Kartu
Jakarta Pintar dan Ketimpangan
Arie Anshory Yusuf ; Pengamat Ekonomi
|
KORAN
TEMPO, 09 Juli 2014
Selama satu dekade terakhir, ketimpangan di Indonesia meningkat pesat.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Indeks Gini, indikator standar
ketimpangan, sudah menyentuh angka 0,41 sejak 2011. Angka tersebut merupakan
yang tertinggi yang pernah tercatat dalam sejarah Indonesia. Saat ini, rakyat
Indonesia hidup di dalam masyarakat yang 25 persen lebih timpang dibanding
kondisi sepuluh tahun lalu.
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta merupakan salah satu provinsi yang
paling timpang di Indonesia. Berdasarkan data BPS, pada 2013 Indeks Gini
Jakarta tercatat sebesar 0,43, jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional.
Selama 11 tahun terakhir (2002-2013), Indeks Gini Jakarta meningkat sebesar 3
persen per tahun. Dalam literatur ekonomi pembangunan, Indeks Gini adalah
salah satu indikator yang perubahannya memakan waktu lama. Kenaikan 3 persen
per tahun cukup signifikan.
Faktor yang mempengaruhi peningkatan ketimpangan tersebut bisa beragam.
Tapi satu faktor yang penting adalah keberpihakan anggaran negara. Semakin sedikit
alokasi pengeluaran pemerintah, baik pusat maupun daerah, dinikmati oleh
kalangan bawah, masyarakat akan semakin timpang. Dan semakin banyak alokasi
anggaran dinikmati kaum menengah atas, ketimpangan akan semakin tinggi.
Peran negara yang paling hakiki dalam sebuah sistem ekonomi pasar
seperti yang dianut di Indonesia adalah peran distribusi. Negara bisa
menerapkan pajak progresif dari segi penerimaan dan melakukan transfer kepada
rakyat yang kurang beruntung dari segi pengeluaran. Intinya, kebijakan fiskal
(anggaran) merupakan kekuatan utama negara untuk menegakkan keadilan ekonomi.
Sudahkah anggaran negara di Indonesia menjalankan peran seperti itu?
Sepertinya tidak. Data APBN 2013, misalnya, menunjukkan penerimaan pajak
penghasilan (PPh) masyarakat (Pasal 21) mencapai Rp 102 triliun. Sementara
itu, subsidi BBM pada tahun yang sama berjumlah Rp 199 triliun. Studi
menunjukkan 70 persen subsidi tersebut (Rp 140 triliun) dinikmati 40 persen
golongan terkaya. Pada saat yang sama, anggaran bantuan sosial hanya Rp 82
triliun. Artinya, orang kaya justru dibayari oleh negara, dan orang miskin
tidak memperoleh alokasi fiskal semestinya. Negara tidak menjalankan fungsi
redistribusinya. Wajar saja jika Indonesia semakin lama semakin timpang.
Salah satu program pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Daerah DKI
Jakarta, yang mempunyai potensi mengurangi ketimpangan adalah program Kartu
Jakarta Pintar (KJP). Program KJP, atau yang secara resmi disebut program
Pemenuhan Kebutuhan Biaya Personal Siswa Miskin (BPSM), menggelontorkan
anggaran Rp 804 miliar per tahun (2013) untuk mensubsidi pengeluaran
kebutuhan siswa miskin di Ibu Kota. Subsidi ini dapat digunakan oleh siswa
miskin untuk belanja kebutuhan transportasi, buku dan alat tulis, baju,
sepatu, bahkan tambahan makanan dan minuman.
Dari segi besarannya, program KJP ini cukup masif karena ditargetkan
untuk diberikan kepada 332.465 siswa miskin atau 20 persen dari seluruh siswa
sekolah dasar dan menengah di Jakarta. Nilai nominalnya pun relatif cukup
besar. Belanja bulanan kelompok rumah tangga 20 persen termiskin di Jakarta,
misalnya, mencapai Rp 1,4 juta per bulan (Susenas,
2012). Jika mereka mempunyai dua anak yang bersekolah di SD, berarti
program KJP mengurangi beban sebesar Rp 360 ribu atau 26 persen dari total
pengeluarannya.
Dengan kondisi ketimpangan yang tinggi di Jakarta, program KJP sangat
berpotensi mengurangi ketimpangan tersebut. Tapi, dampak program ini terhadap
ketimpangan, sepanjang pengetahuan penulis, belum pernah diestimasi. Tulisan
ini mencoba untuk melakukan perhitungan tersebut.
Dengan menggunakan data Susenas 2012, yaitu data baseline di mana
program KJP belum diimplementasikan, penulis melakukan simulasi program KJP
dan menghitung dampak program tersebut terhadap indikator ketimpangan, yaitu
Indeks Gini DKI Jakarta. Hasil pengurangan ketimpangan yang akan dihitung
merupakan potensi pengurangan ketimpangan yang pada realisasinya bergantung
pada banyak hal, seperti kebocoran dan ketidaksempurnaan lainnya.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa program KJP berpotensi mengurangi
ketimpangan (Indeks Gini) sebesar 1,6 persen. Mengingat rata-rata setiap
tahun Indeks Gini Jakarta naik 3 persen, pengurangan 1,6 persen itu bisa
dikatakan spektakuler. Itu artinya, besarnya kenaikan ketimpangan per tahun di Jakarta setengahnya bisa diredam oleh
program KJP. Memperhitungkan kebocoran pun (seperti hasil studi ICW sebesar
19 persen), dampak pengurangan ketimpangannya tetap terasa signifikan.
Perlu juga dicatat bahwa dampak tersebut sifatnya hanyalah immediate
impact, yaitu dampak yang dirasakan melalui peningkatan daya beli dari
masyarakat miskin. Dampak tidak langsungnya melalui peningkatan kualitas
sumber daya insani (human capital)
dari masyarakat miskin tentunya juga akan mengurangi ketimpangan ekonomi di
masa yang akan datang.
Contoh tersebut merupakan best practices dari pengelolaan anggaran yang
berorientasi keadilan. Rasanya, satu contoh cukup untuk membuktikan bahwa
dengan kepemimpinan yang konsisten dan gigih memihak kepada rakyat, Indonesia
bukan hanya bisa lebih makmur, tapi lebih adil di masa yang akan datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar