Kamis, 03 Juli 2014

Vonis Akil Cukup Logis

                                            Vonis Akil Cukup Logis

Ismatillah A Nu’ad  ;   Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina, Jakarta
JAWA POS,  02 Juli 2014
                                                


VONIS seumur hidup bagi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar merupakan awal yang baik bagi pemberantasan tindak pidana korupsi. Vonis itu cukup logis mengingat Akil adalah penegak hukum. Sudah semestinya penegak hukum yang melanggar hukum dihukum sangat berat seperti vonis seumur hidup.

Lagi pula, kejahatan korupsi tergolong extra-ordinary crime. Vonisnya selama ini memang sangat jauh dari nilai-nilai extra-ordinary. Indonesia perlu belajar dari Negeri Tirai Bambu. Berbagai pihak pendukung hukuman berat bagi koruptor selalu mengacu ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan memuji berbagai usaha mereka dalam menumpas penyakit korupsi yang mewabah di ranah para penentu kebijakan. Salah satu cara yang diusulkan para pendukung hukuman berat adalah memperkenalkan hukuman mati bagi pelaku korupsi di Indonesia. Mereka menganjurkan untuk belajar dari Tiongkok dan kebijakannya dalam memberantas korupsi.

Menurut perkiraan Amnesty International, sekitar 1.770 orang dieksekusi di Tiongkok pada 2005 dan 3.900 orang dijatuhi hukuman mati. Beberapa ahli hukum Tiongkok memperkirakan, sebetulnya jumlah yang sesungguhnya jauh lebih besar, bahkan mungkin mendekati 8 ribu eksekusi per tahun. Pihak-pihak lain bahkan menyebutkan angka 10 ribu.

Bahkan, sebagai akibat terlalu banyaknya kasus eksekusi mati terhadap para pelaku korupsi, hakim tertinggi di Tiongkok, Xiao Yang, ketua Mahkamah Agung, mendesak para hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman mati apabila masih mungkin memberikan hukuman yang lebih ringan. Mahkamah Agung Tiongkok menyetujui amandemen terhadap undang-undang kriminal yang memusatkan kontrol atas eksekusi.

Mahkamah Agung Tiongkok akan kembali memperoleh wewenang memutus seluruh hukuman mati. Gerakan itu dilihat sebagai jawaban atas meningkatnya kritik publik terhadap meluasnya praktik hukuman mati secara sewenang-wenang (Rainer Adam, 2007).

Setiap negara memang memiliki alasan untuk memberlakukan hukuman bagi koruptor. Kasus di Tiongkok mungkin merupakan yang paling ekstrem, yakni koruptor harus berakhir di tiang gantungan, atau negara di Asia umumnya, termasuk Indonesia, yang juga masih memberlakukan hukuman mati. Aurilia Placias (2004), seorang tokoh HAM, optimistis keadaan tersebut akan berubah. Menurut dia, di Asia terjadi pengurangan jumlah eksekusi. Selain itu, sudah jauh lebih banyak aktivis dan organisasi hak asasi manusia di Asia yang menentang hukuman mati.

Berseberangan dengan itu, banyak negara maju yang mulai tidak memberlakukan hukuman mati. Setidaknya ada empat cacat utama yang biasanya terlihat pada hampir semua negara yang masih memberlakukan hukuman mati. Yakni, sistem hukum yang tidak transparan, keterangan mengenai siapa yang akan dijatuhi hukuman mati, bagaimana hukuman itu akan dijalankan, serta waktu dan tempat pelaksanaannya biasanya dirahasiakan.

Jenis kejahatan yang bisa dijatuhi hukuman mati juga sangat luas. Adanya kondisi hukum yang memiliki aspek yang tidak adil dan peluang untuk mendapatkan amnesti yang sangat kecil. Alasan lain yang menentang hukuman mati, jika hukuman mati diharapkan dapat menimbulkan efek jera, mengapa masih ada saja para pelaku kejahatan?

Melihat alasan hukuman mati yang masih kontroversial dan dianggap bertentangan dengan HAM, hukuman berat apa yang harus dijatuhkan kepada pelaku korupsi sehingga benar-benar efektif dan menimbulkan efek jera? Yakni, hukuman yang berkaca dari Tiongkok tapi sekaligus tidak harus se-ekstrem seperti hukuman mati.

Hukuman yang memberatkan bagi para koruptor yang paling memungkinkan ialah hukuman penjara sekaligus subsider. Langkah itu diambil mengingat tidak sedikit terpidana korupsi yang lebih memilih hukuman penjara daripada membayar denda karena hukuman penjara relatif singkat.

Karena itulah, selain hukuman penjara dalam waktu yang cukup lama, koruptor harus mengembalikan uang negara yang semula dikorupsi. Selain bertujuan menimbulkan efek jera bagi mereka, tuntutan hukuman penjara lebih tinggi mendorong terpidana berusaha keras membayar denda atas perbuatannya. Dengan begitu, lebih banyak uang negara yang dapat diselamatkan.

Selama ini, penyitaan terhadap aset koruptor jarang dilakukan. Akibatnya, orang yang didakwa korupsi tetap berkesempatan memiliki dan menggunakan harta hasil korupsinya. Bahkan, orang yang masih berstatus tersangka korupsi bisa kabur membawa asetnya. Pemberantasan korupsi memang tidak sekadar mengembalikan uang negara.

Lebih penting dari itu, kejaksaan harus menindak tegas pelaku korupsi dan menjatuhkan hukuman seberat-beratnya terhadap koruptor. Jadi, selain subsider dan pengembalian aset negara yang telah dikorupsi, koruptor harus dihukum seberat-beratnya.

Sebab, pelaksanaan hukuman koruptor yang sekarang belum mampu mengurangi koruptor dan menghilangkan korupsi. Karena itu, para koruptor perlu diberi hukuman yang berefek menjerakan, tidak sekadar dipenjara dalam waktu singkat seperti yang selama ini terjadi. Dengan hukuman yang berat, siapa pun diharapkan merasa takut untuk melakukan korupsi.

Hal itu harus sungguh-sungguh dilakukan pemerintah. Sebab, korupsi adalah penyakit akut yang mendera bangsa ini yang sudah menimbulkan kesengsaraan kepada generasi sekarang. Karena itulah, pihak-pihak yang selama ini memperjuangkan pemberantasan korupsi harus terus berada di front terdepan supaya koruptor benar-benar enyah dari republik tercinta Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar