main politik kepartaian
dan parlemen supaya rakyat menjadi arena politik yang sebenarnya.
Usulan pilkada oleh DPRD adalah suatu langkah
kemunduran yang tidak sensitif, bahkan tidak tahu malu yang sulit dijelaskan
kecuali karena politics of revenge
dan hatred of democracy.
Lembaga parlemen bisa berubah menjadi lembaga
patologi politis karena lembaga ini muncul dari energi politik yang tidak
sehat, yaitu balas dendam dan kengerian justru terhadap demokrasi yang
sebenarnya.
Pileg dan pilpres yang baru saja kita lalui
telah menjadikan rakyat kembali sebagai subyek politik. Rakyat boleh berharap
karena ada jalan politis untuk perubahan.
Kenyataan ini seharusnya dipakai oleh partai politik,
lembaga-lembaga masyarakat sipil, dan tentu juga parlemen untuk menata
kembali aturan main supaya gairah politik rakyat tersalurkan.
Cepat atau lambat para pencemar langit
demokrasi ini akan menemui nasib seperti dituturkan bait terakhir ”Sajak Rajawali” almarhum WS Rendra: ”rajawali terbang tinggi/ membela langit
dengan setia/ dan ia akan mematuk kedua matamu/ wahai, kamu, pencemar langit
yang durhaka”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar