Adi
Goenawan Mohamad ;
Esais;
Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO,
22 September 2014
Laki-laki
tua yang jangkung dan bermuka keras itu, yang hidup dengan seekor monyet
kecil di sebuah gubuk, bercerita dengan suara yang masih ganas tentang
bagaimana ia membunuh. "Aku tebas
buah dada perempuan itu; dari akar putingnya mengalir air susu. Lalu aku
potong lehernya...."
Dokumentasi
tentang kekejaman di Indonesia sekitar 1965 bertambah-dan bisa bertambah. The Look of Silence, film baru Joshua
Oppenheimer, semacam sambungan dari filmnya yang terdahulu, The Act of Killing, kini sudah beredar
secara terbatas. Dalam rekaman seperti yang saya kutip, dari ingatan,
Oppenheimer menunjukkan keunggulannya sebagai pembuat film dokumenter dan
keunggulan seseorang yang datang mengusik hati kita dengan pertanyaan.
Tentu
ia bukan orang pertama dalam perkara ini. Pada Agustus 1969, majalah Horison
memuat tulisan Usamah, "Perang dan
Kemanusiaan". Tulisan ini, nonfiksi, begitu menarik perhatian hingga
diterjemahkan ke dalam jurnal akademik Indonesia dari Cornell University. Di
dalamnya kita baca kesaksian seorang muda, penulis yang antikomunis, yang
dengan hati terbelah terlibat dalam penangkapan, penyekapan, dan pembunuhan
orang-orang yang dituduh komunis-termasuk teman-temannya.
Buat
menerbitkan kesaksian seperti ini ketika "Orde Baru" mulai efektif
perlu keberanian tersendiri. Tapi waktu itu Horison tampak ingin membuka
pintu Indonesia yang luas. Di sana pula terbit cerita pendek Umar Kayam, "Musim Gugur Kembali di Connecticut",
yang dengan kalimat-kalimat pendek dan tenang menyentuh hati: seorang
intelektual kiri yang tak berbuat apa-apa dibunuh dalam pembasmian yang
meluas di tahun 1960-an itu.
Sastra
Indonesia tampaknya medium yang memulai pengungkapan sejarah yang tragis
setengah abad yang lalu itu: ada novel Yudhistira A.N.M. Massardi Mencoba Tidak Menyerah, trilogi Ahmad
Tohari, dan kemudian, dua tahun lalu, Pulang
Leila S. Chudori dan Amba Laksmi
Pamuntjak. Luar sastra menyusul: majalah Tempo 1-7 Oktober 2012 merekam
pertemuan dengan para pelaku pembantaian....
Bahwa
The Act of Killing yang paling
menyentak kita, mudah dipahami: film selalu lebih menjangkau orang banyak,
dan sebuah film dokumenter tentang sejarah yang setengah terpendam selalu
mengejutkan, apalagi datang dari luar. Maka The Act of Killing lebih menarik perhatian ketimbang Sang Penari,
film Indonesia pertama yang, berdasarkan fiksi Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh
Paruk, menampilkan kekerasan "anti-gestapu" tahun 1960-an.
The Look of Silence
agaknya tak akan kalah kontroversial ketimbang pendahulunya-dan bagi saya
lebih menggugah.
Kebuasan
yang digambarkannya di Deli Serdang, Sumatera Utara, tidak hanya dilakukan
satu orang. Berbeda dengan The Act of
Killing, ia tak diselingi khayal surealistis dengan humor yang seram dan
potret-potret preman hari ini; dalam The
Look of Silence tak ada permainan antara imajinasi dan rekonstruksi.
Bahan utamanya wawancara, praktis tanpa intermezo. Kata-kata terus terang,
telanjang, brutal.
Sepasang
laki-laki tua mendemonstrasikan bagaimana mereka, hampir setengah abad yang
lalu itu, mengerat kemaluan korbannya dari pantat, sebelum menikam merihnya
dan menyepak tubuhnya ke sungai. "Aku minum darah orang yang aku
potong," kata seseorang yang lain, "agar aku tidak gila."
Darah manusia manis-manis asam, katanya dengan muka yang selalu tegang. "Aku minum dua gelas. Kuambil dari
bagian tenggorokan."
Di
manakah selama ini bagian yang terpendam, ganas, dan merisaukan dari sejarah
Indonesia ini? Malukah kita mengakuinya? Atau takut? Atau tak tahu? Atau tak
peduli?
Tokoh
di pusat The Look of Silence adalah
Adi. Di masa penuh darah itu kakaknya, Ramli, ditangkap dan dibantai dengan
bengis. Adi, yang lahir setelah pembunuhan itu, hanya mendapat ceritanya dari
ibunya yang masih menyimpan dendam yang getir. Pada suatu hari Adi melihat
rekaman pengakuan dua laki-laki yang membunuh orang-orang komunis. Kita tak
tahu bagaimana ia mendapatkan video itu, tapi sejak itu laki-laki itu pun
mencari jawab, menemui orang yang terlibat-dan tak mendapatkan apa-apa,
selain kisah kebiadaban yang dilakukan sesamanya.
Adi,
seperti kita, menuntut penyesalan para pembunuh. Tapi sia-sia. Dan itulah
yang merisaukan. Bagi kita kekejaman mereka secara universal patut dikutuk,
tapi jangan-jangan antara kita dan mereka tak ada dasar bersama untuk
menuntut sesal. Jangan-jangan apa yang biadab, apa yang beradab, ada di
kepala dengan dunia masing-masing.
Film
ini tentu tak bertolak dari asumsi itu. Bagi Adi dan Oppenheimer, kebuasan
itu sangat terbuka, sangat terang-benderang, buat dihakimi. Tapi tampaknya
tak segampang itu. Ada dunia lain yang belum tertembus.
The Look of Silence
amat kuat berbicara tentang apa, kapan, dan bagaimana. Tapi film ini tak
cukup menggambarkan mengapa dan siapa. Tak banyak informasi tentang latar
sosial Adi dan Ramli. Penonton yang berbahasa Jawa akan tahu, orang tua Adi
datang dari Jawa, tapi justru akan bertanya mengapa mereka hidup di Deli
Serdang dan apa yang mereka lakukan. Apa yang Ramli lakukan? Adakah ia
seorang aktivis komunis-dan apa artinya itu bagi para pembunuhnya: bagaimana
genealogi kebuasan itu? Dari mana datangnya? Hanya karena perintah dan
propaganda aparat kekuasaan? Mungkinkah laku yang sekeji itu-yang terus
mereka banggakan-terbit tanpa kebencian yang bersemai dalam pribadi dan tubuh
sosial?
Hari-hari
ini kebencian masih berkecamuk dan kita tak tahu kenapa, kebiadaban masih
dibanggakan dan kita tak tahu apa sebabnya. The Look of Silence akan berjasa besar jika bersamanya kita
ingat, ada pertanyaan yang gawat dan belum terjawab itu. Tak hanya di
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar