Kabinet
Putu Setia ;
Wartawan
Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
21 September 2014
Kaget
juga saya ketika dipanggil Romo Imam untuk membicarakan masalah pekerjaan.
Mau bekerja apa lagi sudah tua begini? Ternyata yang dimaksudkan adalah
rencana anaknya yang akan membuat percetakan kecil-kecilan dan pembuatan
papan nama. "Begitu Jokowi dilantik sebagai presiden, usaha ini akan
kebanjiran order," kata Romo.
Saya
biarkan Romo menjelaskan lebih gamblang. "Jokowi sudah mengumumkan
struktur kabinetnya. Beberapa kementerian berganti nama dan ada kementerian
baru. Semua ini mempengaruhi hal-hal kecil tetapi besar biayanya. Papan nama
semua sekolah berganti huruf. Dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
menjadi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Di Bali ada dua ribuan
desa, kalau di setiap desa ada tiga sekolah dasar, itu sudah berapa ribu
papan nama berganti."
"Tapi
kan tak harus ganti, Romo, tinggal dihapus dan ditulis ulang," kata saya
seadanya. Romo tertawa: "Papan namanya sudah rusak terlalu sering
diganti. Dulu Departemen Pendidikan Nasional, lalu Kementerian Pendidikan
Nasional, terus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan."
Saya
baru sadar ada hal sepele begini. "Surat-menyurat pasti diganti pula.
Kop surat, amplop, map, kuitansi, juga kartu nama para guru," kata Romo.
"Cetak-mencetak yang kecil ini tak praktis di percetakan besar. Pasti
yang dicari percetakan dengan mesin kecil. Ini baru satu kementerian. Belum
lagi kementerian baru seperti Kementerian Agraria. Berapa juta brosur akta
transaksi tanah harus dibuat ulang untuk mengganti Badan Pertanahan Negara
menjadi Kementerian Agraria. Wow, bisnis yang menguntungkan."
"Apakah
Jokowi tak menghitung biaya ini?" saya bertanya. Romo menjawab,
"Saya kira Jokowi terlalu idealis sehingga lupa hal-hal kecil. Bahkan
dia juga lupa betapa sulitnya menyusun kabinet dalam sistem politik di
Indonesia di mana partai-partai berjuang untuk kekuasaan dan bukan berjuang
untuk kesejahteraan rakyat. Jokowi boleh berkata: jangan pisahkan saya dari
rakyat, akan menjadi presiden rakyat dan seterusnya. Tapi kenyataan yang
sudah dan akan dia hadapi lain. Dia adalah presidennya partai, karena partai
yang mendukungnya dan partai pula yang menentukan apakah programnya untuk
rakyat berjalan atau tidak. Parlemen itu kan perpanjangan partai."
Karena
Romo sudah "berpolitik", saya lebih baik diam. "Jokowi
merampingkan kabinet saja gagal. Koalisi tanpa syarat juga gagal karena
partai sudah dijatah 16 menteri. Rangkap jabatan menteri dengan pengurus
partai pun bisa gagal. Muhaimin Iskandar dan Puan Maharani sudah jelas
menolak. Mau melawan Muhaimin ya pasti riskan, kalau dia ngambek, kekuatan
Jokowi di parlemen makin ambruk. Justru Jokowi harus merangkul partai di
seberang untuk memperkuat parlemen dan untuk itu iming-imingnya apalagi kalau
bukan kursi menteri.
Bagaimana bisa bilang tanpa syarat? Di negeri ini, syarat dan ketentuan berlaku."
Romo
tertawa dan saya hanya tersenyum. "Jokowi lebih baik bicara soal
penghematan yang riil. Misal, enggak usah beli mobil baru untuk menteri,
memangkas perjalanan dinas dan rapat menteri. Iritlah bicara soal figur
menteri, nanti bisa jadi bumerang. Untuk bicara profesional pun saya pikir
tak usah diteruskan. Kriterianya sulit. Ada bankir sukses ternyata insinyur
elektro. Ada wartawan profesional ternyata lulusan institut pertanian dengan
skripsi tahi kambing untuk pupuk. Apalagi profesional partai, ini istilah
mengada-ada. Jokowi lebih baik membangun komunikasi dibanding terjebak istilah-istilah
sesaat."
Saya
terus diam dan menduga Romo lupa kenapa saya datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar