Kamis, 04 September 2014

Implementasi Konservasi Energi

Implementasi Konservasi Energi

Totok Siswantara  ;   Pernah bekerja di PTDI Bandung
KORAN JAKARTA, 03 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Persoalan terkait  konsumsi energi nasional telanjur  pelik. Pembatasan penggunaan dan kenaikan  harga BBM bersubsidi tidak menyelesaikan masalah. Ini hanya  ibarat terapi simtomatis, tidak menukik pada  sumber penyakit sesungguhnya. Harus ada  terapi  kausatif dengan implementasi konservasi energi nasional secara total dan konsisten.

Produksi minyak nasional  terus merosot dan harga minyak dunia  fluktuatif membuat bangsa ini bisa tercekik  krisis energi setiap saat. Mestinya,  Indonesia berani banting setir dengan  mencari dan menerapkan sumber daya energi alternatif.

Pemerintahan baru di bawah  Presiden Joko Widodo harus berani  membuat terobosan dengan memperbesar persentase  mandatori penggunaan bahan bakar nabati (BBN), khususnya biodiesel  untuk mengurangi impor BBM. Kini sudah saatnya menggenjot program konservasi biofuel agar  produksi nasional naik  secara signifikan. Ini  bisa diawali dengan mengidentifikasi kondisi aktual industri biodiesel, lalu mewujudkan ketercapaian target  dalam bauran energi nasional.

Belum ada insentif untuk industri biodiesel. Wajar bila  utilisasi kapasitas produksi masih rendah, baru  30 persen. Bahkan, ada beberapa produsen biodiesel  tutup. Yang masih berproduksi tinggal perusahaan   terintegrasi dengan perkebunan dan pabrik kelapa sawit. Produsen banyak tutup karena dampak  fluktuasi harga bahan baku CPO. Ada  mismanagement, kesulitan modal kerja, dan kondisi  pasar  terbatas. Masalah lain, besaran subsisi  untuk program biodiesel terbatas.

Produsen biodiesel yang saat ini mampu survive  karena  dapat berjualan  ke pasar sebagai Fatty Acid Methyl Ester (FAME). Ini  bukan hanya sebagai biodiesel, tetapi juga untuk bahan pelarut dalam  industri kimia  dan  surfaktan. Harganya cukup  kompetitif. Sebagai produk industri yang baru  atau biasa disebut infant industry,  biodiesel  negeri ini tentunya memerlukan dukungan  lebih konkret seperti  insentif dan bantuan teknologi guna mempertinggi produksi dalam secara  cepat.

Berbagai program pembatasan BBM bersubsidi  mengandung  potensi  diselewengkan. Pembatasan berdasar kapasitas mesin, atau  tahun produksi, maupun wilayah cukup kompleks dan operasionalnya berbiaya  tinggi. Ini  tidak mungkin dilakukan secara manual petugas SPBU karena  berpotensi ricuh.

Begitu juga dengan alat pengendali BBM bersubsidi dengan teknologi Radio Frequency Identification (RFID) yang diimpor dari Tiongkok yang berharga  cukup mahal itu ternyata  tidak efektif. Sampai kini, RFID belum bisa diterapkan. Pemerintah baru sebaiknya minta pertanggungjawaban kepada PT Industri Telekomunikasi Indonesia  selaku BUMN yang memenangkan tender  pengadaan RFID.

Pembatasan BBM berubsidi memerlukan pemetaan pola konsumsi BBM kendaraan bermotor secara akurat. Survei pola konsumsi  sebenarnya tidak terlalu sulit. Namun, kondisi infrastruktur transporatsi dan manajemen lalu lintas yang belum baik semakin sulit memetakan pola konsumsi BBM kendaraan bermotor. Konsumsi tersebut bisa menjadi turbulen karena berbagai faktor seperti  kemacetan dan keterbatasn  tempat parkir.

Pola konsumsi BBM secara nasional  diharapkan mampu mengatasi persoalan kuota BBM bersubsidi agar tidak defisit.  Premium  menyerap   sebesar 60 persen dari realisasi BBM bersubsidi. Berdasarkan sektor pengguna BBM bersubsidi,  transportasi darat menyerap 89 persen. Konsumsi premium  transportasi darat didominasi  mobil pribadi sebesar 53 persen.  Jawa–Bali mengonsumsi 59 persen kuota premium nasional, yang  sebesar 30 persennya dikonsumsi di wilayah Jabodetabek. Persentase ini bergeser secara  signifikan karena kegagalan pembatasan BBM bersubsidi.

Pareto

Akibatnya, kalkulasi  premium yang ditetapkan sesuai APBN habis sebelum waktunya. Begitu juga dengan  solar. Miskalkulasi tersebut  tak terantisipasi  karena  masalah politik. Mestinya kebijakan pemerintah untuk membatasi  BBM bersubsidi bersifat lebih esensial dan dipersiapkan secara matang. Intinya,  efisiensi energi dan ekonomi yang berasaskan pareto dengan pemakaian sesedikit mungkin sumber daya dengan  menghasilkan sebanyak mungkin output.

Konsep ini  mulai diperkenalkan  ekonom Vilfredo Pareto. Intinya, suatu kondisi alokasi sumber daya harus optimal. Dalam konteks konsumsi BBM, kondisi tersebut bisa dilakukan dengan program nasional konservasi energi serius yang  selama ini hanya angin-anginan. Tidak mengherankan  hingga kini Indonesia (berdasarkan data intensitas energi) masih dikelompokkan sebagai negara yang produktivitas pemanfaatan energinya masih rendah dibanding negara lain di Asia.

Sektor transportasi merupakan sasaran utama penghematan  BBM. Begitu juga dengan  industri dan pembangkit listrik. Banyak metode  untuk  konservasi energi.  Pembatasan BBM bersubsidi akan berdampak buruk jika  dilakukan secara amburadul dan kurang sistemik. Mestinya kebijakan seperti ini  dalam kerangka program nasional yang sistematis dan teredukasi. Selain itu, juga ditopang  Undang Undang Konservasi Energi yang mampu membangun kesadaran publik untuk menjadikan sebagai budaya.

Untuk meneguhkan undang undang tersebut perlu SDM dan lembaga yang  berkompetensi dan berwenang  mengaudit energi, metode konservasi, serta pemberian insentif bagi pihak  efisien.  Ada baiknya melihat  kisah sukses  negara yang berhasil menjalankan undang-undang konservasi energi, di antaranya Jepang yang membentuk Pusat Konservasi Energi Nasional. Hasilnya menempatkan negara tersebut memiliki produktivitas pemanfaatan energi terbaik di dunia.

Sebagai gambaran, Jepang pada saat ini mengonsumsi BBM kurang dari 45 persen dari total konsumsi energi negeri sakura itu. Langkah serupa juga dilakukan  Amerika Serikat melalui   US Energy Act 2005 untuk mengurangi pemakaian bensin sebesar 10 juta bph pada 2015.

Bahkan, program-progam khusus di Departemen Energi AS dikonsentrasikan untuk mengganti lebih dari 75 persen impor minyak dari  Timur Tengah pada 2025. Sayangnya, implementasi konservasi energi di sini masih setengah hati. Begitu pula  pola konsumsi BBM yang  amburadul,  banyak penyelundupan, dan pengoplosan.

Kebijakan konservasi energi yang kredibel sangat penting. Titik beratnya pada  pemanfaatan energi secara lebih rasional dan terbarukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar