Reformasi
Anggaran Pemerintahan Baru
Aunur Rofiq ;
Alumnus
Institut Pertanian Bogor (IPB);
Pebisnis
Sektor Pertambangan dan Perkebunan
|
SINAR
HARAPAN, 20 September 2014
Dalam berbagai kesempatan Jokowi
mengatakan, politik anggaran akan diarahkan untuk merealisasasikan
program-program yang berpihak ke kemajuan ekonomi rakyat, termasuk
peningkatan sumber daya manusia (SDM), swasembada pangan, ketahanan energi,
dan pemerataan hasil-hasil pembangunan di daerah.
Dengan memperhatikan postur anggaran,
terutama anggaran 2015, apakah pemerintahan Jokowi-JK dapat merealisasikan
programnya? Tampaknya kondisi itu masih sulit diharapkan. Hal ini disebabkan
pemerintah tidak memiliki ruang fiskal yang cukup lebar karena pengeluaran
yang terus meningkat tidak diimbangi penerimaan negara yang jauh lebih
tinggi.
Ada beberapa pos dalam anggaran negara yang
perlu memperoleh perhatian pemerintah baru. Selain itu, postur dalam pos-pos
ini berpeluang untuk diubah, mengingat Jokowi sudah berencana melakukan
perubahan angggaran jika Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(RAPBN) 2015 disahkan menjadi undang-undang (UU) dalam waktu dekat ini.
Pertama, postur RAPBN 2015 masih terbebani
pengeluaran rutin dengan dampak multiplier rendah. Bahkan anggaran untuk
pembangunan infrastruktur di RAPBN 2015 justru turun dibandingkan tahun 2014.
Pendapatan negara pada 2015 disalurkan ke
berbagai pembiayaan rutin, antara lain untuk gaji pegawai negeri 14,3 persen,
membayar bunga utang 7,6 persen, anggaran pendidikan 22,9 persen, subsidi
energi 18 persen, transfer dana ke daerah 31,69 persen dan alokasi anggaran
desa Rp 9,1 triliun atau 1,4 persen dari total dana transfer daerah. Totalnya
mencapai 94,5 persen dari pengeluaran.
Salah satu gagasan Jokowi di bidang fiskal
adalah meningkatkan pemerataan pembangunan melalui politik anggaran sebagai
strategi besar menekan atau membebaskan praktik korupsi dan memastikan
distribusi anggaran daerah diterima sesuai alokasi yang diprogramkan. Untuk
itu, pengeluaran rutin yang nilainya besar ini harus pula diawasi. Ini agar
pemanfaatannya benar-benar efektif dan efisien.
Kedua, beban RAPBN 2015 semakin bertambah
dengan peningkatan subsidi atau anggaran untuk pengeluaran populis. Dalam
RAPBN 2015, pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi Rp 433,51 triliun,
naik Rp 30,48 triliun dibandingkan subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014.
Hampir 83 persen atau setara Rp 363,53 triliun
alokasi subsidi itu untuk bahan bakar minyak (BBM). Sementara itu, subsidi
listrik Rp 72,42 triliun. Subsidi nonenergi dialokasikan Rp 69,98 triliun
atau naik Rp 17,25 triliun dibandingkan APBN-P 2014.
Ketiga, dalam nota keuangan tercermin,
penerimaan fiskal dalam RAPBN 2015 ditarget konservatif, sementara bobot
pengeluaran cenderung diikat tingginya belanja tak produktif. Total
pendapatan negara Rp 1.762,3 triliun. Itu terdiri atas penerimaan perpajakan
Rp 1.370,8 triliun, PNBP Rp 388 triliun, dan penerimaan hibah Rp 3,4 triliun.
Struktur dan arah kebijakan pendapatan
perlu dioptimalkan. Dalam RAPBN 2015, pertumbuhan penerimaan fiskal masih
konservatif. Penerimaan pajak ditarget hanya naik 11,2 persen.
Dengan total penerimaan perpajakan Rp
1.370,8 triliun, rasio penerimaan perpajakan terhadap produk domestik bruto
(PDB) atau tax ratio hanya 12,32 persen. Tax ratio yang dicapai ini memang
masih rendah. Pada 2013, tax ratio 12,2 persen menjadi 12,6 persen pada 2014.
Artinya, tax ratio tahun ini lebih rendah dari 2014.
Meskipun penerimaan perpajakan naik, masih
ada potensi penerimaan menjadi lebih besar jika tax ratio bisa naik lebih
tinggi. Kita bisa bandingkan dengan tax ratio beberapa negara-negara lain
berdasarkan data dari Heritage Foundation yang berbasis di Washington DC,
Amerika, yakni tax ratio Denmark 49 persen; Finlandia 43,6 persen; Selandia
Baru 34,5 persen; Swedia 45,8 persen; Australia 30,8 persen; Norwegia 43,6
persen; Kanada 32,2 persen; Belanda 39,8 persen, Jerman 40,6 persen; Portugal
37 persen; Belgia 46,8 persen; Austria 43,4 persen; Perancis 44,6 persen;
Inggris 39 persen; Jepang 28,3 persen; Amerika Serikat 26,9 persen, Malaysia
15,5 persen; Thailand 17 persen; Filipina 14,4 persen; Vietnam 13,8 persen;
Kamboja 8 persen; dan Myanmar hanya 4,9 persen.
Artinya. tax ratio kita jauh lebih rendah
dan masih banyak potensi penerimaan perpajakan yang belum sepenuhnya tergali.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi rata rata di atas 5 persen dan PDB kita
juga terus naik. Dengan demikian, sistem perpajakan masih belum optimal dalam
berkontribusi terhadap penerimaan negara.
Pemerintahan baru harus mampu mendorong
peningkatan penerimaan perpajakan. Reformasi sistem perpajakan sangat
penting, bukan hanya sebagai instrumen penerimaan negara yang semakin besar
kontribusinya, melainkan juga sebagai instrumen keadilan.
Dari peningkatan tax ratio dan potensi
jumlah wajib pajak, harapan mewujudkan postur fiskal yang menstimulus
kesempatan kerja bagi rakyat akan semakin besar. Demikian pul jika tax ratio
kita tetap kecil, akumulasi kekayaan akan terus dinikmati kelompok kaya dan
menengah sehingga tidak ada distribusi kekayaan.
Keempat, defisit anggaran dalam RAPBN 2015
mencapai Rp 257,6 triliun atau 2,32 persen terhadap PDB. Nilai ini hampir
menyentuh batas atas defisit sesuai UU, yakni 3 persen. Defisit anggaran itu
seharusnya memacu ekspansi kebijakan fiskal.
Sumber pembiayaan defisit dari utang secara
nominal meningkat dari Rp 253,7 triliun di APBN 2014 menjadi Rp 282,7 triliun
dalam RAPBN 2015. Membengkaknya pembiayaan negara dari utang terjadi karena
banyak faktor, terutama menurunnya pendapatan pajak.
Selain ini, nominal utang terus membesar
karena beban pembayaran cicilan pokok dan bunga utang. Tahun 2014 saja,
pemerintah menetapkan pagu pembayaran cicilan pokok Rp 247,7 triliun dan
bunga Rp 121,3 triliun.
Kelima, kebijakan-kebijakan dan sasaran
prioritas dalam pembangunan ternyata masih memperoleh anggaran tidak
signifikan. Sasaran prioritas yang seharusnya dapat dieksekusi saat ini
bahkan dilimpahkan kepada pemerintahan baru.
Dalam RAPBN 2015, terdapat tujuh
kementerian negara dan lembaga (K/L) yang akan mendapat alokasi anggaran yang
cukup besar di atas Rp 40 triliun pada RAPBN 2015, yaitu Kementerian
Pertahanan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pekerjaan
Umum, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Kepolisian Negara Republik
Indonesia, serta Kementerian Perhubungan.
Dalam RAPBN 2015, sektor pertanian dan
energi ternyata masih belum memperoleh kepedulian. Padahal, dua sektor
tersebut saat ini sedang kedodoran sehingga menyebabkan kondisi perekonomian
terus terbebani impor tinggi.
Hal itu tercermin dari rendahnya anggaran
yang dialokasikan pemerintah dalam RABPN 2015 untuk sektor tersebut, yakni Rp
15,82 triliun untuk sektor pertanian. Sementara itu, Kementerian ESDM
mendapatkan anggaran Rp 11,3 triliun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar