Vonis
Akil Cukup Logis
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina, Jakarta
|
JAWA
POS, 02 Juli 2014
VONIS seumur hidup bagi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil
Mochtar merupakan awal yang baik bagi pemberantasan tindak pidana korupsi.
Vonis itu cukup logis mengingat Akil adalah penegak hukum. Sudah semestinya
penegak hukum yang melanggar hukum dihukum sangat berat seperti vonis seumur
hidup.
Lagi pula, kejahatan korupsi tergolong extra-ordinary crime. Vonisnya selama ini memang sangat jauh dari
nilai-nilai extra-ordinary.
Indonesia perlu belajar dari Negeri Tirai Bambu. Berbagai pihak pendukung
hukuman berat bagi koruptor selalu mengacu ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT)
dan memuji berbagai usaha mereka dalam menumpas penyakit korupsi yang mewabah
di ranah para penentu kebijakan. Salah satu cara yang diusulkan para
pendukung hukuman berat adalah memperkenalkan hukuman mati bagi pelaku
korupsi di Indonesia. Mereka menganjurkan untuk belajar dari Tiongkok dan
kebijakannya dalam memberantas korupsi.
Menurut perkiraan Amnesty
International, sekitar 1.770 orang dieksekusi di Tiongkok pada 2005 dan
3.900 orang dijatuhi hukuman mati. Beberapa ahli hukum Tiongkok
memperkirakan, sebetulnya jumlah yang sesungguhnya jauh lebih besar, bahkan
mungkin mendekati 8 ribu eksekusi per tahun. Pihak-pihak lain bahkan
menyebutkan angka 10 ribu.
Bahkan, sebagai akibat terlalu banyaknya kasus eksekusi mati terhadap
para pelaku korupsi, hakim tertinggi di Tiongkok, Xiao Yang, ketua Mahkamah
Agung, mendesak para hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman mati apabila masih
mungkin memberikan hukuman yang lebih ringan. Mahkamah Agung Tiongkok
menyetujui amandemen terhadap undang-undang kriminal yang memusatkan kontrol
atas eksekusi.
Mahkamah Agung Tiongkok akan kembali memperoleh wewenang memutus
seluruh hukuman mati. Gerakan itu dilihat sebagai jawaban atas meningkatnya
kritik publik terhadap meluasnya praktik hukuman mati secara sewenang-wenang
(Rainer Adam, 2007).
Setiap negara memang memiliki alasan untuk memberlakukan hukuman bagi
koruptor. Kasus di Tiongkok mungkin merupakan yang paling ekstrem, yakni
koruptor harus berakhir di tiang gantungan, atau negara di Asia umumnya,
termasuk Indonesia, yang juga masih memberlakukan hukuman mati. Aurilia
Placias (2004), seorang tokoh HAM, optimistis keadaan tersebut akan berubah.
Menurut dia, di Asia terjadi pengurangan jumlah eksekusi. Selain itu, sudah
jauh lebih banyak aktivis dan organisasi hak asasi manusia di Asia yang
menentang hukuman mati.
Berseberangan dengan itu, banyak negara maju yang mulai tidak
memberlakukan hukuman mati. Setidaknya ada empat cacat utama yang biasanya
terlihat pada hampir semua negara yang masih memberlakukan hukuman mati.
Yakni, sistem hukum yang tidak transparan, keterangan mengenai siapa yang
akan dijatuhi hukuman mati, bagaimana hukuman itu akan dijalankan, serta
waktu dan tempat pelaksanaannya biasanya dirahasiakan.
Jenis kejahatan yang bisa dijatuhi hukuman mati juga sangat luas.
Adanya kondisi hukum yang memiliki aspek yang tidak adil dan peluang untuk
mendapatkan amnesti yang sangat kecil. Alasan lain yang menentang hukuman
mati, jika hukuman mati diharapkan dapat menimbulkan efek jera, mengapa masih
ada saja para pelaku kejahatan?
Melihat alasan hukuman mati yang masih kontroversial dan dianggap
bertentangan dengan HAM, hukuman berat apa yang harus dijatuhkan kepada
pelaku korupsi sehingga benar-benar efektif dan menimbulkan efek jera? Yakni,
hukuman yang berkaca dari Tiongkok tapi sekaligus tidak harus se-ekstrem
seperti hukuman mati.
Hukuman yang memberatkan bagi para koruptor yang paling memungkinkan
ialah hukuman penjara sekaligus subsider. Langkah itu diambil mengingat tidak
sedikit terpidana korupsi yang lebih memilih hukuman penjara daripada
membayar denda karena hukuman penjara relatif singkat.
Karena itulah, selain hukuman penjara dalam waktu yang cukup lama,
koruptor harus mengembalikan uang negara yang semula dikorupsi. Selain
bertujuan menimbulkan efek jera bagi mereka, tuntutan hukuman penjara lebih
tinggi mendorong terpidana berusaha keras membayar denda atas perbuatannya.
Dengan begitu, lebih banyak uang negara yang dapat diselamatkan.
Selama ini, penyitaan terhadap aset koruptor jarang dilakukan.
Akibatnya, orang yang didakwa korupsi tetap berkesempatan memiliki dan
menggunakan harta hasil korupsinya. Bahkan, orang yang masih berstatus
tersangka korupsi bisa kabur membawa asetnya. Pemberantasan korupsi memang
tidak sekadar mengembalikan uang negara.
Lebih penting dari itu, kejaksaan harus menindak tegas pelaku korupsi
dan menjatuhkan hukuman seberat-beratnya terhadap koruptor. Jadi, selain
subsider dan pengembalian aset negara yang telah dikorupsi, koruptor harus
dihukum seberat-beratnya.
Sebab, pelaksanaan hukuman koruptor yang sekarang belum mampu
mengurangi koruptor dan menghilangkan korupsi. Karena itu, para koruptor
perlu diberi hukuman yang berefek menjerakan, tidak sekadar dipenjara dalam
waktu singkat seperti yang selama ini terjadi. Dengan hukuman yang berat,
siapa pun diharapkan merasa takut untuk melakukan korupsi.
Hal itu harus sungguh-sungguh dilakukan pemerintah. Sebab, korupsi
adalah penyakit akut yang mendera bangsa ini yang sudah menimbulkan
kesengsaraan kepada generasi sekarang. Karena itulah, pihak-pihak yang selama
ini memperjuangkan pemberantasan korupsi harus terus berada di front terdepan supaya koruptor
benar-benar enyah dari republik tercinta Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar