Kelirumologi
dalam Hukum
Moh Mahfud MD ;
Guru
Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 20 September 2014
Jumat (19 September 2014) kemarin sahabat
saya Jaya Suprana memotori seminar kelirumologi di Gedung Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Mungkin merupakan kekeliruan ketika Jaya meminta
saya untuk berbicara di dalam seminar kelirumologi itu. Maunya sih saya
menolak karena takut keliru, tapi kalau menolak saya khawatir menjadi lebih
keliru lagi.
Namun keliru-keliru pun sebenarnya tak
apa-apa karena seminarnya memang seminar kelirumologi. Semakin keliru,
semakin relevan. Alasan yang agak akademis, mengapa semula saya ingin menolak
menjadi pembicara, karena saya tak tahu apa definisi kelirumologi ini. Di
kamus-kamus dan ensiklopedi belum ada kata atau istilah kelirumologi ini.
Tapi saya nekat mendefinisikan kelirumologi adalah penggunaan atau pemahaman yang
keliru atas istilah-istilah yang dipakai masyarakat baik permanen maupun insidental
sehingga menimbulkan kegaduhan atau salah paham terbatas maupun meluas.
Berdasar definisi nekat itu saya akan berbicara kelirumologi dalam hukum
dengan cerita-cerita pop di bawah ini.
Pada suatu hari di awal tahun 2011 saya
mendapat SMS dari seorang kawan bahwa di koran lokal di Ternate ada berita
“Gugatan Gafur Ditolak MK”. Berita tersebut berisi uraian yang sangat
insinuatif-provokatif bahwa gugatan Gafur untuk membatalkan kemenangan Thaib
Harmain dalam sengketa Pemilihan Gubernur Maluku Utara ditolak oleh MK karena
MK diintervensi oleh Presiden. Disebarkan juga isu bahwa sehari sebelum
pengucapan vonis Ketua MK dipanggil oleh Presiden SBY. Berita itu bukan hanya
keliru, tetapi juga salah. Bukan hanya terjadi kelirumologi, tetapi juga
salahologi. Selama saya jadi ketua MK tak pak pernah dan tak mungkin Presiden
memanggil saya untuk urusan perkara apa pun atau siapa pun.
Itu salahologinya. Kelirumologinya, kasus
Gafur saat itu adalah kasus sengketa kewenangan antara KPU Maluku Utara dan
Presiden. KPU Maluku Utara mempersoalkan Presiden karena mengangkat Thaib
Harmain sebagai gubernur terpilih berdasar fatwa Mahkamah Agung. Jadi perkara
itu bukanlah gugatan Gafur, melainkan permohonan KPU Maluku Utara. Kelirunya
lagi berita itu menyebutkan bahwa gugatan ditolak, padahal yang benar
permohonan tidak dapat diterima. Di dalam hukum peradilan ada perbedaan
antara “tidak dapat diterima” dan “ditolak”.
Tidak dapat diterima berarti pokok perkara
tidak diperiksa karena beberapa alasan, misalnya, karena lewat waktu, pemohon
tidak mempunyai legal standing atau bukan pihak yang berhak mengajukan
pemohonan, permohonan tidak jelas (kabur), pokok perkaranya merupakan
kompetensi lembaga peradilan lain, perkara yang sama sudah pernah diputus (ne bis in idem). Jika perkara
dinyatakan “tidak dapat diterima”, pokok perkara belum atau tidak diperiksa.
Untuk permohonan yang tidak dapat diterima masih terbuka kemungkinan diajukan
lagi asal sudah dibetulkan, misalnya legal
standing subjeknya atau kekaburan objeknya.
Dalam kasus sengketa Pilgub Maluku Utara
yang melibatkan Gafur dan Thaib Harmain, misalnya, perkara itu bukan ditolak,
melainkan tidak dapat diterima oleh MK. Alasannya, yang punya legal standing untuk mengajukan
permohonan sengketa kewenangan dalam kasus itu adalah KPU (pusat), bukan KPU
Maluku Utara. Saat itu pokok perkara tentang siapa yang bisa menetapkan
pemenang pilgub itu dipersoalkan oleh KPU Maluku Utara, tetapi MK menyatakan
yang punya legal standing adalah KPU (pusat) sebagai lembaga yang kewenangannya
disebutkan di dalam konstitusi.
Jadi perkaranya tidak dapat diterima,
tetapi dapat diajukan kembali oleh yang punya legal standing. Salah paham
yang sama terjadi saat MK memutus sengketa Pilpres 2009. Waktu itu MK memutus
“menolak eksepsi termohon (KPU)” dan “menolak pokok permohonan para pemohon (Megawati-Prabowo
dan Jusuf Kalla-Wiranto)”. Belum setengah jam vonis selesai diucapkan
tiba-tiba ada statemen dari salah seorang DPP Golkar bahwa MK salah memutus.
Katanya, pilpres tidak ada yang menang karena dua-duanya ditolak MK. Rupanya
yang bersangkutan keliru memahami arti eksepsi dan pokok permohonan.
Duduk perkaranya, pasangan Megawati-Prabowo
dan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto mengajukan permohonan (sebagai pemohon) yang
dalam pokok perkaranya meminta agar hasil pilpres dibatalkan karena
SBY-Boediono menang secara curang. Atas permohonan tersebut pihak KPU
(termohon) mengajukan eksepsi agar permohonan tidak dapat diterima karena
masalah kecurangan pemilu menjadi ranah peradilan pidana, bukan wewenang MK.
Oleh sebab itu sebelum memutus pokok perkara, MK memutus dulu eksepsi
termohon dengan menyatakan “menolak” eksepsi tersebut, sebab MK secara
absolut berwenang mengadili kasus tersebut.
Karena eksepsi ditolak, kemudian MK
memeriksa dan memutus pokok perkaranya. Hasilnya, MK menolak permohonan dalam
pokok perkara karena para pemohon tak bisa membuktikan dalil-dalilnya. Adalah
tidak mungkin MK langsung memutus menolak pokok perkara kalau eksepsinya
tidak ditolak lebih dulu. Orang yang tidak paham pembedaan istilah yang
secara eksklusif dipergunakan di dalam hukum bisa terjebak dalam kelirumologi
yang bisa membingungkan dan menghebohkan masyarakat. Celakanya justru
sekarang ini banyak wartawan bidang hukum yang menulis berita dengan
kelirumologi sehingga membingungkan, bahkan memancing kekisruhan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar