Bidik
Misi, Penyambung Harapan si Papa
Ahmad
Baedowi ; Direktur Pendidikan
Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Juni 2014
TIDAK terasa, hampir genap 10
tahun pe merintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan berakhir. Biasanya
seseorang yang sudah tidak lagi menjabat hampir sama nasibnya dengan orang
yang wafat, selalu dikenang kebaikannya setelah mereka tiada. Saya yakin jika
dalam konteks tertentu kita harus membandingkan pemerintahan SBY dengan
penggantinya, barulah orang akan sadar ternyata banyak juga kontribusi yang
telah ditorehkan SBY, salah satunya ialah program beasiswa bagi siswa kurang
mampu, yaitu Bidikmisi.
Sebagai sebuah program yang
memiliki nilai kemanusiaan tinggi, Bidikmisi dilakukan pertama kali pada 2010
ketika Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) kedua diminta merumuskan program 100
hari pertama bidang pendidikan. Alasannya sederhana, yaitu berdasarkan data
2007 jumlah mahasiswa dari keluarga tidak mampu yang melanjutkan ke jenjang
pendidikan tinggi hanya 1,4% dari total lulusan sekolah menengah yang
melanjutkan ke perguruan tinggi. Angka itu jelas memerlukan affirmative action yang tepat guna mem
bantu mereka yang kurang beruntung. Alhasil, setelah hampir empat tahun
program berjalan, hasilnya sungguh membanggakan, mahasiswa dari keluarga
tidak mampu ternyata banyak yang lulus dengan nilai sangat memuaskan (cum laude).
Hingga 2013, program Bidikmisi
telah dinikmati kurang lebih 149.180 mahasiswa yang tersebar pada 98
perguruan tinggi negeri dan 590 perguruan tinggi swasta. Memasuki tahun
kelima, program Bidikmisi diakui merupakan salah satu program terobosan
paling konkret dari pemerintahan SBY yang diharapkan terus dilanjutkan
presiden mendatang. Tentu saja koreksi dan evaluasi tetap diperlukan,
sepanjang tujuan program ialah membantu mahasiswa kurang mampu agar bisa
menggapai cita-cita mereka yang seolah mustahil karena ketiadaan biaya
kuliah.
Sebagian besar peserta program
Bidikmisi membuat testimoni yang mengharukan karena bagi mereka, memperoleh
kesempatan kuliah di perguruan tinggi merupakan anugerah tak terkira. Harapan
untuk memutus mata rantai kemiskinan benar-benar bisa dilakukan karena
rata-rata penerima beasiswa Bidikmisi memiliki motivasi yang lebih daripada
mahasiswa biasanya. Modal itulah yang diharapkan akan mampu memberikan
sumbangan terhadap masa depan Indonesia yang lebih baik.
Pelayanan negara
Selain Bidikmisi, ada juga
program sarjana mengajar di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (SM-3T).
Dimulai pada 2011, sebanyak 2.479 sarjana pendidikan dikirim ke daerah 3T
dalam rangka memberikan bukan hanya pengalaman mengajar yang baik, melainkan
lebih dari itu untuk meningkatkan kecintaan para calon guru terhadap
keanekaragaman etnik dan budaya sekaligus mengasah kepedulian terhadap
masyarakat pedala man yang kurang beruntung. Selain itu, secara yuridis
program SM-3T penting dalam rangka memenuhi tuntutan UUD 1945, yakni negara
harus memberikan layanan kepada seluruh rakyat, termasuk layanan wajib
pendidikan.
Efek psikologis dari program itu
sangat nyata, 78% sarjana yang telah dikirim selama setahun untuk mengajar di
daerah terdepan, terluar, dan tertinggal, menyatakan kesiapan mereka untuk
dikirim kembali ke daerah tempat mereka mengajar sebagai bentuk kecintaan dan
tanggung jawab terhadap anak-anak di daerah 3T. Meskipun pada awalnya program
itu hanya diniatkan untuk solusi antara dari kurangnya jumlah guru di daerah
3T, ke depan skenario dan mekanisme jenis itu harus dimasukkan ke sistem
kurikulum LPTK secara resmi. Luasnya Indonesia disertai dengan beragamnya
etnik dan budaya membuat program tersebut layak untuk diteruskan dengan skema
pembiayaan yang juga harus memadai.
Akhirnya, presiden mendatang
jelas harus bekerja lebih keras untuk memikirkan ragam jenis program
pendidikan secara baik. Pendidikan harus memiliki roadmap yang jelas dan
komprehensif, mulai desain perencanaan yang detail hingga proses implementasi
yang bisa diukur. Meminjam kata-kata HG Wells, “History is a race between education and catastrophe.“ Jelas SBY
pun ingin dikenang sebagai salah satu presiden yang menancapkan tonggak
program pendidikan seperti Bidikmisi dan SM-3T bagi mahasiswa kurang mampu
yang jumlahnya jutaan.
Ada banyak anak yang kurang
beruntung dalam hal pendidikan. Mereka gagal tidak hanya karena faktor sistem
yang tidak menempatkan anak sebagai pusat perhatian, tetapi banyak juga
kegagalan dibentuk oleh kelemahan program yang tidak peduli terhadap
kemiskinan. Karena itu, jelas sekali bahwa Bidikmisi dan SM-3T, dalam
diaspora yang sangat luas, memang memberi banyak kesempatan dan peluang bagi
masa depan anak-anak kurang mampu. Jika kesetaraan adalah fitrah yang secara
normatif merupakan kebutuhan manusia secara keseluruhan, benar adanya jika
UUD 1945 telah menyebutnya secara kasatmata.
Baker (2004) dalam Equality: From Theory to Action
memberi banyak inspirasi dalam menafsirkan makna kesetaraan. Baginya,
kesetaraan kondisi (equality of
condition) jauh lebih penting daripada kesetaraan dalam konteks akses dan
partisipasi. Dalam equality of
condition, fokus kita berikan bukan hanya terhadap tujuan dan proses (purpose and process) pendidikan itu
sendiri, melainkan juga berkaitan dengan kesetaraan terhadap sumber daya (equality of resources), kesetaraan
dalam pengakuan dan penghargaan (respect
and recognition), kesetaraan dalam kekuasaan (equality of power), dan kesetaraan dalam kepedulian, solidaritas,
dan cinta (love, care and solidarity).
Kesetaraan sumber daya harus
dibuktikan dengan penciptaan sistem pendidikan yang lebih terbuka dan
nondiskriminatif, sebagaimana telah dibuktikan program Bidikmisi dan SM-3T. Mengutip
M Nuh, “Program Bidikmisi yang kita
rancang ini bukan sekadar untuk membebaskan mereka dari belenggu kemiskinan
semata. Lebih dari itu, kita punya keyakinan bahwa mereka yang berasal dari
keluarga yang tidak mampu itu memiliki potensi yang sangat luar biasa. Mereka
punya kesempatan untuk sukses dan juga punya hak untuk sukses.“ ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar