Harapan
Parlemen Anti Korupsi
Ibrahim
Fahmy Badoh ; Direktur Program Transparency International Indonesia
|
KOMPAS,
30 Juni 2014
SALAH
satu harapan terbesar pemilih setelah pemilu adalah hadirnya parlemen yang
lebih berintegritas dan anti korupsi. Merebut kursi parlemen hanya kemenangan
awal. Tantangan selanjutnya adalah memenangkan kembali kepercayaan publik
yang pupus dan tenggelam diterjang badai korupsi.
Meski
diwarnai praktik kecurangan dan rendah tingkat kepercayaannya, Pemilu
Legislatif 2014 mampu mengubah komposisi dan konstelasi di parlemen. Parlemen
nasional ke depan hampir dapat dipastikan tidak memiliki partai politik
dominan. Selain itu, juga terjadi pengurangan jumlah aktor lama hingga kurang
dari setengah jumlah kursi. Meski dilingkupi penilaian pesimistis terkait
fakta maraknya politik uang di saat pemilu, kondisi parlemen ke depan sedikit
memunculkan harapan.
Tiga lini perubahan
Tantangan
parlemen baru ke depan untuk membenahi persoalan korupsi di parlemen terdapat
pada tiga lini perubahan penting. Pertama, penguatan peran (role) yang bermuara pada peningkatan
kinerja. Kedua, penguatan aspek tata kelola (good governance). Ketiga, peningkatan kapasitas kelembagaan dengan
terbangunnya berbagai perangkat sistem kontrol dan pencegahan korupsi.
Peran
dan kinerja parlemen adalah hal yang paling dinilai oleh publik. Kurangnya
pemahaman akan peran akan bermuara pada buruknya kinerja. Dalam konteks individu politisi di
parlemen, kinerja berkorelasi positif dengan kapasitas dan kompetensi.
Sekadar kaya dan terkenal tidak cukup untuk menjadi anggota parlemen
berkinerja baik. Rendahnya pemahaman akan posisi politisi sebagai jabatan
publik, biasanya akan memunculkan bibit-bibit koruptor.
Jabatan
akan dianggapnya komoditas untuk memaksimalkan keuntungan. Gejala ini tentu
tidak pandang usia dan pengalaman, tetapi lebih pada ketahanan (antibodi).
Ketahanan ini kemudian diperkuat oleh sistem pencegahan dan kontrol korupsi
yang dilingkupi di dalam kode etik anggota parlemen.
Dalam
konteks institusi, istilah kinerja (performance)
sering dikaitkan dengan persoalan anggaran. Kinerja biasanya dilihat dari
efektivitas dan efisiensi anggaran yang mendukung tercapainya manfaat
anggaran (value for money). Pada
tingkatan kinerja, yang dinilai bukan lagi keluaran (outputs), melainkan kemanfaatannya (outcomes) yang mendukung suatu tujuan strategis. Karena itu,
parlemen dituntut memiliki dokumen strategis sebagai rujukan dari pencapaian
pelaksanaan tiga fungsi utamanya, yaitu fungsi membuat undang-undang
(legislasi), fungsi penganggaran (budgeting),
serta fungsi pengawasan anggaran dan kebijakan.
Selama
ini kinerja parlemen dinilai rendah bukan hanya karena parlemen tak
sungguh-sungguh melaksanakan tugasnya, melainkan belum menunjukkan aspek
kemanfaatan dari kerja-kerjanya kepada publik. Sebagai institusi, parlemen
memiliki posisi strategis sebagai fungsi penyeimbang (check and balances) terhadap pemerintah berkuasa. Secara
perorangan, akuntabilitas kemanfaatan politisi di parlemen dinilai pada
tingkatan basis pemilih (dapil).
Posisi
strategis parlemen selama ini belum begitu kuat dan terlihat publik. Parlemen
cenderung menjadi sekadar alat legitimasi bagi pemerintah dalam mendukung
fungsi pemerintahan. Dalam pelaksanaan fungsi legislasi, misalnya, parlemen
cenderung menjadi alat pembahas RUU usulan pemerintah yang jumlahnya sangat
banyak. Bayangkan, parlemen dalam lima tahun harus menyelesaikan target
Program Legislasi Nasional sebanyak 247 RUU, termasuk 124 RUU limpahan dari
periode sebelumnya. Wajar saja jika kualitas legislasi rendah, banyak yang
tumpang tindih, tambal sulam, bahkan copy
paste. Terkait tujuan strategis, parlemen gagal menjelaskan kepada
publik, masalah bangsa apa yang diselesaikan dengan produksi ratusan UU di
setiap periodenya.
Fungsi anggaran
Pelaksanaan
fungsi anggaran dan pengawasan juga setali tiga uang. Meski telah memiliki
badan anggaran dan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN), parlemen belum
mampu menekan secara signifikan kebocoran anggaran dalam APBN dan APBD.
Padahal,
dokumen audit Badan Pemeriksa Keuangan diserahkan kepada parlemen setiap
semester anggaran. Kajian BAKN atas audit BPK jarang ditindaklanjuti untuk
membangun sistem pencegahan korupsi anggaran di pemerintahan. Terjerat oleh
kedekatan kepentingan komisi-komisi di parlemen dengan mitra kerjanya di
pemerintahan.
Di sisi
yang lain, fungsi anggaran tidak efektif memperbaiki pelayanan. Aspirasi
rakyat lewat perencanaan berjenjang (musrenbang) tidak bersahut. Parlemen
seakan patuh pada panduan plafon dan usulan anggaran pemerintah yang
teknokratis, berulang, dan inkremental. Belum terlihat politik anggaran
parlemen yang dekat dengan kepentingan rakyat. Akibatnya, anggaran yang
sedikit diperebutkan oleh segelintir politisi lewat calo anggaran yang
berujung kasus korupsi.
Terkait
tata kelola, parlemen baru dipandang berhasil dalam meningkatkan
transparansi. Hal ini juga didukung oleh peraturan DPR. Yang masih harus
diciptakan adalah perluasan partisipasi publik. Harus lebih banyak mekanisme
pelibatan publik dalam memberi masukan, pengaduan, dan mengawasi pelaksanaan
tiga fungsi utama parlemen. Selama ini partisipasi di parlemen masih
dipandang elitis.
Sistem
kontrol etika penyelenggaraan lembaga parlemen juga harus ditinjau kembali.
Badan Kehormatan DPR seharusnya lebih responsif terhadap progres penegakan
hukum korupsi di penegak hukum dan tidak bergantung pada laporan masyarakat.
Peran fraksi dan elite parpol juga penting dalam mengontrol kinerja dan perilaku
politisi. Lemahnya kontrol partai politik terhadap politisi terbukti menjadi
akar dari skandal korupsi di parlemen. Partai harus mampu membuat program
politik untuk membangun pencitraan. Bukan malah memburu rente korupsi dari
kebijakan politik dan secara sadar merusak citra politisi dan parlemen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar