Sabtu, 12 Juli 2014

Merawat Demokrasi

                                                 Merawat Demokrasi

Yonky Karman  ;   Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
KOMPAS, 12 Juli 2014
                                                


EDITORIAL  The Economist (1-7 Maret 2014) mempersoalkan apa yang salah dengan demokrasi. Menurut Freedom House, sebuah think tank di Amerika, demokrasi adalah gagasan politik paling sukses pada abad ke-20.

Antara tahun 1980 dan 2000 hanya sedikit proyek demokrasi yang gagal. Tercatat 120 negara demokrasi, sebanyak 63 persen dari seluruh negara di dunia. Namun, sejak tahun 2000, semakin banyak eksperimen berdemokrasi yang gagal dan beralih kepada otokrasi. Demokrasi berjalan mundur di Mesir, Libya, Irak, Venezuela, dan Ukraina. Pemilihan presiden secara demokratis ternyata tidak begitu saja mendekatkan bangsa kepada cita-cita konstitusi.

Perangkap demokrasi

Demokrasi bermula dari sebuah cita-cita masyarakat prademokratis untuk menjadi lebih sejahtera dan adil. Demokrasi juga sebuah jalan berkuasa berdasarkan legitimasi pilihan mayoritas rakyat. Namun, demokrasi tidak boleh berhenti pada cita-cita dan prosedur meraih kekuasaan. Ia juga harus membuat negara menjadi kuat menentukan kebijakannya sendiri, tanpa didikte kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan konstitusi. Negara berdaulat dalam ekonomi dan kekayaan yang dimilikinya.

Meski dipilih rakyat, presiden dapat lebih mendengarkan suara kapitalis lokal dan global. Pasalnya, mereka ikut menjalankan sebagian fungsi negara dalam menyediakan lapangan kerja dan menyejahterakan rakyat melalui tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

Sebagai kompensasinya, negara memberikan syarat-syarat lebih ringan bagi kepentingan bisnis mereka. Di sinilah kecerdasan politik sang pemimpin dibutuhkan untuk menjinakkan kapitalisme agar manfaat demokrasi tidak diambil alih para kapitalis (Hertz, Silent Takeover and the Death of Democracy, 2002).

Demokrasi memang tidak bisa jalan sendiri. Rahim demokrasi dapat melahirkan pemimpin otoriter, sektarian, korup, atau inkompeten, yang pada gilirannya melemahkan sendi-sendi berbangsa dan bernegara. Suara rakyat tidak selalu identik dengan suara Tuhan. Hal itu terlihat dari tiadanya korelasi langsung antara pemilu demokratis dan tata kelola pemerintahan.

Indonesia hanya sebuah contoh. Praktik korupsi tetap marak. Itu tak terpisahkan dari penyelenggara negara yang membiarkan ekonomi bangsa tersandera. Regulasi dibuat tak menguntungkan bagi kemandirian ekonomi. Elite demokrasi menikmati rente dari ekonomi yang tersandera. Banyak pejabat kita bersumpah jabatan untuk jadi pemimpin yang amanah, tetapi kinerjanya ternyata lebih kecil daripada tanggung jawabnya yang besar.

Kepemimpinan nasional juga tersandera politik oligarki. Presiden tidak cukup kuat untuk keluar dari sandera parlemen dan pragmatisme politik. Dalam konteks pemilu, masyarakat dibiarkan hanyut dalam hiruk-pikuk perang informasi dan disinformasi serta kampanye negatif dan kampanye hitam. Ruang kebebasan berpendapat dimanfaatkan seluas-luasnya bukan untuk mencerdaskan masyarakat, melainkan efeknya malah mendangkalkan substansi demokrasi. Fanatisme terbentuk dan membuat orang tidak lagi peduli apakah calon yang dipilihnya memang terbaik secara obyektif.

Demikian demokrasi dirusak oleh elite politik, mereka yang sebenarnya produk demokrasi. Mereka sebenarnya memiliki utang demokrasi yang harus dibayar melalui kepemimpinan pro-demokrasi. Namun, setelah berhasil mengapitalisasi dukungan rakyat dan berkuasa, rakyat pun ditinggalkan.

Itu sebabnya tiada korelasi antara demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Demokrasi mengalami pendangkalan, hanya sebatas prosedural, tanpa penguatan hak dan institusi demokratis yang menjadi prasyarat masyarakat adil sejahtera.

Mengawal demokrasi

Usia demokrasi kita masih muda. Untuk menghasilkan pemimpin yang lebih baik dari masa ke masa, demokrasi harus dipupuk dan didewasakan.

Pemilu sejatinya sebuah batu ujian demokrasi apakah yang terpilih adalah pemimpin berintegritas yang mampu membumikan nilai-nilai demokrasi. Mesin demokrasi harus digerakkan oleh pemimpin yang menghayati nilai-nilai demokrasi dalam konsep dan laku, dalam praktik berbangsa dan bernegara.

Pengawal demokrasi yang pertama seharusnya pemerintah yang pemimpinnya terpilih secara demokratis. Dengan kepemimpinan yang kuat dan berintegritas, presiden selayaknya menjadi pemimpin demokrasi dengan sosok dan kepemimpinan lintas partai. Dengan begitu, pemimpin pada level lebih rendah akan mengikuti jejaknya.

Netralitas tidak cukup dengan imbauan, tetapi harus berbentuk ketegasan menindak praktik-praktik politik yang mencederai demokrasi. Peran para penyelenggara pemilu yang benar-benar netral dan tegas menjadi sangat penting, terutama di tingkat Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara di desa dan daerah. Itulah warisan politik yang penting dari pemerintahan lama.

Namun, itu belum cukup. Rakyat sendiri harus mengawal langsung pelaksanaan pemilu agar suara mereka tak dimanipulasi elite penumpang gelap demokrasi. Ada juga bagian dari birokrasi yang memiliki kepentingan mempertahankan status quo. Dalam situasi itu, rakyat masih harus ikut merawat demokrasi agar pemimpin yang terpilih lebih baik daripada sebelumnya.

Presiden terpilih haruslah sosok yang tidak membuat perjalanan demokrasi di Indonesia berjalan mundur. Dia pemimpin demokrasi yang mewakafkan hidupnya untuk rakyat (demos). Kesejahteraan dan keadilan rakyat adalah ikhtiarnya. Ia tidak memberi toleransi bagi korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dia bukan pemimpin koalisi. Kalau koalisi berarti politik dagang sapi yang mengkhianati kepercayaan rakyat. Dia juga bukan petugas partai. Kalau politik partai berbenturan dengan kehendak rakyat. Pemilu bebas, jujur, adil, dan bersih merupakan bagian dari merawat demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar