Seniman
Berpolitik
Muhidin M Dahlan ; Kerani @warungarsip
|
KORAN
TEMPO, 08 Juli 2014
"1.000
kali seniman tak berpolitik, 1.000 kali pula politik mencampuri seni dan
seniman." - Amir Pasaribu, komposer
Kutipan dari komposer musik legendaris Indonesia itu saya temukan dari
kliping koran pada 1957. Kutipan itu berumur 57 tahun jika diukur dari masa
saat Glen Fredly, Bimbim Slank, dkk "mengorganisasi" musikus untuk
menjadi relawan politik Indonesia dalam pemilu Indonesia ke-12.
Amir sadar bahwa frasa "seniman berpolitik" adalah posisi.
Seniman yang disebutnya sebagai paal di tengah kehidupan bangsa dan
masyarakatnya bukanlah spectateur atau penonton, melainkan pemikir, peserta,
yakni peserta yang bergiat menyelamatkan bangsanya dari kerugian besar.
Peristiwa panggung musik politik 5 Juli 2014 di Gelora Bung Karno
Jakarta adalah kembalinya spirit Amir Pasaribu dalam bermusik yang tak alergi
terhadap keterlibatan politik. Politik bukanlah iblis yang mesti dihindari,
melainkan dirawat dan dibersihkan bersama dalam kepemimpinan rakyat.
Amir Pasaribu, C. Simandjuntak, Sarbini, W.R. Supratman adalah leluhur
musik yang diproduksi revolusi. Karakter mereka dibentuk dan ditempa di alam
politik yang keras dalam pencarian notasi budaya. Mereka adalah musikus dan
sekaligus aktivis.
Musikus semacam Amir tahu betul bahwa politik tak merusak dunia musik
yang ditekuninya, melainkan saling mengisi dalam konteks kebangsaan yang
luas. Politik tidak berada di pihak yang mengeksploitasi.
Kebudayaan yang tak kalis dari politik itu bisa kita baca dari
bagaimana kebijakan politik bersikap pada musik, film, teater, sastra, buku,
tari, seni rupa, yang kemudian dihimpun dalam satu frasa baru: "ekonomi
kreatif". Dan frasa ini adalah frasa politik karena berkaitan dengan
visi kebudayaan dan politik anggaran yang menyertainya. Makin sedikit
anggaran yang disediakan, makin mudah menilai keberpihakan politik terhadap
kemaslahatan kebudayaan.
Dalam sejarah pemilu di Indonesia, ada tiga bentuk keterlibatan
seniman. Pemilu 1955 melahirkan keterlibatan seniman dalam satu struktur
barisan organisasi/sanggar. Seniman berpolitik dalam organisasi seperti
Lekra, Lesbumi, dan LKN.
Ketika rezim Sukarno tumbang, keterlibatan seniman dalam politik
berubah. Seniman dilarang berpolitik praktis bersamaan dengan penyusutan
partai. Keterlibatan seniman dalam politik pun semata bersifat panggilan dan
penghibur tanpa ada tawar-menawar kepentingan selain bayaran. Seniman sebagai
boneka politik tanpa daya tawar itu berlangsung puluhan tahun.
Dalam pemilu ke-12 ini muncul keterlibatan lain yang berbeda dengan dua
model keterlibatan sebelumnya, yakni keterlibatan yang cair dan tanpa
bayaran. Keterlibatan yang bersifat sukarela ini bersifat ad hoc, tanpa ada
iming-iming uang, kecuali panggilan jiwa untuk menjadi peserta dan bukan
penonton politik.
Dalam sejarah pemilu, jumlah keterlibatan relawan seni, terutama
dimotori musikus yang memiliki lapisan pengikut yang luas, adalah terbesar
dan tiada tanding. Mereka tak diikat oleh organisasi yang bersifat partisan,
melainkan jaringan teknologi komunikasi. Walau bukan pendukung partai politik
tertentu, mereka hadir menyuarakan apa yang disebut Amir Pasaribu sebagai
cara, "memikirkan nasib kemadjuan
bangsanja dalam pemikiran semua segi hidupnja." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar