Sabtu, 12 Juli 2014

Jiwa Besar

                                                               Jiwa Besar

M Subhan SD  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 12 Juli 2014
                                                


KETIKA tim ”Samba” Brasil dipermalukan oleh Jerman dengan skor telak 7-1 di depan publik sendiri, Presiden Brasil Dilma Rousseff sangat bersedih: kekalahan itu melampaui semua mimpi buruk yang pernah dialami. Namun, kekalahan tragis sepanjang sejarah itu tak lantas membuat rakyat Brasil kalap. Tak ada boikot, tak ada kerusuhan. Piala Dunia 2014 di negeri ”Samba” itu terus berlangsung normal, damai, dan penuh suka cita. Menjunjung fair play ternyata lebih penting ketimbang kemenangan itu sendiri.

Seperti rakyat Brasil, kita pun telah menunjukkan sikap fair pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 yang digelar beberapa jam pasca kekalahan Brasil, Rabu (9/7) lalu. Pilpres aman-aman saja. Siapa bilang bangsa ini tidak dewasa dalam berpolitik. Terlebih lagi di tengah atmosfer pilpres kali ini yang terasa lain. Kontestasinya sangat sengit, dan rivalitasnya sangat terbuka. Ini karena hanya ada dua pasangan yang bertarung head to head: Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (nomor urut 1) versus Joko Widodo-Jusuf Kalla (nomor urut 2). Posisinya hanya ada kalah-menang, zero-sum game. Memang, hasil resmi diputuskan Komisi Pemilihan Umum pada 22 Juli mendatang, tetapi hasil hitung cepat (quick count) sudah sama-sama kita ketahui.

Delapan lembaga survei menyebutkan pasangan Jokowi-JK unggul. Mereka adalah RRI (Prabowo-Hatta 47,29 persen dan Jokowi-JK 52,71 persen), Litbang Kompas (47,66: 52,34), SMRC (47,09: 52,91), CSIS-Cyrus (48,00: 52,00), Lingkaran Survei Indonesia (46,56: 53,44), Indikator Politik Indonesia (47,06: 52,94), Poltracking Institute (46,63: 53,37), dan Populi Center (49,05: 50,95). Sebaliknya, empat lembaga mengunggulkan Prabowo-Hatta. Mereka adalah Puskaptis (Prabowo-Hatta 52,05: Jokowi-JK 47,95), Jaringan Suara Indonesia (50,14: 49,86), Lembaga Survei Nasional (50,56: 49,44), dan Indonesia Research Centre (51,11: 48,89).

Dualisme hasil hitung cepat itu membuat rakyat terbelah. Masing-masing kubu merasa menang. Namun, tak perlu bingung, hasil survei bisa berbeda jika metodologinya beda. Padahal, bukan baru kali ini kita melakukan hitung cepat dalam pemilihan langsung. Mungkin ada ratusan hasil hitung cepat lembaga-lembaga survei, mulai pemilihan kepala daerah (pilkada) di tingkat kabupaten/kota hingga provinsi, serta berulang kali dalam pemilihan anggota legislatif (pileg), sampai pilpres sejak periode-periode sebelumnya. Secara empirik, bukan kali ini saja kita percaya hasil hitung cepat yang kredibel.

Mari kita lihat fakta. Hasil hitung cepat yang digelar lembaga pemerintah, yaitu RRI pada pileg lalu menunjukkan Nasdem meraih suara 6,68 persen, PKB (9,43), PKS (6,61), PDI-P (18,65), Golkar (14,87), Gerindra (11,40), Demokrat (10,26), PAN (7,61), PPP (6,52), Hanura (5,41), PBB (1,60), dan PKPI (0,97). Bandingkan dengan hasil real count KPU: Nasdem (6,7 persen), PKB (9,04), PKS (6,7), PDI-P (18,95), Golkar (14,75), Gerindra (11,81), Demokrat (10,19), PAN (7,59), PPP (6,53), Hanura (5,26), PBB (1,46), dan PKPI (0,91). Komparasikan juga dengan hasil hitung cepat Litbang Kompas: Nasdem (6,69 persen), PKB (9,11), PKS (6,97), PDI-P (19,25), Golkar (14,97), Gerindra (11,79), Demokrat (9,35), PAN (7,55), PPP (6,71), Hanura (5,13), PBB (1,51), dan PKPI (0,97). Itu hanya sedikit contoh.

Keraguan pada hitung cepat tentu tidak menihilkan kepercayaan pada hasil hitung cepat. Sebab, akurasi dan presisi menjadi kata kunci dalam setiap hitung cepat. Lembaga-lembaga survei yang berpengalaman tentu takkan mengorbankan kredibilitasnya. Hitung cepat yang dilandasi dengan dasar-dasar ilmiah sesungguhnya membantu kita untuk mengetahui hasil pemilihan lebih cepat, atau bisa menjadi alat kontrol terhadap praktik-praktik curang. Di jagat ilmiah, kesalahan bukan dosa. Yang terlarang adalah bohong dan manipulatif.

Saat Pileg 9 April lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono begitu cepat merespons soal parpol pemenang pileg. ”Saya ucapkan selamat kepada partai yang mencapai suara tinggi, PDI-P, Golkar, dan Gerindra,” kata Yudhoyono di Puri Cikeas Indah, Bogor, Rabu (9/4) malam (Kompas, 10/4). Nah, jika respons hasil hitung cepat pilpres berbeda, mungkin kita memaknai Presiden sebagai pihak yang menaungi seluruh rakyat, bukan menutup mata pada fakta. Begitu juga Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie yang justru pertama mengucapkan selamat kepada PDI-P. ”Kami melihat kemenangan PDI-P berdasarkan hasil quick count dari beberapa lembaga,” ujar Aburizal kala itu.

Tak perlu bingung. Inilah politik Bung! Asalkan rakyat makin dewasa berpolitik, itu sudah menggembirakan karena demokrasi akan makin bergairah. Rakyat tahu, mana parpol bersih dan mana parpol kotor. Rakyat tahu, mana politisi busuk, mana politisi amanah. Nanti juga akan kelihatan ”mana loyang, mana emas”. Ketika pilpres mengundang kontroversi akibat perbedaan hasil hitung cepat, tunggu saja hasil real count KPU, yang diharapkan bekerja jujur dan tak ”masuk angin”. Jangan ada kecurangan atau manipulasi suara rakyat. Pemerintah, meski partainya berkoalisi ke salah satu kubu, sewajibnya mengawal suara rakyat. Polisi dan tentara juga wajib mengawal suara rakyat. Sebab, polisi-tentara adalah alat negara, bukan alat politik.

Apalagi sekarang Ramadhan, bulan terbaik. Bersihkan pikiran, beningkan jiwa. Lebih elok elite politik banyak puasa bicara daripada berkoar-koar menjadi ”kompor”. Hentikan segala caci-maki, hasutan, fitnah yang menyesakkan atmosfer dunia riil dan dunia maya sejak menjelang pilpres. Semua pihak menahan diri. Pada akhirnya, kubu yang kalah mesti legawa, dan lebih penting lagi pihak yang menang tanpa ngasorake (menang tanpa merendahkan).

Seperti sepak bola, pilpres juga adalah kemenangan dan kekalahan. ”Itu bagian dari permainan. Mampu mengatasi kekalahan, saya pikir merupakan ciri khas dari sebuah tim nasional utama dari sebuah negara besar,” ujar Rousseff pasca kekalahan tragis tim Samba. Kata filsuf Socrates (470 SM-399 SM), puncak kebajikan (virtue) manusia adalah mereka yang menggunakan akal budinya (reason) dan kemudian mampu mengontrol hawa nafsu (desire) dan semangat (spirit). Dan, sekarang kita membutuhkan jiwa-jiwa besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar