Senin, 22 September 2014

Kelirumologi dalam Hukum

Kelirumologi dalam Hukum

Moh Mahfud MD  ;   Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO, 20 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Jumat (19 September 2014) kemarin sahabat saya Jaya Suprana memotori seminar kelirumologi di Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mungkin merupakan kekeliruan ketika Jaya meminta saya untuk berbicara di dalam seminar kelirumologi itu. Maunya sih saya menolak karena takut keliru, tapi kalau menolak saya khawatir menjadi lebih keliru lagi.

Namun keliru-keliru pun sebenarnya tak apa-apa karena seminarnya memang seminar kelirumologi. Semakin keliru, semakin relevan. Alasan yang agak akademis, mengapa semula saya ingin menolak menjadi pembicara, karena saya tak tahu apa definisi kelirumologi ini. Di kamus-kamus dan ensiklopedi belum ada kata atau istilah kelirumologi ini. Tapi saya nekat mendefinisikan kelirumologi adalah penggunaan atau pemahaman yang keliru atas istilah-istilah yang dipakai masyarakat baik permanen maupun insidental sehingga menimbulkan kegaduhan atau salah paham terbatas maupun meluas. Berdasar definisi nekat itu saya akan berbicara kelirumologi dalam hukum dengan cerita-cerita pop di bawah ini.

Pada suatu hari di awal tahun 2011 saya mendapat SMS dari seorang kawan bahwa di koran lokal di Ternate ada berita “Gugatan Gafur Ditolak MK”. Berita tersebut berisi uraian yang sangat insinuatif-provokatif bahwa gugatan Gafur untuk membatalkan kemenangan Thaib Harmain dalam sengketa Pemilihan Gubernur Maluku Utara ditolak oleh MK karena MK diintervensi oleh Presiden. Disebarkan juga isu bahwa sehari sebelum pengucapan vonis Ketua MK dipanggil oleh Presiden SBY. Berita itu bukan hanya keliru, tetapi juga salah. Bukan hanya terjadi kelirumologi, tetapi juga salahologi. Selama saya jadi ketua MK tak pak pernah dan tak mungkin Presiden memanggil saya untuk urusan perkara apa pun atau siapa pun.

Itu salahologinya. Kelirumologinya, kasus Gafur saat itu adalah kasus sengketa kewenangan antara KPU Maluku Utara dan Presiden. KPU Maluku Utara mempersoalkan Presiden karena mengangkat Thaib Harmain sebagai gubernur terpilih berdasar fatwa Mahkamah Agung. Jadi perkara itu bukanlah gugatan Gafur, melainkan permohonan KPU Maluku Utara. Kelirunya lagi berita itu menyebutkan bahwa gugatan ditolak, padahal yang benar permohonan tidak dapat diterima. Di dalam hukum peradilan ada perbedaan antara “tidak dapat diterima” dan “ditolak”.

Tidak dapat diterima berarti pokok perkara tidak diperiksa karena beberapa alasan, misalnya, karena lewat waktu, pemohon tidak mempunyai legal standing atau bukan pihak yang berhak mengajukan pemohonan, permohonan tidak jelas (kabur), pokok perkaranya merupakan kompetensi lembaga peradilan lain, perkara yang sama sudah pernah diputus (ne bis in idem). Jika perkara dinyatakan “tidak dapat diterima”, pokok perkara belum atau tidak diperiksa. Untuk permohonan yang tidak dapat diterima masih terbuka kemungkinan diajukan lagi asal sudah dibetulkan, misalnya legal standing subjeknya atau kekaburan objeknya.

Dalam kasus sengketa Pilgub Maluku Utara yang melibatkan Gafur dan Thaib Harmain, misalnya, perkara itu bukan ditolak, melainkan tidak dapat diterima oleh MK. Alasannya, yang punya legal standing untuk mengajukan permohonan sengketa kewenangan dalam kasus itu adalah KPU (pusat), bukan KPU Maluku Utara. Saat itu pokok perkara tentang siapa yang bisa menetapkan pemenang pilgub itu dipersoalkan oleh KPU Maluku Utara, tetapi MK menyatakan yang punya legal standing adalah KPU (pusat) sebagai lembaga yang kewenangannya disebutkan di dalam konstitusi.

Jadi perkaranya tidak dapat diterima, tetapi dapat diajukan kembali oleh yang punya legal standing. Salah paham yang sama terjadi saat MK memutus sengketa Pilpres 2009. Waktu itu MK memutus “menolak eksepsi termohon (KPU)” dan “menolak pokok permohonan para pemohon (Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto)”. Belum setengah jam vonis selesai diucapkan tiba-tiba ada statemen dari salah seorang DPP Golkar bahwa MK salah memutus. Katanya, pilpres tidak ada yang menang karena dua-duanya ditolak MK. Rupanya yang bersangkutan keliru memahami arti eksepsi dan pokok permohonan.

Duduk perkaranya, pasangan Megawati-Prabowo dan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto mengajukan permohonan (sebagai pemohon) yang dalam pokok perkaranya meminta agar hasil pilpres dibatalkan karena SBY-Boediono menang secara curang. Atas permohonan tersebut pihak KPU (termohon) mengajukan eksepsi agar permohonan tidak dapat diterima karena masalah kecurangan pemilu menjadi ranah peradilan pidana, bukan wewenang MK. Oleh sebab itu sebelum memutus pokok perkara, MK memutus dulu eksepsi termohon dengan menyatakan “menolak” eksepsi tersebut, sebab MK secara absolut berwenang mengadili kasus tersebut.

Karena eksepsi ditolak, kemudian MK memeriksa dan memutus pokok perkaranya. Hasilnya, MK menolak permohonan dalam pokok perkara karena para pemohon tak bisa membuktikan dalil-dalilnya. Adalah tidak mungkin MK langsung memutus menolak pokok perkara kalau eksepsinya tidak ditolak lebih dulu. Orang yang tidak paham pembedaan istilah yang secara eksklusif dipergunakan di dalam hukum bisa terjebak dalam kelirumologi yang bisa membingungkan dan menghebohkan masyarakat. Celakanya justru sekarang ini banyak wartawan bidang hukum yang menulis berita dengan kelirumologi sehingga membingungkan, bahkan memancing kekisruhan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar