Revolusi
Prestasi Olahraga
Sarluhut Napitupulu ;
Mantan
Sekretaris Eksekutif Commitee (EXCO)
PSSI
(2011–2013)
|
KORAN
TEMPO, 20 September 2014
Tulisan Eddi Elison di Koran Tempo, Rabu,
27 Agustus 2014, halaman 14, dengan judul "Semangat Kementerian Pemuda
dan Olahraga" layak diapresiasi. Praktisi olahraga nasional ini, dalam
tulisannya, meminta Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dirombak
dengan cara dipisah: urusan kepemudaan dikembalikan kepada kementerian lain.
Urusan olahraga diurus oleh Kementerian Olahraga. Dengan kata lain, Kemenpora
dirombak dengan dipisah menjadi Kementerian Olahraga.
Menurut Eddi, dengan berfokus hanya pada
olahraga, Kementerian Olahraga akan lebih bebas memantapkan programnya dan
anggarannya pun tersendiri. Apalagi sudah ada dukungan payung hukum sendiri,
yakni UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN), dalam
mengurus dan mengatur sistem olahraga serta memberi perlindungan dan
penjelasan kepada semua elemen pendukung olahraga nasional. Untuk itu, dengan
wujud Kementerian Olahraga, Eddi sangat yakin olahraga Indonesia akan
bangkit, diiringi dengan peningkatan prestasi dan pertumbuhan infrastruktur
keolahragaan.
Harapan Eddi patut direspons. Sejak awal
Indonesia merdeka, olahraga sebenarnya diurus sendiri oleh badan atau lembaga
olahraga. Sampai akhirnya, Presiden Sukarno menjadikan olahraga sebagai
instrumen revolusi pembangunan dalam konteks olahraga sebagai nation and character building.
Bertolak dari instrumen itulah kemudian Sukarno, melalui Keputusan Presiden
(Keppres) Nomor 94 Tahun 1962 tanggal 7 Maret 1962, membentuk Departemen
Olahraga (Depora).
Depora bertugas mengatur,
mengkoordinasikan, mengawasi, membimbing, dan bila perlu menyelenggarakan: 1)
semua kegiatan olahraga, termasuk pendidikan jasmani, di sekolah sampai
perguruan tinggi; 2) pendidikan tenaga ahli olahraga (guru dan pelatih); 3)
pembangunan, penggunaan, dan pemeliharaan lapangan/bangunan olahraga; 4) pembangunan
industri nasional alat-alat olahraga dan/atau mengimpor alat-alat olahraga,
pengedaran, serta penggunaan oleh masyarakat; 5) pengiriman olahragawan/tim
olahraga dari/ke luar negeri.
Dengan Depora yang didukung komitmen
Presiden Soekarno, tak ayal olahraga mengalami masa keemasan, yaitu Indonesia
mampu menggelar Asian Games ke-4 pada 1962 di Jakarta. Kemudian, terbangunnya
fasilitas olahraga terbesar di dunia saat itu, yakni Gelanggang Olahraga Bung
Karno (GBK). Yang terakhir, dalam Asian Games tahun 1962, Indonesia berada
pada peringkat kedua setelah Jepang.
Masa keemasan olahraga itu bisa terjadi tak
lain akibat kemauan politik pada zaman itu didukung penuh oleh presidennya
untuk membangun olahraga dan diimplementasikan oleh para menteri-menteri dan
disambut penuh oleh masyarakat. Saat itu memang olahraga diyakini bisa
membentuk manusia baru yang sehat mental dan fisik dan menaikkan prestise
negara. Selain itu, Depora memang benar-benar bertugas dan berfungi hanya
mengurus olahraga.
Namun, dalam rezim Orde Baru, Depora
dibubarkan. Bidang olahraga kemudian ditangani setingkat direktur jenderal
dalam kementerian, yang mempunyai keterbatasan dalam kewenangan, pengambilan
keputusan, melakukan kordinasi, serta alokasi pendanaan. Belakangan, urusan olahraga
digabung dalam Menteri Negara Pemuda dan Olahraga.
Saat ini, dengan tiga undang-undang yang
memayunginya (UU No 3 Tahun 2005 tentang SKN, UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang
Kepemudaan, dan UU No 12 Tahun 2010 tentang Kepramukaan), Kemenpora memang
tidak bisa berfokus hanya pada olahraga. Dengan tiga payung hukum itu,
Kemenpora melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam mengurus olahraga,
kepemudaan, dan kepramukaan.
Alokasi dana pun selama ini dari APBN. Jika
dibanding keseluruhan dana bagi kementerian lainnya, Kemenpora hanya mendapat
0,1 persen dari dana total APBN, yang dialokasikan untuk tiga unsur itu.
Misalnya, dari dana APBN 2014 sebesar Rp 1.800 triliun, Kemenpora menerima
dana sekitar Rp 1,8 triliun (0,1 persen). Idealnya, pagu anggaran untuk
olahraga sesuai dengan hitungan Kemenpora sendiri, berkisar Rp 4 triliun
sampai Rp 5 triliun. Dengan anggaran ideal itu, implementasi program yang
sudah disusun dapat terlaksana dengan baik, yang bermuara pada percepatan
pencapaian prestasi. Selain itu, yang paling penting, figur yang mengurus
Kementerian Olahraga haruslah berlatar belakang bidang olahraga yang cukup
kuat.
Dalam visi-misinya, Jokowi menawarkan enam
poin visi-misi di bidang olahraga. Intinya, Jokowi ingin membangkitkan
kembali masa kejayaan olahraga, baik dari sisi sarana-prasarana maupun aspek
prestasi. Bahkan, dia hendak menjadikan olahraga sebagai industri untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi.
Untuk itu, di masa mendatang, lembaga
pemerintah di bidang keolahragaan perlu diperkuat kedudukan, tugas, dan
fungsinya, dengan diubah statusnya menjadi Departemen Olahraga, disertai
dengan pemberian dana yang ideal. Dengan demikian, percepatan pertumbuhan
sarana-prasarana olahraga dan pencapaian prestasi olahraga Indonesia di dunia
internasional semakin terbuka lebar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar