Koalisi
Abadi
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 07 September 2014
Menjelang
pilpres, beberapa parpol membentuk Koalisi Merah Putih. Tujuannya adalah
untuk pemenangan pilpres. Strategi ini sama sekali tidak ada salahnya, karena
ketika itu sangat dibutuhkan kekompakan dari semua kekuatan untuk memenangkan
pilpres dan hasilnya pun luar biasa. Pasangan Prabowo-Hatta mencapai
perolehan suara hampir separuh dari seluruh suara yang masuk dan hanya kalah
tipis dari pasangan Jokowi-JK. Namun sekarang, Koalisi Merah Putih itu
terancam kekompakannya. Bahkan, kekompakan internal semua partai pendukung
terancam.
Ada
anggota partai yang minta kongres atau muktamar dipercepat, ada ketua umum
partai yang dinyatakan gagal oleh sebagian fungsionarisnya, dan
anggota-anggota itu kemudian dipecat oleh ketua umum. Pokoknya, koalisi yang
pada masa kampanye digadang- gadang sebagai koalisi abadi, setelah tidak
berhasil mencapai sasarannya, langsung menjadi tidak abadi lagi. Tetapi itu
pun tidak ada yang harus dipersalahkan karena memang begitulah ciri kelompok
di Indonesia. Dalam sejarah Indonesia, tiga pemimpin besar Indonesia pernah
menjadi murid HOS Tjokroaminoto di Surabaya.
Mereka
adalah Soekarno, Semaun, dan Kartosuwiryo. Ketiganya adalah patriot-patriot
muda yang bercitacita untuk memerdekakan Indonesia. Tetapi pasca-Proklamasi
Kemerdekaan RI pada 1945, kekompakan mereka bubar, karena Semaun memilih
jalan komunisme, Kartosuwiryo mendirikan NII (Negara Islam Indonesia) yang
kemudian ditumpas oleh Soekarno, sedangkan Soekarno sendiri memproklamasikan
kemerdekaan RI bersama Bung Hatta. Namun, koalisi Soekarno-Hatta pun bubar,
dan sekarang tinggal jadi nama bandara internasional di Cengkareng.
Tidak
hanya dalam politik koalisi itu tidak abadi. Band-band kondang juga pecah,
justru setelah jadi terkenal. Termasuk band bocah, Cowboy Junior yang
ditinggalkan oleh salah satu anggotanya, Bastian. Dalam olahraga sama saja.
PSSI pecah jadi dua kubu. Lahir Liga Indonesia yang menjadi pesaing
kompetisi-kompetisi PSSI yang sudah ada. Begitu juga dalam dunia bisnis,
berbagai merger dan kongsi pecah setelah sukses. Bahkan, kekompakan
keluarga-keluarga keraton Jawa pecah sejak Belanda berhasil menghasut
petinggi- petinggi kerajaan Mataram sehingga mereka terbelah menjadi empat
keraton, dua di Yogyakarta, dua di Solo.
Tidak
selesai sampai di situ, sampai hari ini kemelut internal keluarga
Mangkunegaran dan Kesunanan di Solo masih terjadi. Dari contoh-contoh di
atas, bisa diperkirakan bahwa Jokowi (di tingkat nasional) dan Ahok (di
tingkat DKI) akan menghadapi masalah yang sama. Relawan-relawan Jokowi- JK yang
berhasil memenangkan persaingan ketat dalam Pilpres 2014, mulai saling
berlomba untuk merapat ke Rumah Transisi.
Kata
Sentilan-Sentilun, kalau orang antre di pompa bensin, tentu karena ingin
mendapat bensin, kalau orang antre di Rumah Transisi tentu kepengin jadi
menteri. Begitu juga di level DKI. Koalisi kompak antara PDIP-Gerindra yang
sukses memenangkan pasangan Jokowi-Ahok dalam Pilgub 2012 yang lalu, sekarang
pecah, karena kedua pihak saling bersaing untuk memperebutkan posisi wakil
gubernur DKI.
Di
sisi lain, mengapa di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris,
Australia (masing-masing hanya dua parpol yang dominan) dan Belanda (12
parpol) rakyatnya bisa lebih konsisten? Parpolparpol di negara-negara maju
lebih abadi dari di negara-negara berkembang seperti Indonesia (jumlah partai
politik di Indonesia pernah hanya tiga, tetapi kemudian naik turun sampai
pernah 40 partai, dan di tahun 2014 ini tercatat 15 parpol peserta pemilu).
Beberapa
penelitian psikologi politik mengungkapkan bahwa Party ID (Identification) di negara-negara maju
lebih kuat dari pada personal id. Seorang pengikut Partai Demokrat, sampai
kapan pun tetap menyatakan dirinya sebagai Demokrat, terlepas dari siapa
calon presidennya. Begitu juga yang partisan Republik, dan keluarga
masing-masing. Lain halnya dengan di Indonesia. Di zaman Orde Lama, orang
kompak masuk PNI karena Bung Karno. Pindah ke era Orde Baru, orang berbondong
masuk Golkar, karena Soeharto; dan di masa Reformasi, SBY merupakan daya
tarik yang menyebabkan Partai Demokrat menang. Begitu juga dengan Gus Dur,
Prabowo, dan Jokowi.
Mereka
punya karisma sendirisendiri yang menarik massanya masing-masing. Ingat! Gus
Dur di-impeach oleh MPR, khususnya
oleh kelompok yang sama yang sebelumnya menobatkan dirinya menjadi presiden.
Bukan oleh rakyat. Dan seandainya hari ini Prabowo yang menang, kubu Jokowi
juga akan terpecah, karena sebagian pasti akan ada yang menyeberang ke kubu
pemenang. Tentu saja ini tidak baik untuk bangsa Indonesia ke depan.
Sebagai
bangsa, kita tidak boleh lagi terpaku pada kebiasaan mengikuti orang, karena
tidak ada jaminan bahwa orang akan selamanya baik dan sehat walafiat. Jokowi
menang, karena faktor Jokowi-nya, bukan karena PDIP-nya. Begitu pula
seandainya Prabowo menang, itu karena faktor Prabowo-nya, bukan karena
Gerindra-nya. Itu tidak bagus. Pengalaman bangsa ini dengan Soekarno dan
Soeharto adalah pemimpin yang awalnya bagus bisa berubah jadi tidak bagus.
Namanya
juga manusia. Karena itu, tugas Jokowi-JK sebagai presiden terpilih sekarang
adalah membiasakan bangsa Indonesia ini untuk merujuk pada gagasan dan
program yang betul-betul ditujukan untuk kemaslahatan rakyat jelata.
Program-program harus dibangun berdasarkan data empiris, dan diwujudkan
melalui sistem-sistem yang terukur.
Para
pemimpin harus bicara tentang sistem dan program yang didasarkan pada
pengalaman dan bukti empirik, bukan ABS (asal bapak senang). Dengan cara ini,
rakyat akan percaya pada sistem yang disosialisasikan oleh pemimpin, dan pada
saatnya masyarakat akan percaya pada sistem itu sendiri, tanpa melihat siapa
orangnya yang menjalankan sistem itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar