Sabtu, 12 Juli 2014

Pemimpin

                                                                Pemimpin

Anton Kurnia  ;   Esais, Editor-in-Chief Penerbit Serambi, Jakarta
KORAN TEMPO, 08 Juli 2014

                                                                                                                       


"Presiden adalah pejabat tinggi yang dipilih untuk melaksanakan suatu fungsi. Dia bukan raja, juga bukan dewa. Dia pun bukan dukun sakti yang tahu segalanya. Dia adalah pelayan rakyat. Cara hidup ideal seorang presiden adalah hidup seperti sebagian besar rakyat yang harus dilayaninya," kata Jose Mujica, Presiden Uruguay, saat ditanya soal jabatan presiden dan gaya hidupnya yang terkenal sederhana.

Terkait dengan soal pemilihan presiden yang akan berlangsung pada 9 Juli ini, saya teringat lagi kutipan menarik itu. Saya juga jadi teringat pada obrolan iseng saya lewat fasilitas chat di Facebook beberapa hari lalu dengan seorang kenalan yang sudah lama tak berjumpa.

Sore itu menjelang waktu berbuka puasa. Kenalan saya itu seorang perempuan Malaysia bernama Dina Zaman, yang di negerinya dikenal sebagai kolumnis dan penulis buku kontroversial I Am Muslim. Dia tiba-tiba menyapa.

Dia mengeluhkan situasi di Malaysia saat ini. Lalu saya bertanya, apakah mereka membutuhkan kebebasan lebih banyak? Sebab, di sini kebebasan justru membuat orang jadi gila. Dia bilang tidak. Yang mereka butuhkan adalah leadership, katanya. Kepemimpinan. Kalau begitu sama, saya bilang. Kami di sini sedang menghadapi pemilihan presiden dan kami butuh pemimpin yang hebat.

Namun, di situlah masalahnya. Tidak semua penguasa punya jiwa kepemimpinan. Lebih buruk lagi, tidak semua pemegang kekuasaan layak disebut pemimpin. Banyak petinggi yang berjiwa "majikan" atau "pejabat" yang bersikap bossy. Mereka memperlakukan anak buah dan orang banyak sebagai orang yang lebih rendah derajatnya (subordinate) sehingga pantas diperintah atau dijadikan obyek kekuasaan.

Apakah beda substansial antara pejabat dan pemimpin?

Menurut para pakar manajemen, seorang pejabat (bos) menciptakan rasa takut dalam diri anak buahnya, sedangkan pemimpin membangun kepercayaan. Pejabat mengandalkan kekuasaan, pemimpin mengandalkan kerja sama. Pejabat menyalahkan anak buahnya, pemimpin menyelesaikan masalah dan memperbaiki kesalahan. Pejabat hanya pandai berbicara, sedangkan pemimpin cakap dalam bertindak.

Dalam kecamuk pemilihan presiden RI kali ini, kita merindukan hadirnya seorang pemimpin yang mampu membawa bangsa ini lepas dari segenap persoalan, bukan seorang pejabat yang sekadar berambisi menjadi penguasa. Kita membutuhkan orang yang mau mendengarkan, berempati, memiliki manajemen perencanaan yang baik, mau berdiri di depan untuk mengeksekusi rencana itu, dan mengawal pelaksanaannya hingga tuntas.

Bagi orang semacam itu, seperti halnya Presiden Jose Mujica di Uruguay, formalitas tak penting lagi. Maka dia tak sungkan pergi ke kantornya dengan kemeja kasual, bersandal, dan mengendarai sendiri mobil VW tuanya. Sebab, baginya seorang presiden adalah pelayan rakyat banyak yang harus bekerja untuk bangsanya, bukan pejabat sok kuasa yang boleh bertingkah bagai raja.

Kita butuh pemimpin yang manusiawi. Rakyat sudah muak dengan segenap kekisruhan politik dan kleptokrasi. Rakyat ingin perubahan. Tentu bukan sosok presiden sempurna yang kita harapkan, melainkan pemimpin yang memiliki mata hati sehingga mampu melihat persoalan dengan jernih dan bisa mengajak bangsa ini bekerja dengan antusias mewujudkan cita-cita bersama. Sebab, seperti selarik puisi Rendra, "Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar