Senin, 22 September 2014

Revolusi Prestasi Olahraga

Revolusi Prestasi Olahraga

Sarluhut Napitupulu  ;   Mantan Sekretaris Eksekutif Commitee (EXCO)
PSSI (2011–2013)
KORAN TEMPO, 20 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Tulisan Eddi Elison di Koran Tempo, Rabu, 27 Agustus 2014, halaman 14, dengan judul "Semangat Kementerian Pemuda dan Olahraga" layak diapresiasi. Praktisi olahraga nasional ini, dalam tulisannya, meminta Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dirombak dengan cara dipisah: urusan kepemudaan dikembalikan kepada kementerian lain. Urusan olahraga diurus oleh Kementerian Olahraga. Dengan kata lain, Kemenpora dirombak dengan dipisah menjadi Kementerian Olahraga.

Menurut Eddi, dengan berfokus hanya pada olahraga, Kementerian Olahraga akan lebih bebas memantapkan programnya dan anggarannya pun tersendiri. Apalagi sudah ada dukungan payung hukum sendiri, yakni UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN), dalam mengurus dan mengatur sistem olahraga serta memberi perlindungan dan penjelasan kepada semua elemen pendukung olahraga nasional. Untuk itu, dengan wujud Kementerian Olahraga, Eddi sangat yakin olahraga Indonesia akan bangkit, diiringi dengan peningkatan prestasi dan pertumbuhan infrastruktur keolahragaan.

Harapan Eddi patut direspons. Sejak awal Indonesia merdeka, olahraga sebenarnya diurus sendiri oleh badan atau lembaga olahraga. Sampai akhirnya, Presiden Sukarno menjadikan olahraga sebagai instrumen revolusi pembangunan dalam konteks olahraga sebagai nation and character building. Bertolak dari instrumen itulah kemudian Sukarno, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 94 Tahun 1962 tanggal 7 Maret 1962, membentuk Departemen Olahraga (Depora).

Depora bertugas mengatur, mengkoordinasikan, mengawasi, membimbing, dan bila perlu menyelenggarakan: 1) semua kegiatan olahraga, termasuk pendidikan jasmani, di sekolah sampai perguruan tinggi; 2) pendidikan tenaga ahli olahraga (guru dan pelatih); 3) pembangunan, penggunaan, dan pemeliharaan lapangan/bangunan olahraga; 4) pembangunan industri nasional alat-alat olahraga dan/atau mengimpor alat-alat olahraga, pengedaran, serta penggunaan oleh masyarakat; 5) pengiriman olahragawan/tim olahraga dari/ke luar negeri.

Dengan Depora yang didukung komitmen Presiden Soekarno, tak ayal olahraga mengalami masa keemasan, yaitu Indonesia mampu menggelar Asian Games ke-4 pada 1962 di Jakarta. Kemudian, terbangunnya fasilitas olahraga terbesar di dunia saat itu, yakni Gelanggang Olahraga Bung Karno (GBK). Yang terakhir, dalam Asian Games tahun 1962, Indonesia berada pada peringkat kedua setelah Jepang.

Masa keemasan olahraga itu bisa terjadi tak lain akibat kemauan politik pada zaman itu didukung penuh oleh presidennya untuk membangun olahraga dan diimplementasikan oleh para menteri-menteri dan disambut penuh oleh masyarakat. Saat itu memang olahraga diyakini bisa membentuk manusia baru yang sehat mental dan fisik dan menaikkan prestise negara. Selain itu, Depora memang benar-benar bertugas dan berfungi hanya mengurus olahraga.

Namun, dalam rezim Orde Baru, Depora dibubarkan. Bidang olahraga kemudian ditangani setingkat direktur jenderal dalam kementerian, yang mempunyai keterbatasan dalam kewenangan, pengambilan keputusan, melakukan kordinasi, serta alokasi pendanaan. Belakangan, urusan olahraga digabung dalam Menteri Negara Pemuda dan Olahraga.

Saat ini, dengan tiga undang-undang yang memayunginya (UU No 3 Tahun 2005 tentang SKN, UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, dan UU No 12 Tahun 2010 tentang Kepramukaan), Kemenpora memang tidak bisa berfokus hanya pada olahraga. Dengan tiga payung hukum itu, Kemenpora melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam mengurus olahraga, kepemudaan, dan kepramukaan.

Alokasi dana pun selama ini dari APBN. Jika dibanding keseluruhan dana bagi kementerian lainnya, Kemenpora hanya mendapat 0,1 persen dari dana total APBN, yang dialokasikan untuk tiga unsur itu. Misalnya, dari dana APBN 2014 sebesar Rp 1.800 triliun, Kemenpora menerima dana sekitar Rp 1,8 triliun (0,1 persen). Idealnya, pagu anggaran untuk olahraga sesuai dengan hitungan Kemenpora sendiri, berkisar Rp 4 triliun sampai Rp 5 triliun. Dengan anggaran ideal itu, implementasi program yang sudah disusun dapat terlaksana dengan baik, yang bermuara pada percepatan pencapaian prestasi. Selain itu, yang paling penting, figur yang mengurus Kementerian Olahraga haruslah berlatar belakang bidang olahraga yang cukup kuat.

Dalam visi-misinya, Jokowi menawarkan enam poin visi-misi di bidang olahraga. Intinya, Jokowi ingin membangkitkan kembali masa kejayaan olahraga, baik dari sisi sarana-prasarana maupun aspek prestasi. Bahkan, dia hendak menjadikan olahraga sebagai industri untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Untuk itu, di masa mendatang, lembaga pemerintah di bidang keolahragaan perlu diperkuat kedudukan, tugas, dan fungsinya, dengan diubah statusnya menjadi Departemen Olahraga, disertai dengan pemberian dana yang ideal. Dengan demikian, percepatan pertumbuhan sarana-prasarana olahraga dan pencapaian prestasi olahraga Indonesia di dunia internasional semakin terbuka lebar. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar