Akil,
Korupsi, dan Banding ke Tuhan
Sumiati Anastasia ; Kolumnis dan muslimah di Balikpapan
|
JAWA
POS, 03 Juli 2014
SETELAH divonis seumur hidup oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Jakarta, Senin (30/6), terdakwa kasus dugaan suap pengurusan sengketa pilkada
di Mahkamah Konstitusi (MK) dan dugaan tindak pidana pencucian uang, Akil
Mochtar, belum bisa menerima. Dia berkomentar, ’’Saya akan terus banding.
Sampai ke Tuhan, malaikat, atau surga pun, saya akan banding’’ (baca Jawa
Pos, 1-2 Juli).
Komentar Akil tersebut menarik dielaborasi. Sebagai bangsa yang
mayoritas beragama, orang Indonesia memang kerap dikenal di mancanegara
sebagai orang yang gampang melibatkan Tuhan dalam banyak urusan. Mengomentari
pernyataan Akil itu, kita bisa bertanya balik kepada Akil, mengapa ketika
korupsi dulu dirinya justru lupa menyebut nama Tuhan?
Sekadar flashback, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Akil
dalam operasi tangkap tangan di rumah dinas ketua MK, Kompleks Widya Chandra,
Rabu malam (2/10/2013). Mantan politikus Partai Golkar itu ditangkap bersama
anggota DPR Chairun Nisa dan pengusaha tambang asal Palangkaraya Cornelis
Nalau. Saat penangkapan, KPK menyita uang SGD 294.050 dan USD 22.000 yang
disimpan dalam amplop cokelat. Uang itu diduga merupakan suap untuk
memuluskan sengketa pilkada Gunung Mas. KPK juga menemukan Rp 2,7 miliar saat
menggeledah rumah dinas Akil. Malahan, ada narkoba yang ditemukan di ruang
kerja Akil. Karena itu, semakin lengkaplah kebobrokan Akil.
Sayangnya, kebobrokan tersebut kerap dibalut pencitraan, bahkan dengan
simbol-simbol agama, sehingga publik bisa terkecoh dan bisa dikelabui.
Bayangkan, dua minggu sebelum ditangkap KPK, dalam sidang sengketa pilkada
Kota Kediri, dengan lantang Akil mewanti-wanti semua pihak yang hadir dalam
sidang di MK agar tidak sekali-kali berusaha menyuap hakim MK karena akan
digantung. Akil malah pernah mengusulkan hukuman potong jari bagi para
koruptor, mengingat hukuman yang selama ini dijatuhkan untuk koruptor tidak
pernah membuat jera (12 Maret 2012). Jadi, sebelum banding ke Tuhan,
sebaiknya Akil segera memotong jarinya sendiri.
Ketika Rudi Rubiandini ditangkap KPK pertengahan Agustus 2013, dalam
akun Twitter-nya, Akil menulis cuitan, ’’Quo Vadis SKKMigas? Menyedihkan...
sekaligus mempermalukan bangsa@’’. Tweet itu ditulis beberapa saat setelah
Rudi ditangkap dalam operasi tangkap tangan KPK. Ternyata, akhirnya Akil
sama-sama berada dalam satu tahanan dengan Rudi di Rutan KPK.
Jadi, pernyataan Akil yang mau banding ke Tuhan atau kebiasaannya
memanfaatkan simbol-simbol agama jelas hanya merupakan hipokrisi atau
kemunafikan yang memuakkan. Memang, persoalan korupsi makin menusuk nurani
manakala dikaitkan dengan simbol-simbol agama. Memang, pelaksanaan ritual
keagamaan idealnya membuahkan perilaku yang terpuji, bukan perilaku tidak
terpuji seperti korupsi. Sayangnya, ritual keagamaan yang terjadi tidak
menghasilkan buah perubahan hidup secara konkret.
Denny J.A. pernah mengungkapkan, tidak perlu ada survei untuk melihat
kebangkrutan moralitas publik ini. Kebangkrutan moral berlangsung secara
rapi. ’’Lihatlah, betapa masjid dan
gereja semakin banyak dikunjungi… Namun, perilaku tidak bermoral yang
menentang prinsip semua agama terjadi semakin buruk.’’
Memang, tidak habis kita mengerti, mengapa tindak pidana korupsi justru
terjadi di negeri yang mengklaim sebagai negeri dengan mayoritas warganya
beragama? Perintah Tuhan untuk tidak mencuri, mengambil milik orang lain atau
korupsi, dalam kitab suci, tampaknya, tidak mempan lagi. Konyolnya lagi,
aparat hukum dari berbagai institusi hukum seperti polisi, kejaksaan,
kehakiman, atau MK justru tampak mandul serta ikut memperkeruh keadaan.
Bahkan, mantan Menteri Agama Suryadharma Ali sudah menjadi tersangka korupsi.
Mungkin benar yang dikatakan Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun bahwa bangsa ini
begitu ahli menghancurkan dirinya sendiri lewat korupsi.
Korupsi jelas tidak terpuji bahkan jahat sehingga menyebut nama Tuhan
atau ayat-Nya sebenarnya sama saja dengan melecehkan-Nya. Sebab, korupsi
sesungguhnya sangat menyakiti dan menganiaya banyak pihak, khususnya kaum
miskin. Dengan uang negara yang terus dirampok dan masuk kantong pribadi,
kesempatan bagi anak-anak miskin yang menderita gizi buruk untuk mendapatkan
asupan gizi cukup menjadi hilang. Karena uang negara dirampok koruptor,
banyak anak miskin yang tidak bisa masuk ke perguruan tinggi yang biayanya
kian mahal. Pokoknya, ada rangkaian dampak buruk dari tindakan korupsi.
Bahkan, dari kasus Akil, kita tahu 14 kepala daerah ternyata berhasil
menduduki kursi kekuasaan berkat uang suap. Tragis ketika uang menciptakan
pemimpin! Mereka memerintah rakyat di daerah, persis raja-raja kecil era VOC.
Para raja kecil itu sesungguhnya tidak hendak memimpin rakyatnya, tapi hendak
mengambil apa saja agar uang yang dipakai untuk membeli kursi kekuasaan bisa
kembali ke koceknya. Karena itu, selain vonis seumur hidup, azab Tuhan pasti
sedang menunggu Akil dan siapa pun yang korupsi. Jadi, daripada banding ke
Tuhan, lebih baik koruptor sungguh bertobat. Mumpung dalam bulan penuh
ampunan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar