Kamis, 03 Juli 2014

Akil, Korupsi, dan Banding ke Tuhan

                        Akil, Korupsi, dan Banding ke Tuhan

Sumiati Anastasia  ;   Kolumnis dan muslimah di Balikpapan
JAWA POS,  03 Juli 2014
                                                


SETELAH divonis seumur hidup oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (30/6), terdakwa kasus dugaan suap pengurusan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK) dan dugaan tindak pidana pencucian uang, Akil Mochtar, belum bisa menerima. Dia berkomentar, ’’Saya akan terus banding. Sampai ke Tuhan, malaikat, atau surga pun, saya akan banding’’ (baca Jawa Pos, 1-2 Juli).

Komentar Akil tersebut menarik dielaborasi. Sebagai bangsa yang mayoritas beragama, orang Indonesia memang kerap dikenal di mancanegara sebagai orang yang gampang melibatkan Tuhan dalam banyak urusan. Mengomentari pernyataan Akil itu, kita bisa bertanya balik kepada Akil, mengapa ketika korupsi dulu dirinya justru lupa menyebut nama Tuhan?

Sekadar flashback, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Akil dalam operasi tangkap tangan di rumah dinas ketua MK, Kompleks Widya Chandra, Rabu malam (2/10/2013). Mantan politikus Partai Golkar itu ditangkap bersama anggota DPR Chairun Nisa dan pengusaha tambang asal Palangkaraya Cornelis Nalau. Saat penangkapan, KPK menyita uang SGD 294.050 dan USD 22.000 yang disimpan dalam amplop cokelat. Uang itu diduga merupakan suap untuk memuluskan sengketa pilkada Gunung Mas. KPK juga menemukan Rp 2,7 miliar saat menggeledah rumah dinas Akil. Malahan, ada narkoba yang ditemukan di ruang kerja Akil. Karena itu, semakin lengkaplah kebobrokan Akil.

Sayangnya, kebobrokan tersebut kerap dibalut pencitraan, bahkan dengan simbol-simbol agama, sehingga publik bisa terkecoh dan bisa dikelabui. Bayangkan, dua minggu sebelum ditangkap KPK, dalam sidang sengketa pilkada Kota Kediri, dengan lantang Akil mewanti-wanti semua pihak yang hadir dalam sidang di MK agar tidak sekali-kali berusaha menyuap hakim MK karena akan digantung. Akil malah pernah mengusulkan hukuman potong jari bagi para koruptor, mengingat hukuman yang selama ini dijatuhkan untuk koruptor tidak pernah membuat jera (12 Maret 2012). Jadi, sebelum banding ke Tuhan, sebaiknya Akil segera memotong jarinya sendiri.

Ketika Rudi Rubiandini ditangkap KPK pertengahan Agustus 2013, dalam akun Twitter-nya, Akil menulis cuitan, ’’Quo Vadis SKKMigas? Menyedihkan... sekaligus mempermalukan bangsa@’’. Tweet itu ditulis beberapa saat setelah Rudi ditangkap dalam operasi tangkap tangan KPK. Ternyata, akhirnya Akil sama-sama berada dalam satu tahanan dengan Rudi di Rutan KPK.

Jadi, pernyataan Akil yang mau banding ke Tuhan atau kebiasaannya memanfaatkan simbol-simbol agama jelas hanya merupakan hipokrisi atau kemunafikan yang memuakkan. Memang, persoalan korupsi makin menusuk nurani manakala dikaitkan dengan simbol-simbol agama. Memang, pelaksanaan ritual keagamaan idealnya membuahkan perilaku yang terpuji, bukan perilaku tidak terpuji seperti korupsi. Sayangnya, ritual keagamaan yang terjadi tidak menghasilkan buah perubahan hidup secara konkret.

Denny J.A. pernah mengungkapkan, tidak perlu ada survei untuk melihat kebangkrutan moralitas publik ini. Kebangkrutan moral berlangsung secara rapi. ’’Lihatlah, betapa masjid dan gereja semakin banyak dikunjungi… Namun, perilaku tidak bermoral yang menentang prinsip semua agama terjadi semakin buruk.’’

Memang, tidak habis kita mengerti, mengapa tindak pidana korupsi justru terjadi di negeri yang mengklaim sebagai negeri dengan mayoritas warganya beragama? Perintah Tuhan untuk tidak mencuri, mengambil milik orang lain atau korupsi, dalam kitab suci, tampaknya, tidak mempan lagi. Konyolnya lagi, aparat hukum dari berbagai institusi hukum seperti polisi, kejaksaan, kehakiman, atau MK justru tampak mandul serta ikut memperkeruh keadaan. Bahkan, mantan Menteri Agama Suryadharma Ali sudah menjadi tersangka korupsi. Mungkin benar yang dikatakan Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun bahwa bangsa ini begitu ahli menghancurkan dirinya sendiri lewat korupsi.

Korupsi jelas tidak terpuji bahkan jahat sehingga menyebut nama Tuhan atau ayat-Nya sebenarnya sama saja dengan melecehkan-Nya. Sebab, korupsi sesungguhnya sangat menyakiti dan menganiaya banyak pihak, khususnya kaum miskin. Dengan uang negara yang terus dirampok dan masuk kantong pribadi, kesempatan bagi anak-anak miskin yang menderita gizi buruk untuk mendapatkan asupan gizi cukup menjadi hilang. Karena uang negara dirampok koruptor, banyak anak miskin yang tidak bisa masuk ke perguruan tinggi yang biayanya kian mahal. Pokoknya, ada rangkaian dampak buruk dari tindakan korupsi.

Bahkan, dari kasus Akil, kita tahu 14 kepala daerah ternyata berhasil menduduki kursi kekuasaan berkat uang suap. Tragis ketika uang menciptakan pemimpin! Mereka memerintah rakyat di daerah, persis raja-raja kecil era VOC. Para raja kecil itu sesungguhnya tidak hendak memimpin rakyatnya, tapi hendak mengambil apa saja agar uang yang dipakai untuk membeli kursi kekuasaan bisa kembali ke koceknya. Karena itu, selain vonis seumur hidup, azab Tuhan pasti sedang menunggu Akil dan siapa pun yang korupsi. Jadi, daripada banding ke Tuhan, lebih baik koruptor sungguh bertobat. Mumpung dalam bulan penuh ampunan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar