Dan
Senyap Pun Mengetuk
Aryo Wisanggeni G ;
Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
07 September 2014
SUTRADARA
film ”The Act of Killing”, Joshua Oppenheimer, kembali menyuguhkan film
tentang pembantaian 1965-1966. Film itu, ”The Look of Silence”, memberi
gambaran beratnya beban kemanusiaan keluarga algojo ”membaca” pembantaian
1965. Terlebih beban ”dosa sejarah” yang terus dilekatkan kepada penyintas
dan keluarga mereka.
The Look of Silence adalah sebenar-benarnya film sekandung The Act of Killing
atau Jagal. Namun, film terbaru Oppenheimer itu memilih cara bertutur yang
sama sekali berbeda dari Jagal.
Jagal
hadir bak sebuah perayaan pembantaian 1965 yang diperkirakan menewaskan
300.000 hingga 2,5 juta jiwa. Jagal mencokolkan pertanyaan, kenapa seorang
pembunuh bisa bangga mengisahkan laku membunuh entah berapa manusia? Alasan
pemaaf seperti apa yang melingkupi mereka hingga berpuluh tahun mereka merasa
diri pahlawan?
Tidakkah
para pembunuh itu sebagai anak manusia bersua dengan para penyintas—anak
manusia lain yang dicap ”komunis” dan selamat dari pembantaian 1965? Pada
pertanyaan terakhir itulah The Look of Silence bertutur.
The
Look of Silence yang dalam bahasa Indonesia berjudul Senyap adalah film
dokumenter tentang Adi. Tukang kacamata keliling itu adalah adik dari Ramli,
salah satu korban pembantaian 1965-1966 di salah satu desa perkebunan
terpencil di Sumatera Utara. Lahir pasca pembantaian 1965-1966, Adi tumbuh
dalam keluarga yang secara resmi dinyatakan ”tidak bersih lingkungan” karena
kakaknya, Ramli, dianggap simpatisan PKI. Bersama Adi, Oppenheimer
mengumpulkan para korban dan penyintas pembantaian 1965-1966,
mendokumentasikan kesaksian mereka tentang sejarah pahit itu.
Di
tengah proses itu, terjadi intimidasi kepada para penyintas. Mereka diminta
diam dan tidak memberi kesaksian kepada Oppenheimer. Para penyintas mencari
siasat, lalu mendesak Oppenheimer mewawancarai sejumlah tokoh yang terlibat
pembantaian itu, yang mungkin akan menceritakan sendiri pembantaian mereka.
Oppenheimer
ragu siasat itu bisa berjalan, dan menjadi terkejut ketika ternyata mereka
yang terlibat pembantaian 1965-1966 bangga menceritakan bagaimana mereka
membunuh para korban. Siasat di tengah jalan itulah yang melahirkan film
Jagal yang diluncurkan mendahului Senyap.
Setegang fiksi
Oppenheimer
melanjutkan proyek film dokumentasi kesaksian para penyintas dengan
menunjukkan rekaman wawancara itu kepada Adi. Dalam Senyap, tampak Adi
menonton kesaksian para pembunuh. Adi tercenung, diam, tetapi terus menonton
rekaman wawancara yang diabadikan pada April 2003 yang memperlihatkan orang
yang tertawa-tawa bangga mengisahkan ”kepahlawanan” mereka membunuh.
Adi
mencoba memahami kejumawaan ”para pahlawan” pembantaian 1965-1966. ”Mungkin
semua itu terjadi karena penyesalan yang begitu dalam atas pembunuhan yang
dia lakukan pada waktu itu. Karena rasa penyesalan yang begitu dalam, saat
memperagakan pembunuhan itu, (mereka) seperti mati rasa,” ujar Adi lirih.
Oppenheimer
juga bertemu dengan dua orang yang mengaku sebagai pembunuh Ramli. Keduanya,
Amir Hasan dan Inong, memperagakan bagaimana mereka membunuh Ramli di
pinggiran Sungai Ular. Film dokumenter itu menjadi setegang film fiksi,
ketika menyuguhkan adegan Adi menemui Inong, menawarkan kacamata untuk mata
Inong yang rabun.
Sambil
mencari ukuran lensa kacamata yang cocok untuk mata Inong, Adi bertanya masa
lalu Inong. Adi terus mengejar, memantik marah Inong. ”Maksud saudara
bertanya apa? Saudara menanyakan terlalu dalam. Bicara soal politik, saya
tidak suka.” Inong begitu marah dan meminta Oppenheimer berhenti merekam
pertemuan itu. Wajahnya menegang dengan tatapan hampa. Bukan hanya marah yang
muncul dari adegan itu. Terasakan, penyangkalan Inong atas sesal adalah jalan,
mungkin satu-satunya jalan Inong, untuk melanjutkan hidup.
Kemarahan
juga tercuat ketika Adi menemui keluarga almarhum Amir Hasan. Dua anak Amir
Hasan marah mendengar Adi menuturkan isi buku Embun Berdarah karangan ayah
mereka yang merinci pembunuhan 32 korban pembantaian, termasuk Ramli. Kisah
pahlawan yang ditulis sang ayah tiba-tiba terasakan menjadi tuduhan ketika
dituturkan Adi, adik Ramli.
”Sekarang
ini terbuka luka. Dikarenakan Joshualah, mengambil ini semua, data mendiang
pun dibukakan sejarahnya semua, akhirnya terbuka. Kalau tidak, mana adik
(Adi) tahu sama kami, kan?” Salah satu putra Amir Hasan bertanya kepada Adi.
”Tahu,”
jawab Adi. ”Tahu, aku tahu persis keluarga ini. Siapa saja yang keluarganya
dibunuh pasti ingat. Tapi ingat bukan dalam artian dendam.” Istri Amir Hasan
dengan sepenuh hati berujar lembut, meminta maaf Adi.
Bagi masa depan
Untuk
apa mengungkit sesuatu yang telah berlalu, itulah yang dinyatakan Inong,
keluarga Amir Hasan, juga sejumlah tokoh pembantaian 1965-1966 lain yang
bersuara dalam Senyap. Mengungkit yang lalu mengoyak luka lama. Senyap secara
tak terduga menuturkan bahwa mereka yang membunuh pun terluka, melukai
kemanusiaan mereka. Luka itu mereka lupakan dengan penyangkalan dan euforia
kepahlawanan yang rapuh.
Senyap
juga menuturkan bahwa Adi—berikut ratusan ribu hingga jutaan keluarga
penyintas lainnya—masih dilukai hingga luka itu terus basah. Luka Adi basah
menerima pertanyaan anaknya yang pulang sekolah, mengisahkan cerita guru
mereka tentang kekejaman PKI. Adi bersabar menjelaskan sejarah keluarga dan
sejarah Indonesia kepada sang anak. Adi marah, belajar tidak mendendam,
tetapi negara terus mengoyak lukanya.
Oppenheimer
mengibaratkan Senyap sebagai puisi tentang kesenyapan. ”Puisi tentang
kesenyapan yang lahir dari teror, sebuah puisi tentang pentingnya memecah
kesenyapan itu, tetapi juga tentang trauma yang datang ketika kesenyapan itu
dipecahkan. Kita harus berhenti, mengakui kehidupan yang telah dihancurkan,
dan memaksa diri untuk mendengarkan kesenyapan yang menyusulnya,” ujar sang
sutradara.
Kerendahan
hati menjadi kunci mendengar kesenyapan itu. Kerendahan hati Adi berikut
ratusan ribu hingga jutaan keluarga yang menjadi korban pembantaian
1965-1966, kerendahan hati orang-orang seperti Inong dan keluarga Amir Hasan,
ataupun kerendahan hati negara. Senyap sudah mengetuk, akankah kita menoleh
dan berdiam sejenak? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar