Implementasi
Konservasi Energi
Totok Siswantara ; Pernah
bekerja di PTDI Bandung
|
KORAN
JAKARTA, 03 September 2014
Persoalan
terkait konsumsi energi nasional
telanjur pelik. Pembatasan penggunaan
dan kenaikan harga BBM bersubsidi
tidak menyelesaikan masalah. Ini hanya
ibarat terapi simtomatis, tidak menukik pada sumber penyakit sesungguhnya. Harus
ada terapi kausatif dengan implementasi konservasi
energi nasional secara total dan konsisten.
Produksi
minyak nasional terus merosot dan
harga minyak dunia fluktuatif membuat
bangsa ini bisa tercekik krisis energi
setiap saat. Mestinya, Indonesia
berani banting setir dengan mencari
dan menerapkan sumber daya energi alternatif.
Pemerintahan
baru di bawah Presiden Joko Widodo
harus berani membuat terobosan dengan
memperbesar persentase mandatori
penggunaan bahan bakar nabati (BBN), khususnya biodiesel untuk mengurangi impor BBM. Kini sudah
saatnya menggenjot program konservasi biofuel agar produksi nasional naik secara signifikan. Ini bisa diawali dengan mengidentifikasi
kondisi aktual industri biodiesel, lalu mewujudkan ketercapaian target dalam bauran energi nasional.
Belum
ada insentif untuk industri biodiesel. Wajar bila utilisasi kapasitas produksi masih rendah,
baru 30 persen. Bahkan, ada beberapa
produsen biodiesel tutup. Yang masih
berproduksi tinggal perusahaan
terintegrasi dengan perkebunan dan pabrik kelapa sawit. Produsen
banyak tutup karena dampak fluktuasi
harga bahan baku CPO. Ada
mismanagement, kesulitan modal kerja, dan kondisi pasar
terbatas. Masalah lain, besaran subsisi untuk program biodiesel terbatas.
Produsen
biodiesel yang saat ini mampu survive
karena dapat berjualan ke pasar sebagai Fatty Acid Methyl Ester (FAME). Ini bukan hanya sebagai biodiesel, tetapi juga
untuk bahan pelarut dalam industri
kimia dan surfaktan. Harganya cukup kompetitif. Sebagai produk industri yang
baru atau biasa disebut infant
industry, biodiesel negeri ini tentunya memerlukan
dukungan lebih konkret seperti insentif dan bantuan teknologi guna
mempertinggi produksi dalam secara
cepat.
Berbagai
program pembatasan BBM bersubsidi
mengandung potensi diselewengkan. Pembatasan berdasar
kapasitas mesin, atau tahun produksi,
maupun wilayah cukup kompleks dan operasionalnya berbiaya tinggi. Ini
tidak mungkin dilakukan secara manual petugas SPBU karena berpotensi ricuh.
Begitu
juga dengan alat pengendali BBM bersubsidi dengan teknologi Radio Frequency Identification (RFID)
yang diimpor dari Tiongkok yang berharga
cukup mahal itu ternyata tidak
efektif. Sampai kini, RFID belum bisa diterapkan. Pemerintah baru sebaiknya
minta pertanggungjawaban kepada PT Industri Telekomunikasi Indonesia selaku BUMN yang memenangkan tender pengadaan RFID.
Pembatasan
BBM berubsidi memerlukan pemetaan pola konsumsi BBM kendaraan bermotor secara
akurat. Survei pola konsumsi
sebenarnya tidak terlalu sulit. Namun, kondisi infrastruktur
transporatsi dan manajemen lalu lintas yang belum baik semakin sulit
memetakan pola konsumsi BBM kendaraan bermotor. Konsumsi tersebut bisa
menjadi turbulen karena berbagai faktor seperti kemacetan dan keterbatasn tempat parkir.
Pola
konsumsi BBM secara nasional
diharapkan mampu mengatasi persoalan kuota BBM bersubsidi agar tidak
defisit. Premium menyerap
sebesar 60 persen dari realisasi BBM bersubsidi. Berdasarkan sektor
pengguna BBM bersubsidi, transportasi
darat menyerap 89 persen. Konsumsi premium
transportasi darat didominasi
mobil pribadi sebesar 53 persen.
Jawa–Bali mengonsumsi 59 persen kuota premium nasional, yang sebesar 30 persennya dikonsumsi di wilayah
Jabodetabek. Persentase ini bergeser secara
signifikan karena kegagalan pembatasan BBM bersubsidi.
Pareto
Akibatnya,
kalkulasi premium yang ditetapkan
sesuai APBN habis sebelum waktunya. Begitu juga dengan solar. Miskalkulasi tersebut tak terantisipasi karena
masalah politik. Mestinya kebijakan pemerintah untuk membatasi BBM bersubsidi bersifat lebih esensial dan
dipersiapkan secara matang. Intinya,
efisiensi energi dan ekonomi yang berasaskan pareto dengan pemakaian sesedikit mungkin sumber daya dengan menghasilkan sebanyak mungkin output.
Konsep
ini mulai diperkenalkan ekonom Vilfredo Pareto. Intinya, suatu
kondisi alokasi sumber daya harus optimal. Dalam konteks konsumsi BBM,
kondisi tersebut bisa dilakukan dengan program nasional konservasi energi
serius yang selama ini hanya
angin-anginan. Tidak mengherankan
hingga kini Indonesia (berdasarkan data intensitas energi) masih
dikelompokkan sebagai negara yang produktivitas pemanfaatan energinya masih
rendah dibanding negara lain di Asia.
Sektor
transportasi merupakan sasaran utama penghematan BBM. Begitu juga dengan industri dan pembangkit listrik. Banyak
metode untuk konservasi energi. Pembatasan BBM bersubsidi akan berdampak
buruk jika dilakukan secara amburadul
dan kurang sistemik. Mestinya kebijakan seperti ini dalam kerangka program nasional yang
sistematis dan teredukasi. Selain itu, juga ditopang Undang
Undang Konservasi Energi yang mampu membangun kesadaran publik untuk
menjadikan sebagai budaya.
Untuk
meneguhkan undang undang tersebut perlu SDM dan lembaga yang berkompetensi dan berwenang mengaudit energi, metode konservasi, serta
pemberian insentif bagi pihak
efisien. Ada baiknya
melihat kisah sukses negara yang berhasil menjalankan
undang-undang konservasi energi, di antaranya Jepang yang membentuk Pusat
Konservasi Energi Nasional. Hasilnya menempatkan negara tersebut memiliki
produktivitas pemanfaatan energi terbaik di dunia.
Sebagai
gambaran, Jepang pada saat ini mengonsumsi BBM kurang dari 45 persen dari
total konsumsi energi negeri sakura itu. Langkah serupa juga dilakukan Amerika Serikat melalui US
Energy Act 2005 untuk mengurangi pemakaian bensin sebesar 10 juta bph
pada 2015.
Bahkan,
program-progam khusus di Departemen Energi AS dikonsentrasikan untuk
mengganti lebih dari 75 persen impor minyak dari Timur Tengah pada 2025. Sayangnya,
implementasi konservasi energi di sini masih setengah hati. Begitu pula pola konsumsi BBM yang amburadul,
banyak penyelundupan, dan pengoplosan.
Kebijakan
konservasi energi yang kredibel sangat penting. Titik beratnya pada pemanfaatan energi secara lebih rasional
dan terbarukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar