Selasa, 01 Juli 2014

Melunasi Utang Sejarah

Melunasi Utang Sejarah

Sindhunata ;  Wartawan Senior, Pemimpin Redaksi Majalah ‘Basis Yogyakarta
KOMPAS, 30 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
JERMAN dijagokan. Namun, menghadapi Aljazair dalam perdelapan final Piala Dunia Brasil 2014 di Porto Alegre, Senin (30/6) pukul 17.00 waktu setempat atau Selasa (1/7) dini hari WIB, mereka bukannya tidak waswas. Sebab, statistik mencatat, dua kali Jerman bertemu Aljazair, dua kali pula mereka kalah.
Melawan negara mana pun, Jerman nyaris tak pernah berprestasi seburuk itu.

Awal Januari 1964, kesebelasan Jerman di bawah pelatih legendaris Sepp Herberger melawat ke Aljazair. Sebelumnya, mereka mampir di Maroko dan mengalahkan kesebelasan tuan rumah, 4-1. Meski hanya laga persahabatan, Herberger memberlakukan disiplin keras: pukul 22.00 para pemain sudah harus ke tempat tidur. Waktu itu, Jerman punya penyerang tengah tangguh, Wolfgang Overath. Mereka yakin dapat dengan mudah mengalahkan Aljazair. Ternyata Jerman dilumat 0-2.

Prestasi buruk itu disusul dengan pertemuan keduanya di babak penyisihan Grup B Piala Dunia Spanyol 1982. Jerman datang dengan segudang pemain hebat: tandem penyerang Bayern Muenchen, Paul Breitner dan Karl-Heinz Rummenigge, libero Uli Stielike, gelandang Felix Magath dan Horst Hrubesch.

”Kami akan menyarangkan 4 sampai 8 gol,” kata kiper Toni Schumacher. Bahkan, pelatih Jupp Derwall pun memandang enteng Aljazair. ”Kalau sampai kalah dari Aljazair, saya akan segera naik kereta pertama untuk pulang ke rumah,” kata Derwall.

Jerman ternyata bermain buruk. Breitner kehilangan ide, seakan pikirannya berada di luar lapangan. Magath, gelandang Hamburg yang brilian, tak menunjukkan kehebatannya. Di luar perkiraan mereka, Aljazair bermain luar biasa.

Dalam satu serangan balik tak terduga di menit ke-52, Rabah Madjer membobol gawang Schumacher. Rummenigge menyamakan kedudukan 18 menit kemudian. Namun, di menit ke-88, gawang Jerman kembali dibobol oleh kapten Aljazair, Belloumi.

Jerman dipermalukan Aljazair 1-2. ”Juara dunia mulut besar,” tulis Hamburger Morgenpost mengejek Rummenigge dan kawan-kawannya. ”Jerman tidak menunjukkan respek kepada kami. Itu sungguh menyakitkan. Karena itu, kami bangga dengan kemenangan ini,” kata Khalef, pelatih Aljazair.

Begitulah. Jerman jatuh karena kesombongannya sendiri.

Reputasi Jerman runtuh. Celakanya, reputasi yang runtuh itu diperparah dengan ulah mereka yang kian tidak menunjukkan respek kepada Aljazair. Mereka ”main mata” dengan Austria dalam pertandingan menentukan di Giyon yang membuat Aljazair tersingkir. Itulah peristiwa memalukan yang dikenal sebagai ”skandal Giyon”.

Aib Giyon itu tak akan terlupakan oleh orang-orang Aljazair. ”Kami tidak pernah melupakannya. Giyon. Jerman. Itu selalu ada dalam benak kami. Sepanjang waktu kami membicarakan pertandingan itu. Peristiwa itu sudah lama terjadi, tetapi setiap orang Aljazair tahu apa yang sesungguhnya terjadi,” kata pelatih Aljazair Vahid Hallihodzic.

Menurut Hallidodzic, ketika melawan Rusia di babak penyisihan, anak-anaknya menunjukkan permainan luar biasa. Saat melawan Jerman nanti, mereka bertekad menunjukkan permainan lebih dari luar biasa. Betapapun Aljazair gembira lolos ke babak 16 besar. Apalagi, mereka bertemu Jerman. ”Aljazair-Jerman, betapa semuanya terulang kembali,” tulis koran Aljazair, La Gazette du Fennecs.

Revanche atau pembalasan selalu ada dan tersimpan dalam sejarah, apalagi dalam sejarah bola. Malah dapat dikatakan sejarah sering ”berutang” kepada revanche. Karena skandal Giyon, sejarah bola telah ”berutang” pada Aljazair. Maka, ”Rubah Padang Gurun”, julukan kesebelasan Aljazair, ingin agar utang itu dilunasi kini. Dulu mereka menang atas Jerman, tetapi karena dipermainkan skandal Giyon, mereka jadi terpecundang. Sekarang mereka ingin merenggut kembali kemenangan itu sebagai kemenangan, bukan sebagai keterpecundangan karena sebuah permainan kotor.

Hallidodzic meyakinkan anak-anaknya bahwa mereka bisa merebut kemenangan itu. ”Ada banyak cinta yang diberikan untuk kesebelasan kami,” katanya. ”Kami kecil melawan Jerman yang besar. Orang-orang Brasil pasti memihak kami. Sementara itu, hari-hari akhir ini kami mendapat kabar seluruh dunia Arab bersimpati pada kami. Untuk tidak mengecewakan mereka, kami akan bermain sebaik mungkin,” ujarnya.

Hallidodzic juga tak mau terganggu oleh pertanyaan pers apakah anak-anaknya berpuasa, apakah puasa tidak mengurangi stamina mereka? Bagi Hallidodzic, itu semua adalah persoalan suara hati masing-masing orang. ”Kami tidak bicara politik atau agama. Jelas? Ini soal sport. Cukup,” kata Hallidodzic.

Dengan belajar dari duel Cile-Brasil, Sabtu (28/6), anak-anak Hallidodzic kiranya makin mengasah keyakinan: yang kecil mungkin saja mengalahkan yang besar. ”Pemain saya telah memberontak. Memberontak melawan sejarah dan melawan kesebelasan besar dalam Piala Dunia ini. Memang menyakitkan bahwa akhirnya kami harus pulang dengan cara ini,” kata pelatih Cile Jorge Sampaoli.

Aljazair kiranya juga akan memberontak terhadap sejarah. Sebab, dengan skandal Giyon, sejarah telah memperlakukan mereka dengan tidak adil. Sejarah harus membayar utang pada mereka. Itulah motivasi tambahan yang dikhawatirkan Jerman. ”Sungguh suatu skandal jika kami tidak lolos ke delapan besar,” kata kiper Jerman, Manuel Neuer, dalam der Tagesspiegel.

Tiga puluh dua tahun lalu di Giyon, Aljazair melumat Jerman. Adakah peristiwa Daud mengalahkan Goliat itu akan menjadi kenangan belaka atau mewujud sebagai lunasnya utang sejarah di Porto Alegre?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar