Puasa
Ibadah Kejujuran
Hasibullah Satrawi ; Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir;
Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Jakarta
|
KOMPAS,
12 Juli 2014
PUASA adalah ibadah yang sangat istimewa bagi umat Islam. Tak
semata-mata karena pintu ampunan senantiasa terbuka lebar pada bulan suci
ini, lebih dari itu karena puasa sarat pesan luhur yang bermanfaat bagi
kehidupan umat manusia. Dalam salah
satu Hadis Qudsi, Allah berfirman, ”Semua amal perbuatan manusia untuk mereka
sendiri kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Aku-lah yang akan
membalasnya.”
Dalam tradisi ilmu hadis, Hadis Qudsi masuk dalam tataran hadis paling
suci yang sampai pada tahap mendekati kesucian Al Quran. Sebab, Hadis Qudsi
substansinya adalah wahyu yang diturunkan Allah kepada Muhammad SAW, dan Nabi
hanya menarasikan wahyu tersebut secara tekstual.
Defisit
kejujuran
Berdasarkan hadis di atas, puasa tak lain adalah ibadah kejujuran.
Seseorang mungkin saja mengaku berpuasa, padahal yang bersangkutan baru
melakukan hal-hal yang membatalkan puasa (makan, minum, dan lainnya) di
tempat yang tak diketahui orang lain. Demikian juga sebaliknya, seseorang
tetap tekun berpuasa. Padahal, ia punya banyak kesempatan melakukan hal-hal
yang membatalkan puasa di tempat yang tersembunyi dari keramaian orang.
Namun, Allah Mahatahu atas hamba-Nya yang benar-benar berpuasa dan yang
hanya mengaku-ngaku berpuasa. Sebab, tidak ada satu apa pun di dunia ini yang
terbebas dari pengetahuan Allah.
Di sinilah letak keistimewaan ibadah puasa. Pelaksanaan ibadah ini
tidak membutuhkan ”gerakan” apa pun seperti halnya ibadah shalat. Juga
pelaksanaan ibadah puasa tak perlu melibatkan pihak lain seperti zakat yang
harus diberikan kepada mereka yang tidak mampu. Bahkan, pelaksanaan ibadah
ini tidak membutuhkan ”pesta pora” dengan modal yang sangat banyak seperti
halnya ibadah haji.
Ibadah puasa hanya butuh modal kejujuran, yaitu kejujuran dengan tidak
melakukan hal-hal apa pun yang dapat membatalkan ibadah ini. Jauh lebih
penting, kejujuran melaksanakan ibadah ini hanya karena Allah semata, bukan
tujuan yang lain.
Allah pun berjanji akan membalas pahala mereka yang berpuasa secara
langsung sebagaimana dalam hadis di atas. Hal ini tentu tak terlepas dari
kejujuran mereka yang melakukan ibadah ini selama satu bulan penuh.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, Indonesia sangat
membutuhkan kejujuran sebagaimana diajarkan oleh puasa, setidaknya dalam dua
konteks utama.
Pertama, konteks kejujuran diri sendiri dan komunitas terdekat. Dalam
beberapa waktu terakhir, bangsa ini nyaris defisit kejujuran, khususnya di
kalangan elite. Justru jamak dilakukan banyak pihak adalah menyalahkan orang
dan kelompok lain. Kesalahan diri sendiri ataupun kelompoknya sebisa mungkin
ditutup dengan setumpuk apologi atau bahkan kebohongan.
Ironisnya, setiap hari justru semakin bertambah elite yang terlibat
dalam sejumlah kasus, khususnya kasus korupsi. Lebih miris lagi, sebagian
pihak seakan merasa bangga karena indeks korupsi kolompoknya lebih sedikit
dibandingkan kelompok lain.
Substansi keburukan seperti korupsi nyaris tak dipersoalkan, atau
bahkan mengalami pemapanan. Sebab, yang dianggap lebih penting kemudian
adalah jumlah, khususnya jika dibandingkan kelompok lain. Dengan demikian,
hanya kelompok yang paling tinggi secara indeks korupsi yang akan dihakimi
sebagai kelompok korup. Adapun kelompok lain yang indeks korupsinya lebih
rendah merasa aman dan mungkin nyaman. Padahal, substansi kejahatan yang
dilakukan kelompok-kelompok yang ada sesungguhnya sama.
Kedua, konteks penegakan hukum. Hukum tak bisa ditegakkan secara adil
tanpa adanya kejujuran, baik kejujuran para penegak hukum, segenap jajaran
pemerintah, mereka yang beperkara, atau bahkan para pakar hukum dan
pengacara. Tanpa kejujuran, hukum hanya akan menjadi permainan dan
”komoditas” yang diperdagangkan.
Hingga kini kejujuran semua pihak terkait penegakan hukum masih jadi
persoalan utama di negara ini. Pelbagai macam kisruh hukum yang pernah
menggemparkan publik menunjukkan adanya ketidakjujuran yang cukup akut,
termasuk di lingkaran para penegak hukum. Tingkat kekisruhan yang ada bisa
dijadikan tolok ukur ketidakjujuran yang terjadi; semakin besar kekisruhan
yang ada, semakin besar pula ketidakjujuran yang terjadi. Sebab, hukum tak
pernah bermuka dua. Para penegak hukumlah yang senantiasa berwajah ganda.
Apa yang disampaikan Nabi dalam salah satu hadisnya mendapatkan
pembenaran dari pelbagai macam kisruh hukum yang terjadi belakangan. Beliau
menegaskan, ada tiga macam hakim, dua di antaranya masuk neraka dan hanya
satu yang masuk surga. Dua hakim yang masuk neraka adalah mereka yang memutus
perkara secara curang dan hakim yang bodoh. Hakim yang masuk surga, yang
memutus perkara secara benar dan jujur.
Dalam konteks seperti sekarang, hakim yang dimaksud dalam hadis di atas
tentu bisa diperluas mencakup para penegak hukum secara umum, mulai dari
kepolisian, jaksa, bahkan juga pengacara. Sebab, putusan hukum pada era
sekarang melibatkan anasir-anasir di atas.
Pada tahap selanjutnya, kejujuran dalam penegakan hukum diharapkan
mampu menumbuhkan kesadaran akan hukum dalam kehidupan masyarakat luas. Tanpa
kesadaran akan hukum, berapa pun penjara yang disediakan tidak akan mampu
menampung para pelanggar hukum. Sebab, tanpa kesadaran akan hukum, pelbagai
macam pelanggaran hukum akan senantiasa terjadi tanpa adanya pengakuan dari
pihak yang bersangkutan.
Tak
sekadar lapar
Oleh karena itu, menumbuhkan kesadaran akan hukum sejatinya dijadikan
sebagai tujuan utama penegakan hukum. Sebab, kesadaran akan hukum akan
membuat seseorang menghindari pelanggaran hukum. Kalaupun melakukan
pelanggaran hukum, yang bersangkutan akan mengakui segala kesalahan yang
dilakukan, tanpa paksaan dari para penegak hukum.
Apa yang terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW di Madinah patut
dijadikan cermin kesadaran hukum. Pada saat itu diriwayatkan banyak pihak
yang datang kepada Nabi mengakui kesalahan yang telah dilakukan, sekaligus
meminta untuk segera dihukum. Salah satu contohnya adalah pengakuan
pelanggaran hukum yang dilakukan seorang bernama Ma’iz, yang mengaku berbuat
mesum dan meminta Nabi untuk menghukumnya.
Ibadah puasa senantiasa disambut secara gegap gempita oleh hampir semua
elemen bangsa ini. Namun, sejatinya gegap gempita ini dibarengi semangat
menumbuhkan kejujuran. Tak hanya sekadar menahan lapar dan dahaga sepanjang
hari dalam satu bulan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar