Pemimpin
Anton Kurnia ; Esais, Editor-in-Chief Penerbit Serambi, Jakarta
|
KORAN
TEMPO, 08 Juli 2014
"Presiden
adalah pejabat tinggi yang dipilih untuk melaksanakan suatu fungsi. Dia bukan
raja, juga bukan dewa. Dia pun bukan dukun sakti yang tahu segalanya. Dia
adalah pelayan rakyat. Cara hidup ideal seorang presiden adalah hidup seperti
sebagian besar rakyat yang harus dilayaninya," kata
Jose Mujica, Presiden Uruguay, saat ditanya soal jabatan presiden dan gaya
hidupnya yang terkenal sederhana.
Terkait dengan soal pemilihan presiden yang akan berlangsung pada 9
Juli ini, saya teringat lagi kutipan menarik itu. Saya juga jadi teringat
pada obrolan iseng saya lewat fasilitas chat di Facebook beberapa hari lalu
dengan seorang kenalan yang sudah lama tak berjumpa.
Sore itu menjelang waktu berbuka puasa. Kenalan saya itu seorang
perempuan Malaysia bernama Dina Zaman, yang di negerinya dikenal sebagai
kolumnis dan penulis buku kontroversial I Am Muslim. Dia tiba-tiba menyapa.
Dia mengeluhkan situasi di Malaysia saat ini. Lalu saya bertanya,
apakah mereka membutuhkan kebebasan lebih banyak? Sebab, di sini kebebasan
justru membuat orang jadi gila. Dia bilang tidak. Yang mereka butuhkan adalah
leadership, katanya. Kepemimpinan.
Kalau begitu sama, saya bilang. Kami di sini sedang menghadapi pemilihan
presiden dan kami butuh pemimpin yang hebat.
Namun, di situlah masalahnya. Tidak semua penguasa punya jiwa
kepemimpinan. Lebih buruk lagi, tidak semua pemegang kekuasaan layak disebut
pemimpin. Banyak petinggi yang berjiwa "majikan" atau
"pejabat" yang bersikap bossy.
Mereka memperlakukan anak buah dan orang banyak sebagai orang yang lebih
rendah derajatnya (subordinate)
sehingga pantas diperintah atau dijadikan obyek kekuasaan.
Apakah beda substansial antara pejabat dan pemimpin?
Menurut para pakar manajemen, seorang pejabat (bos) menciptakan rasa
takut dalam diri anak buahnya, sedangkan pemimpin membangun kepercayaan.
Pejabat mengandalkan kekuasaan, pemimpin mengandalkan kerja sama. Pejabat
menyalahkan anak buahnya, pemimpin menyelesaikan masalah dan memperbaiki
kesalahan. Pejabat hanya pandai berbicara, sedangkan pemimpin cakap dalam
bertindak.
Dalam kecamuk pemilihan presiden RI kali ini, kita merindukan hadirnya
seorang pemimpin yang mampu membawa bangsa ini lepas dari segenap persoalan,
bukan seorang pejabat yang sekadar berambisi menjadi penguasa. Kita
membutuhkan orang yang mau mendengarkan, berempati, memiliki manajemen
perencanaan yang baik, mau berdiri di depan untuk mengeksekusi rencana itu,
dan mengawal pelaksanaannya hingga tuntas.
Bagi orang semacam itu, seperti halnya Presiden Jose Mujica di Uruguay,
formalitas tak penting lagi. Maka dia tak sungkan pergi ke kantornya dengan kemeja
kasual, bersandal, dan mengendarai sendiri mobil VW tuanya. Sebab, baginya
seorang presiden adalah pelayan rakyat banyak yang harus bekerja untuk
bangsanya, bukan pejabat sok kuasa yang boleh bertingkah bagai raja.
Kita butuh pemimpin yang manusiawi. Rakyat sudah muak dengan segenap
kekisruhan politik dan kleptokrasi. Rakyat ingin perubahan. Tentu bukan sosok
presiden sempurna yang kita harapkan, melainkan pemimpin yang memiliki mata
hati sehingga mampu melihat persoalan dengan jernih dan bisa mengajak bangsa
ini bekerja dengan antusias mewujudkan cita-cita bersama. Sebab, seperti
selarik puisi Rendra, "Perjuangan
adalah pelaksanaan kata-kata." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar