Memeriksa
Wajah Indonesia dalam Film
Totot Indrarto ;
Praktisi periklanan dan blogger, Pernah mengikuti Pelatihan
Kajian Sinema FIB-UI (2007). Sejak 2001 menulis kritik film untuk Kompas
|
KOMPAS,
07 September 2014
SETIAP
tahun, kualitas perfilman Indonesia diapresiasi lewat berbagai festival
berskala nasional. Yang terbilang besar Festival Film Indonesia, Festival
Film Bandung, dan Apresiasi Film Indonesia. Khusus film dokumenter, ada
Festival Film Dokumenter, sedangkan untuk film pendek ada Festival Film Solo.
Pada
dasarnya, semakin banyak kompetisi, dan berarti ajang penghargaan, semakin
baik. Sebagai produk hiburan sekaligus produk budaya, film tidak mungkin
dibangun melulu mengikuti selera pasar, tetapi juga mesti diimbangi apresiasi
estetika dan penghargaan kualitas lain dalam bentuk kritik dan kompetisi.
Kendati
demikian, dua festival yang diselenggarakan pemerintah—Festival Film
Indonesia (FFI) oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta
Apresiasi Film Indonesia (AFI) oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan—seharusnya tidak tumpang tindih atau bersaing, tetapi saling
melengkapi (komplementer). Maka, sudah tepat kini penyelenggaraan FFI dan AFI
disupervisi Badan Perfilman Indonesia (BPI), institusi perfilman yang
diamanatkan UU Nomor 33 Tahun 2009. Dalam koordinasi satu tangan akan lebih
mudah memperkuat karakter dan diferensiasi masing-masing festival.
Tiga
pembeda yang segera terlihat ialah dalam mekanisme keikutsertaan, kategori
penghargaan, dan fokus utama penilaian. Peserta FFI sebatas film yang
didaftarkan oleh pembuatnya, sedangkan di AFI sebagian besar justru dijaring
dari pelbagai festival, komunitas, dan tempat pemutaran di seluruh Indonesia.
FFI
hanya melombakan film bioskop, pendek, animasi, dokumenter, dan televisi.
Pada film bioskop dan televisi penilaian juga dilakukan atas unsur teknisnya.
Sementara AFI mengapresiasi film cerita panjang bioskop, cerita panjang
nonbioskop, anak, pendek, animasi, dokumenter, independen pelajar, dan
independen mahasiswa. Selain itu, juga diberikan apresiasi untuk komponen
pendukung nonfilm: poster, komunitas, festival, lembaga pendidikan, media
cetak, dan media noncetak.
Ada
pula apresiasi untuk film dan tokoh perfilman yang penting dan inspiratif,
yakni Adi-Karya dan Adi-Insani (tahun lalu diberikan pada karya Asrul Sani
Apa Jang Kau Tjari, Palupi? dan produser/sutradara Garin Nugroho).
Satunya-satunya apresiasi untuk unsur film diberikan kepada sutradara perdana
film cerita panjang (bioskop atau nonbioskop).
Kriteria penjurian
Perbedaan
paling signifikan antara FFI dan AFI terletak pada kriteria penjuriannya. FFI
sejak pertama diadakan pada 1955 dimaksudkan untuk mengevaluasi perkembangan
”industri” perfilman setahun terakhir. Aspek yang dinilai dengan demikian
adalah kualitas estetika film secara keseluruhan dan pencapaian teknis
sinematografi para pekerjanya. Agak lebih mendalam, AFI dirancang untuk
mengapresiasi komitmen pembuat film memproduksi karya-karya berbasis nilai
budaya, kearifan lokal, dan pembangunan karakter bangsa.
Istilah
itu mungkin terdengar sloganistis, kuno, identik dengan nilai-nilai
tradisional, dan konservatif. Padahal, ”nilai budaya”, ”kearifan lokal”, dan
”karakter bangsa” bukanlah kumpulan stereotip, melainkan nilai-nilai yang
cair dan selalu berubah. Dalam catatan dewan juri AFI 2013 disebutkan,
”Film-film berbasis nilai budaya, kearifan lokal, dan pembangunan karakter
bangsa adalah film-film yang bergulat dengan berbagai kompleksitas dan komplikasi
untuk menjadi Indonesia, mengucapkan aneka tantangan yang dihadapi masyarakat
Indonesia mutakhir, dan menggali berbagai potensi yang disediakan oleh
warisan budaya Nusantara ataupun dunia.” Dengan kata lain, film-film yang
menyajikan perspektif tajam-kritis terhadap aneka masalah sosial-budaya
Indonesia.
Salah
satu film penerima penghargaan tahun lalu, Vakansi yang Janggal dan Penyakit
Lainnya (Yosep Anggi Noen), menggambarkan nilai-nilai tersebut dengan subtil.
Road movie dua pegawai toko mengantar mebel dari Yogyakarta ke Temanggung itu
berisi kisah asmara yang sangat Indonesia: halus dan menahan diri, tetapi
menyiratkan lingkungan budaya dan kelas sosial lapisan bawah yang nyata. Film
lain, Atambua 39 Derajat Celcius (Riri Riza), unggul karena berhasil menukik
ke persoalan mutakhir di wilayah pinggiran Indonesia. Di film itu lokasi
bukan lagi sekadar latar, melainkan jiwa film itu sendiri. Keindonesiaannya
makin terasa dalam interaksi timbal balik antara sutradara dan warga lokal
yang menjadi pemain.
Dalam
kalimat lebih sederhana, AFI bertujuan memeriksa seberapa kuat wajah
Indonesia terepresentasikan dalam film-film kita. Pertanyaannya, apakah hal
itu penting mengingat film sejatinya medium universal?
Pada
1977, masyarakat perfilman sangat tersinggung dan marah mendengar kritik
dewan juri FFI. Sebelum mengumumkan tidak ada film terbaik, Rosihan Anwar
membacakan amar keputusan, antara lain, ”Kebanyakan film Indonesia berwajah
Hongkong, Taiwan, India atau campuran dari macam-macam wajah…. Dewan Juri
berkesimpulan: film Indonesia dewasa ini dibuat oleh para produser
semata-mata sebagai alat hiburan yang tidak selalu berarti sehat. Produser
film Indonesia menampakkan diri terutama sebagai pedagang-pedagang impian.”
Di
bagian lain dinyatakan, ”Kecuali sebagian kecil, film-film ini sama sekali
tidak memperlihatkan keterlibatan sosial. Beberapa film mencoba berbicara
tentang masalah sosial, tetapi lantaran kurangnya persiapan dan pengenalan
lingkungan, maka masalah sosial yang ditampilkan terasa sangat dibuat-buat
dan semu.”
Tidak
sekadar mengecam, dewan juri menjelaskan yang dimaksud film berwajah
Indonesia. ”Yang ingin kami lihat dalam film kita adalah gambaran dari
manusia dan kehidupan Indonesia yang ada.”
Persoalan
serupa sering dirasakan oleh dewan juri di hampir setiap penjurian FFI. Akan
tetapi, jadi terkesan ceriwis membesar-besarkan terus hal itu setiap tahun
karena FFI secara ideologis memang hanya bertugas memeriksa kualitas estetika
film. Maka, baik juga jika fungsi ”memeriksa wajah Indonesia dalam film kita”
dilakukan secara spesifik melalui AFI.
Soal
penting atau tidak, dewan juri AFI 2013 meninggalkan catatan, ”Film-film yang memperoleh penghargaan
adalah yang menyajikan perspektif tajam-kritis terhadap aneka masalah
sosial-budaya Indonesia. Bagi kami, film-film yang demikian itu berpotensi
menyegarkan kreativitas perfilman Indonesia sekaligus memperbarui komunikasi
dengan publik pemirsa.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar