Demokrasi
Asia sebagai Jalan Hidup
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
09 Juli 2014
SEJARAH negara-negara-bangsa
abad ke-21 memasuki tahapan baru yang tak memiliki preseden dalam membentuk
peradaban globalisasi yang meninggalkan konflik ideologi dan kepercayaan
berhadapan dengan modernisasi. Cerita tentang kota-kota dunia adalah cerita
tentang demokrasi.
Berbagai cerita tentang sejarah perkotaan merupakan kisah tentang
metropolis menuju megaregion. Di dalamnya juga terkandung cerita tentang
perilaku sipil dari kewarganegaraan menuju peradaban. Demokrasi abad ke-21
sudah tidak lagi berbicara tentang hak politik atau hak suara karena
urbanisasi yang menjadi tren menyangkut persoalan hidup bersama.
Hidup bersama berarti juga terkait dengan keinginan bersama serta
kebersamaan dalam membuat undang-undang. Ini semua menjadi esensi penting
demokrasi politik, terutama bagi Asia yang sangat dinamis menghadapi perubahan
global.
Secara bersamaan, demokrasi di Asia bukan hanya sekadar sistem politik
mengikuti contoh di mana demokrasi itu dibuat. Di Asia, demokrasi menjadi
asimetris ketika politik jalan hidup harus berhadapan satu sama lain, seperti
di Thailand atau penggulingan Muhammad Mursi dari kursi presiden Mesir.
Buat Asia, demokrasi merupakan persoalan kelas menengah, seperti
terlihat dalam pemilihan presiden Indonesia yang akan berlangsung hari ini.
Kelas menengah menjadi mesin penting dalam politik jalan hidup, khususnya di
kota-kota. Kota dalam nuansa demokrasi sudah bukan lagi sebuah kiasan ketika
urbanisasi mulai mengambil ruang dan menempatkan perbedaan pandangan hidup
menjadi berisiko satu sama lain.
Demokrasi jalan hidup menjadi acuan menggantikan berbagai ragam
demokrasi, seperti demokrasi proletar, demokrasi terpimpin, dan demokrasi
sosialisme. Pemimpin demokrasi pun berubah, dari hanya sekadar elite partai
politik menjadi individu, seperti Abdullah Abdullah di Afganistan yang
menjadi calon independen, atau bisa juga tokoh regional dan kota, seperti
Narendra Modi yang menjadi PM India dari Gujarat atau seperti mantan Wali
Kota Solo Joko Widodo.
Demokrasi berkarakteristik Tiongkok mengantar Xi Jinping bekerja
melalui sistem meritokrasi dari tingkat paling bawah di pedesaan sampai
menjadi orang paling berpengaruh di Provinsi Fujian yang berpenduduk 37,2
juta jiwa (2011) dengan PDB tahun 2013 mencapai 355,63 miliar dollar AS.
Orang-orang ini mengerti permasalahan keseluruhan wilayah yang dipimpinnya,
mulai dari jaminan kesehatan, kebutuhan pangan dan energi, kebersihan,
toleransi kehidupan, hingga infrastruktur.
Demokrasi jalan hidup dibangun melalui elemen urbanisasi paling kecil
dan mampu menempatkan konektivitas antarkota, antarnegara, dan antarbangsa.
Ketegangan akibat klaim tumpang tindih wilayah perbatasan mampu menegangkan
hubungan Indonesia-Malaysia atau Tiongkok-Jepang. Namun, tak terpengaruh pada
upaya kerja sama demi kehidupan lebih baik Jakarta-Kuala Lumpur atau
Beijing-Tokyo.
Penjaminan otoritatif antara kota dan megapolitan dunia menentukan
keberlangsungan demokrasi di dekade mendatang ketika ancaman utama peradaban
demokrasi adalah mengatasi konflik kekerasan di dalam dan antarnegara,
mengatasi anarki ekonomi, bencana ekonomi, ketidaksetaraan, dan
ketidakadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar