Kamis, 31 Januari 2013

Memilih Parpol 2014 yang Bebas Korupsi


Memilih Parpol 2014 yang Bebas Korupsi
Romli Atmasasmita ;  Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)
SINDO, 31 Januari 2013



Berkaca pada pengalaman kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, kita telah saksikan bukti nyata dari kiprah partai politik (parpol) pemenang Pemilu 2009. Janji yang disampaikan belum terpenuhi, sementara itu kasus korupsi dan pelanggaran kesusilaan kian marak melibatkan beberapa anggota parpol. 

Tentu konstituen pemilih pada Pemilu 2009 sangat kecewa bahkan sangat dirugikan karena dana Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang seharusnya menetes sampai di tangan mereka malahan hanya sampai pada kantong pribadi-pribadi fungsionaris parpol tersebut. Betapa menyedihkan dan mengecewakan pola perilaku seperti ini. 

Jeffrey Sachs, penulis terkenal dan mantan penasihat ekonomi pemerintah Amerika Serikat (AS), mengeluhkan dan prihatin terhadap fakta betapa elite partai dan pemerintah AS telah mengejar kekayaan yang tidak sepantasnya diperoleh dan kekuasaan yang tanpa batas disertai keistimewaan yang dimiliki mereka yang semakin tidak terkendali di atas penderitaan rakyat miskin AS. 

Apalagi di Indonesia rakyat miskin masih bertengger di kisaran 30% dari sekitar 250 juta penduduk. Sachs menulis dalam bukunya, The Price of Civilization (2011); “Akar masalah krisis ekonomi Amerika adalah krisis moral yang ditandai oleh kemerosotan ikatan moral kalangan elite politik dan elite ekonomi. Pada hari ini mereka telah hilang komitmen tanggung jawab sosialnya; mereka hanya mengejar kekayaan dan kekuasaan, serta kepentingan rakyat selebihnya dikesampingkan”.

Pernyataan Sachs tentu perlu dijadikan renungan calon pemilih khususnya pemilih pemula Pemilu 2014 kelak karena pengalaman serupa juga pernah terjadi setelah dua pemilu terakhir di Indonesia. Keberuntungan masih berpihak pada rakyat Indonesia dengan pembentukan KPK dan revitalisasi secara perlahan kejaksaan dan kepolisian disertai penguatan masyarakat sipil untuk bersama-sama mengawasi jalannya pemerintahan dan persiapan menjelang Pemilu 2014. 

KPU telah meloloskan sepuluh partai peserta pemilu termasuk satu partai baru yang mengusung jargon perubahan dengan praanggapan memiliki perbedaan visi dan misi yang besar dengan sembilan partai lainnya. Namun, rakyat pemilih saat ini pasti berpikir dua kali untuk dibohongi oleh elite-elite partai politik karena terbukti ada inkonsistensi antara janjijanji dan harapan selama kampanye dan realita pascapemilu. 

Fakta betapa mudahnya mereka mengesampingkan jargon pemilu yang prorakyat serta fakta banyak “kutu loncat” dari satu partai ke partai lain hanya terjadi di dalam kancah politik Indonesia; mencerminkan betapa rapuhnya loyalitas ideologis terhadap partainya, integritas, dan akuntabilitas yang bersangkutan. Fakta ini juga disebabkan dorongan sikap oportunistik yang berujung meraih kekuasaan dan keuntungan finansial semata-mata. 

Pola perilaku “menyalip di tikungan” dan “menangguk di air keruh” serta “menohok kawan seiring” tampaknya telah terbiasa di kalangan sementara elite parpol di Indonesia. Yang parah jika elite parpol menggunakan cara premanisme untuk meraih simpati dan dukungan dan cara-cara seperti ini tidak cocok dengan kultur bangsa Indonesia yang tahu adab dan sopan santun dan memegang teguh berpolitik berdasarkan ideologi Pancasila. 

Menghadapi kondisi perilaku elite partai yang ademokrasi itu, sampai saat ini tampak tidak ada jaminan penguatan sanksi kode etik internal parpol terhadap anggota yang telah “berselingkuh” tersebut yang sejatinya merupakan sumber kemudaratan berpolitik di Indonesia. Apakah ini tanda-tanda keruntuhan moralitas elite parpol sebagaimana telah dikemukakan Sachs? Wallahuallam bisawab.

Setidaknya ada sembilan solusi untuk mencegah kenyataan perilaku elite parpol yang merugikan rakyat seperti sudah dibahas di atas. Pertama, perlu seleksi ketat keanggotaan oleh parpol seperti yang sedang dilakukan PDIP dengan psycho test sekaligus tes urine. Kedua, hapuskan politik uang untuk memperoleh nomor urut caleg. 

Ketiga, telusuri rekam jejak caleg-caleg terpilih sebelum masuk daftar tetap caleg melalui LSI atau bantuan ICW atau lembaga anti korupsi lain atau bantuan kepolisian/kejaksaan. Keempat, koalisi masyarakat sipil wajib mengikuti intensif pencalegan oleh parpol-parpol baik untuk DPR RI/DPRD. Kelima, turut sertakan KPK untuk telusuri laporan harta kekayaan setiap caleg tetap parpol dan lebih mantap lagi jika inisiatif datang dari pengurus parpol asal caleg sehingga publik mengetahui nominal harta kekayaan mereka sejak awal. 

Keenam,pascapemilu yang akan datang kiranya perlu dikritisi penempatan caleg-caleg di Komisi 2 DPR RI/DPRD yang tidak cocok dengan keahliannya. Ketujuh, kewajiban parpol menyampaikan terbuka sumber dana parpol melalui audit oleh lembaga independen dan besaran pendanaannya disertai pengawasan koalisi masyarakat sipil pendanaan parpol. Kedelapan, perlu ada pengawasan untuk mencegah caleg-caleg yang pernah terlibat tindak pidana, khusus tipikor, untuk duduk dibadan legislatif atau di eksekutif. Kesembilan, perlu dibentuk koalisi masyarakat sipil sejak sekarang untuk mengawasi pesta demokrasi pada 2014.

Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi dengan UU RI Nomor 7 Tahun 2006 telah menetapkan subjek hukum pemberantasan korupsi yang baru yaitu “Politically Exposed Persons (PEPS)” meliputi kerabat atau kawan dekat atau keluarga anggota parpol terutama yang terpilih sebagai anggota legislatif. Pemilu 2014 bukan saatnya lagi hanya semata “pesta demokrasi” demi pencitraan kepada dunia luar.

Tetapi,yang penting dan sangat strategis adalah sejauh mana inkonsistensi antara ucapan dan perbuatan semakin senjang dan melebar atau semakin dekat dan bahkan konsisten dan konstan. Juga sejauh mana rakyat merasakan hasil nyata tanpa kebohongan dan kemunafikan tersembunyi di balik semua jargon dan aksesoris parpol dalam berkampanye.


Menata Puing-Puing Reformasi


Menata Puing-Puing Reformasi
Jeffrie Geovanie ;  Founder The Indonesian Institute
SINDO, 31 Januari 2013



Beberapa kejadian terakhir, terutama di ranah politik dan hukum, sepertinya telah memaksa kita untuk kembali memutar arah jarum jam.Banyaknya anggota DPR RI yang masuk bui, para hakim yang menjual diri, serta kasus-kasus lain yang membuat gerakan reformasi yang dulu kita gemakan benar-benar menemui jalan berliku atau bahkan jalan buntu. 

Harus diakui, pada awalnya, gerakan reformasi yang ditandai dengan lengsernya Soeharto, 21 Mei 1998, telah membawa perubahan yang signifikan bagi kondisi sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia. Secara politik, ada ekspresi kebebasan yang relatif tanpa batas. Indikatornya antara lain berseminya partai politik hingga sampai pada batas yang sulit dihitung berapa jumlah pastinya (meskipun pada akhirnya hanya beberapa yang memperoleh suara riil pada pemilu). 

Disamping musim semipartai, juga terdapat euforia calon presiden. Saking banyaknya, kita juga sulit menghitung ada berapakah calon presiden dari sejak Pemilu 1999 hingga saat ini. Di luar partai-partai yang masingmasing punya calon presiden, masih banyak tokoh independen yang juga berusaha mencapai tangga Istana Negara. 

Pers,yang ketika rezim Soeharto berkuasa, dibelenggu dengan peraturan perundangan yang amat ketat—seperti kewajiban memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)—kini begitu bebas berekspresi sehingga ada beberapa kalangan yang menyebut pers kita cenderung tanpa batas dan agak kehilangan kendali. Lantas, apakah fungsi dari gerakan reformasi yang sebenarnya? Sekadar untuk menumbangkan rezim yang dianggap otoriter? 

Ataukah untuk menuai perubahan yang prospektif, dalam arti menuju kehidupan masyarakat yang lebih baik? Ada kecenderungan, penilaian terhadap keberhasilan gerakan reformasi diukur dari pencapaian-pencapaian yang bersifat legalistik-formalistik. Misalnya, ketika menetapkan agenda reformasi, keberhasilannya diukur dari lahirnya ketentuan perundang-undangan yang mendukung bagi agenda reformasi tersebut. 

Dalam platform gerakan reformasi yang diusung berbagai komponen masyarakat, terutama mahasiswa dan cendekiawan kampus pada 1998, secara garis besar ada lima. Pertama, Amendemen Undang- Undang Dasar (UUD) 1945. Agenda ini dianggap berhasil dengan lahirnya UUD 1945 baru yang ditetapkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui empat tahapan perubahan. (Perubahan keempat diputuskan dalam Sidang Tahunan MPR 2002). 

Kedua, penghapusan dwifungsi ABRI (baca, TNI dan Polri). Agenda ini dianggap berhasil dengan ditetapkannya ketentuan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tidak lagi mendapatkan kursi gratis di lembaga legislatif––DPR RI, DPR provinsi, DPR kabupaten/kota, dan Dewan Perwakilan Daerah/ DPD—pasca-Pemilu 2004. 

Ketiga, perluasan otonomi daerah. Lahirnya Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, serta Undang-Undang Otonomi Khusus untuk daerahdaerah yang memiliki corak budaya yang khas seperti Aceh dan Papua dianggap sebagai wujud konkret dari agenda perluasan otonomi daerah. 

Keempat, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) untuk membangun clean governance dan good government. Dianggap telah sukses dengan lahirnya ketetapan-ketetapan: (1) Tap MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN; (2) UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; (3) Tap MPR Nomor VII I Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN; serta (4) UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Kelima,menegakkan supremasi hukum dan hak-hak asasi manusia (HAM). Agenda ini pun dianggap sukses dengan lahirnya: (1) UU No 39 Tahun 1999tentangHak AsasiManusia; (2) Keppres tentang Pembentukan Komisi Hukum Nasional; (3) UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; (4) Keppres No 31 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM; dan (5) Keppres No 96 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta. 

Masalahnya, keberhasilan gerakan reformasi yang sejati tak bisa diukur hanya dengan lengsernya rezim otoriter atau dengan ditetapkannya ketentuan- ketentuan hukum yang sesuai dengan agenda reformasi. Agenda reformasi di suatu negara baru dikatakan berhasil jika setiap agenda yang telah ditetapkannya bisa direalisasikan dan memberi manfaat yang positif bagi segenap warga negara yang bersangkutan. 

Dari lima agenda reformasi yang disebutkan di atas,kiranya belum ada satu pun yang sudah dijalankan secara substantif. Semuanya masih terbatas pada capaian-capaian formalistik dan relatif belum bisa dirasakan manfaatnya oleh segenap rakyat Indonesia.Banyak kalangan bahkan melihat reformasi hanya tinggal puing, yang tersisa hanya “repotnasi” atau kesulitan-kesulitan hidup yang ditimbulkan akibat dari gerakan reformasi. 

Karena itu, upaya yang serius untuk menata kembali puing-puing dari gerakan reformasi melalui upaya substansiasi reformasi dibutuhkan yakni suatu gerakan yang menyentuh aspekaspek substansial dari reformasi. Bagaimana caranya? Memang tak semudah membalik telapak tangan. 

Tapi, jika kita harus memilih skala prioritas, prioritas pertama yang penting dan mendesak adalah mengusahakan tampilnya kepemimpinan nasional yang reformis, berani, punya integritas moral, bersih, dan bebas KKN. Mengapa penting dan mendesak karena beberapa bulan lagi kita akan memasuki hingar-bingar pemilihan umum (pemilu), baik untuk legislatif maupun eksekutif. 

Ada pepatah lama yang senantiasa aktual, “ikan membusuk dimulai dari kepalanya.” Gerakan reformasi tak mungkin bisa berjalan efektif tanpa ada contoh konkret dari para pemimpinnya.


Pembangunan Minus Kesejahteraan


Pembangunan Minus Kesejahteraan
Khudori ;  Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat,
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku Ironi Negeri Beras 
SINDO, 31 Januari 2013



Secara makro, kinerja ekonomi Indonesia 2012 amat mencorong. Di saat benua Eropa dan Amerika Serikat bergulat dengan krisis, ekonomi Indonesia tumbuh 6,3%, tertinggi kedua di dunia setelah China. 

Inflasi ditekan rendah: 4,3%. Indeks harga saham gabungan (IHSG) hampir menembus rekor baru: 4.500. Cadangan devisa meningkat tiada henti. Produk Domestik Bruto Rp7.417,2 triliun. Delapan tahun terakhir, pendapatan perkapita naik lebih dari 3,2 kali: dari USD1.110 (2004) menjadi USD3.500 (2012). Ini bukan kali pertama. Selama delapan tahun di bawah kepemimpinan Presiden SBY, pertumbuhan ekonomi bisa dijaga rata-rata di atas 5% per tahun, inflasi terkendali di bawah satu digit, dan nilai tukar rupiah relatif stabil. 

Indonesia juga kembali meraih investment grade. Namun, di balik berbagai prestasi pembangunan itu tersimpan sejumlah ironi: ironi ketimpangan (antarwilayah, antarsektor ekonomi, dan pendapatan antarpenduduk), ironi penciptaan lapangan kerja yang semakin mengecil, dan ironi penurunan jumlah kemiskinan yang rendah—yang semua itu mengarah pada defisit kesejahteraan.

Gemuruh pembangunan ekonomi memang mengesankan, namun meninggalkan residu yang tidak kalah gawat. Jika tak ditangani, ini bakal meninggalkan bom waktu yang tak kalah serius. Sampai saat ini kue pembangunan masih terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera. Kawasan barat Indonesia (Sumatera dan Jawa) menguasai sekitar 82% PDB nasional,jauh meninggalkan kawasan timur Indonesia yang hanya menempati 18%.

Supremasi Jawa atas non-Jawa terlihat jelas: pada 2012 Jawa menguasai 58% PDB nasional dengan tiga provinsi (DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat) menguasai 46% PDB nasional. Ketimpangan antar-sektor tidak kalah serius. Pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir hanya didorong sektor modern atau nontradable, seperti sektor keuangan, jasa, realestat, transportasi dan komunikasi, dan perdagangan/ hotel/restoran.

Tahun 2012, pertumbuhan sektor ini cukup tinggi,melampaui rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional (6,3%). Sebaliknya, sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) hanya tumbuh rendah. Ketimpangan pertumbuhan sektor tradable vs non-tradable memiliki implikasi serius karena terkait pembagian kue dan surplus ekonomi. Sektor non-tradable bersifat padat modal, teknologi dan pengetahuan. 

Pelakunya hanya segelintir. Sebaliknya, sektor tradable padat tenaga kerja. Karena karakteristiknya itu, penyerapan tenaga kerja sektor nontradable jauh lebih kecil dari sektor tradable. Ini tak hanya berimplikasi pada penyerapan total tenaga kerja yang rendah dibandingkan masa Orde Baru misalnya, tapi juga menyentuh dimensi kesejahteraan: tumbuh tapi tidak (semuanya) sejahtera. 

Kontribusi sektor pertanian pada PDB nasional pada 2012 hanya 14,4%. Padahal, sektor ini menampung 43% dari total tenaga kerja. Akibatnya, sektor pertanian kian involutif, yang ditandai massifnya tingkat kemiskinan di perdesaan. Ini yang kemudian memunculkan ketimpangan yang ketiga: disparitas pendapatan antarpenduduk.Kesenjangan kian melebar, seperti syair lagu: yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. 

Ini terlihat dari meroketnya Gini Rasio: dari 0,32 pada 2004 jadi 0,41 pada 2011 (makin tinggi berarti makin timpang). Sejak gemuruh pembangunan dilakukan pada 1966,ini pertama kalinya Gini Rasio Indonesia masuk ketimpangan menengah (di bawah 0,4 masuk ketimpangan rendah). Kesenjangan akut tampak dari penguasaan kue ekonomi. Pada 2010 kekayaan 40 orang terkaya sebesar Rp680 triliun (USD71,3 miliar),setara 10,3% PDB Indonesia. 

Jumlah kekayaan 40 orang itu setara kekayaan 15 juta keluarga atau 60 juta jiwa paling miskin (Prakarsa, 2011). Bila dilihat lebih jauh, 0,02% penduduk terkaya akumulasi kekayaannya setara 25% PDB (Winters, 2011). Kekayaan yang dimiliki oleh 43 ribu orang terkaya itu setara akumulasi kepemilikan 60% penduduk atau 140 juta orang. Menurut kalkulasi Perkumpulan Prakarsa (2011), situasi ini jauh lebih buruk dibandingkan kondisi menjelang kejatuhan Orde Baru (1997).

Saat itu kekayaan 1% penduduk masih setara dengan kekayaan 28% penduduk. Kekayaan yang semakin terkonsentrasi di secuil warga juga terjadi pada aset tanah. Bila pada 1983 indeks gini kepemilikan tanah 0,50, pada 2003 indeks gini mencapai 0,72. Ketimpangan kepemilikan aset di negeri amat akut: 56% aset nasional hanya dikuasai 0,2% dari jumlah penduduk. Ini berarti aset nasional hanya dikuasai 440 ribu orang. 

Konsentrasi kekayaan Indonesia kini lebih parah apabila dibandingkan negara tetangga: 3 kali lebih tinggi dari Thailand, 4 kali ketimbang Malaysia, dan 25 kali dibandingkan Singapura (Winters,2011). Uraian ini berujung satu hal: empat strategi Presiden SBY hanya pro-growth, tapi tidak pro-environment, apalagi pro-poor, dan pro-job.Tidak ada yang salah mengejar pertumbuhan tinggi.

Namun, pertumbuhan hanyalah alat, bukan tujuan pembangunan. Demikian pula pertumbuhan pendapatan nasional. Tujuan pembangunan bukan hanya soal uang. Apa gunanya pertumbuhan ekonomi dan pendapatan nasional tinggi apabila lingkungan rusak, orang tidak sehat, dan hidup tak nyaman. Karena itu, sejumlah negara mengadopsi alat baru dalam mengukur kemajuan perekonomian. 

Beberapa di antaranya kemiskinan, pengangguran, kelestarian lingkungan, kesehatan, dan kepuasan hidup. Sungguh menyejukkan apabila Presiden SBY berani menginisiasi dan mengadopsi ukuran- ukuran baru keberhasilan pembangunan.Pada saat yang sama, langkah itu harus dibarengi pelaksanaan reforma agraria untuk merombak struktur sosial-ekonomi yang timpang. 

Untuk menekan pengangguran dan kemiskinan,prioritas harus diberikan kepada sektor tradable, terutama pertanian, dengan membangun industri perdesaan, seperti disertasi Presiden SBY di IPB: “Pembangunan Pertanian dan Perdesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi-Politik Kebijakan Fiskal”. Jika itu dilakukan, kita berpeluang meninggalkan “pembangunan minus kesejahteraan”


Arah Layar Ekonomi


Arah Layar Ekonomi
Ahmad Erani Yustika ;  Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
KOMPAS, 31 Januari 2013



Akhir tahun lalu kita dikejutkan oleh beberapa data ekonomi yang mencemaskan. Di antara banyak data miris tersebut, angka kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja bisa menjadi representasinya.
Pertama, selama Maret-September 2012, angka kemiskinan hanya turun 0,3 persen. Itu artinya kemampuan pemerintah menurunkan angka kemiskinan makin lemah dari waktu ke waktu. Anehnya, penurunan ini terjadi bersamaan dengan makin besarnya anggaran yang digunakan untuk mengatasinya.
Kedua, sampai dengan Triwulan III 2012, data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi hanya mampu menyerap 180.000 tenaga kerja. Kinerja ini jauh lebih buruk ketimbang tahun 2010 (400.000 tenaga kerja) dan 2011 (225.000 tenaga kerja). Jika ditambahkan dengan data ketimpangan pendapatan yang menganga, problem terkait kualitas pembangunan pada beberapa tahun terakhir pun kian sempurna.
Sektor Pertanian Macet
Pemerintah berkilah penurunan kemiskinan yang lambat diakibatkan oleh persentase kemiskinan yang sudah relatif rendah sehingga setiap upaya pengurangan akan makin sulit. Argumen ini sebenarnya lemah karena kemiskinan ”alamiah” sebetulnya berada di kisaran 4 persen, yang disebabkan oleh adanya individu yang sakit (permanen), cacat, lanjut usia, dan lain sebagainya. Jika kemiskinan berada di kisaran 10 persen, masih terbuka kemungkinan untuk penurunan dalam persentase yang besar.
Dalam kasus sedikitnya jumlah kemiskinan yang bisa dikurangi dalam beberapa tahun terakhir, kemungkinan besar hal ini terkait dengan rendahnya pertumbuhan sektor pertanian dan industri yang selama ini menjadi kantung kemiskinan.
Pertumbuhan sektor pertanian nyaris tidak pernah di atas 3 persen, bahkan beberapa kali hanya sedikit di atas 2 persen (padahal pertumbuhan ekonomi rata-rata 6 persen). Intinya, nyaris mustahil mengurangi kemiskinan jika sektor pertanian tumbuh rendah (involusi pertanian).
Pola yang sama juga terjadi di sektor industri. Sektor tersebut sedikit membaik pertumbuhannya dalam dua tahun terakhir setelah sebelumnya berada dalam jebakan zona pertumbuhan rendah. Pada sektor industri ini kelemahan yang menonjol adalah keterlambatan pemerintah mengembangkan industri yang berbasis komoditas pertanian (agroindustri).
Aneka komoditas pertanian, perkebunan, perikanan/kelautan, peternakan, dan lain-lain hanya dijual dalam bentuk bahan mentah sehingga tidak memiliki nilai tambah. Implikasinya, mereka yang bekerja di situ terjebak dalam kondisi pendapatan yang rendah. Jika sektor hilir dibangun, maka minimal kemanfaatan yang diperoleh adalah: (1) penciptaan lapangan kerja yang besar karena menggunakan teknologi yang rendah/menengah; dan (2) daya beli pekerja kian meningkat karena barang yang diproduksi memiliki nilai tambah yang lebih tinggi.
Dalam soal penciptaan lapangan kerja ini, kegagalan pemerintah terletak pada struktur pertumbuhan ekonomi yang didominasi sektor non-tradeable. Sektor ini memang memiliki nilai tambah yang tinggi, tetapi elastisitas terhadap penciptaan lapangan kerja kecil. Implikasinya, setiap pertumbuhan yang terjadi pada sektor tersebut hanya akan menciutkan penciptaan lapangan kerja dan meningkatkan kesenjangan pendapatan.
Tentu saja pemerintah tidak harus mengurangi pertumbuhan sektor ini, tetapi mendorong sektor riil (industri dan pertanian) mengejar pertumbuhan tersebut agar lebih seimbang. Pada titik ini bukan sekadar dibutuhkan instrumen keuangan dan infrastruktur pendukung, melainkan lebih penting dari itu (seperti yang telah berulang kali disampaikan) adalah kesadaran untuk menempatkan sektor tersebut sebagai basis ekonomi nasional. Sejarah telah memberi pelajaran: negara yang melakukan pembangunan dengan benar selalu bertumpu kepada sumber daya ekonomi yang dimiliki.
Fatamorgana Pertumbuhan
Pola pembangunan seperti itulah yang pernah dipraktikkan Indonesia pada masa awal pembangunan (dekade 1970-an) sehingga bisa menurunkan kemiskinan dalam jumlah yang besar disertai ketimpangan pendapatan yang relatif rendah. Hasilnya, pada periode tahun 1980-1993 Indonesia (bersama dengan Malaysia) digolongkan sebagai model terbaik yang dalam waktu bersamaan dapat memadukan antara pertumbuhan ekonomi (yang memiliki konsekuensi penurunan kemiskinan/pertumbuhan berkualitas) dan pemerataan pendapatan.
Sebaliknya, Rusia (1980-1993) adalah kasus terburuk karena mencatat pertumbuhan ekonomi rendah dan ketimpangan pendapatan tinggi. China (1985-1993) dan Thailand (1981-1992), pertumbuhan ekonominya tinggi, tetapi pemerataan pendapatannya jelek. Sementara itu, Sri Lanka (1981-1990), pemerataan pendapatannya bagus, tetapi pertumbuhan ekonominya rendah (Fritzen, 2002).
Model pembangunan Indonesia pada masa itulah yang dalam 10 tahun terakhir ditiru oleh Vietnam sehingga pada periode 2002-2012 kemiskinan di sana turun dari 29,0 persen menjadi 9,5 persen. Artinya, dalam kurun 10 tahun kemiskinan turun 19,5 persen. Sebaliknya, Indonesia pada kurun yang sama hanya mampu menurunkan kemiskinan 6 persen (dengan menggunakan garis kemiskinan yang sangat rendah).
Oleh karena itu, persoalan Indonesia bukanlah keterbatasan konsep, melainkan keengganan mengadopsi sesuatu yang sudah pasti menjadi jalan permanen                   pembangunan. Pemerintah perlu bersikap teguh agar tidak gampang digoda oleh fatamorgana pertumbuhan yang menyilaukan ataupun intervensi para pemilik modal/kepentingan negara lain yang terbukti membusukkan perekonomian.
Saat ini merupakan momentum yang bagus, ketika pemerintah diingatkan betapa buruknya kinerja pengurangan kemiskinan dan lapangan pekerjaan, untuk mengarahkan layar ekonomi dengan kompas yang benar.


Korban yang Dikorbankan Hukum


Korban yang Dikorbankan Hukum
Bambang Widodo Umar ;  Guru Besar Sosiologi Hukum,
Pengajar Departemen Kriminologi, FISIP UI
KOMPAS, 31 Januari 2013



Meskipun Polres Banyumas, Jawa Tengah, telah menghentikan penyidikan kasus Ninik Setyowati, kasus itu menyimpan masalah hukum yang mendasar dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Oleh polisi, Ninik sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka atas kematian putrinya, Kumaratih Sekar Hanifah, yang terjatuh dan terlindas truk hingga tewas.
Sebagai korban, Ninik Setyowati tidaklah sendiri. Dari kasus-kasus yang lain terdapat juga korban-korban kejahatan yang tidak tertangani secara tuntas. Sebutlah seperti kasus Marsinah di Sidoarjo, Jawa Timur; kasus Udin di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta; kasus H Ohee di Papua; para aktivis 98 yang diculik dan hingga kini belum ditemukan, kasus mahasiswa Trisakti, juga kasus Munir. Sebagai fenomena hukum, masalah itu dianggap telah mengabaikan rasa kemanusiaan dan rasa keadilan dalam kehidupan masyarakat.
Keputusan Kepala Polres Banyumas AKBP Dwiyono untuk mendamaikan antara korban dan pelaku agar tidak meneruskan perkara—karena tekanan publik—bisa jadi merupakan terobosan hukum yang perlu dipikirkan dalam kaitan sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dari gonjang-ganjing peristiwa itu tampak sistem hukum di negeri ini masih ada kelemahan dan kekurangan yang fundamental dalam memberikan perhatian, khususnya perlindungan kepada subyek utamanya, ”korban”. Korban seperti sudah dikorbankan, dinafikan, bahkan disubordinasikan di hadapan subyek-subyek hukum lain, yakni pelaku dan aparat penegak hukum. Situasi semacam ini tentu bukan hanya mengkhianati ideal dasar dibentuknya hukum, tetapi juga sudah melanggar kemanusiaan itu sendiri.
Pada hakikatnya masyarakat paham, tugas dari sistem hukum beserta lembaga dan aparatusnya adalah menjaga ”kemuliaan manusia” sebagaimana difitrahkan Sang Pencipta-nya. Tugas tersebut bukan hanya menciptakan kondisi-kondisi dan infrastruktur yang memungkinkan manusia mempertahankan dan mengembangkan hak-hak dasarnya, serta mengembangkan ataupun mengaktualisasikan semua potensi-potensi kemanusiaan, tetapi juga suatu perlindungan ia akan terhindar dari tindakan-tindakan destruktif yang dapat menganiayanya, baik yang dilakukan oleh sesama manusia maupun oleh negara lewat institusinya.
Begitu pula polisi sebagai salah satu institusi hukum dalam mempertanggungjawabkan tugasnya. Tak wajar jika aparat kepolisian tak paham atas fungsinya dan bekerja tidak tepat saat warganya atau subyek hukum yang utama (baca: manusia) tak terhindar jadi korban dari tindakan destruktif atau kriminal.
Sistem Hukum Lemah
Memang masalah itu tidak sekadar akibat lemahnya kepolisian. Masalah itu juga karena, pertama, fundamen logis dan rasional dari sistem hukum kita yang mungkin sudah lemah atau keliru dasar filosofi dan epistemologinya. Ini tampak saat sistem hukum terjebak dalam paradigma yang melihat pada ”sebab-musabab” (dan mencegah) terjadinya tindak pidana, yang efeknya memaksa sistem hukum itu lebih fokus pada atau terdominasi oleh peran pelaku (pelanggar hukum) dan peran aparat/institusi (pelaksana hukum).
Kedua, sistem hukum kontinental (civil law) yang dibangun atas dasar logika oksidental (Eropa Barat)—sebagai tatanan masyarakat yang individual—tampak mengalami kesulitan atau ketidakcocokan dalam penerapannya di tengah masyarakat oriental (Timur). Termasuk di Indonesia yang memiliki realitas historis dan kultural bersifat komunal, yang bahkan sangat berbeda secara diametral dengan masyarakat Barat.
Ketiga, perlu disadari sistem hukum kontinental, sebagaimana sistem-sistem lainnya (sosial, politik, dan ekonomi), tampak dalam penerapannya lebih menjadi pelayanan bagi kepentingan elite-elite penguasa. Rakyat dan aparatus yang sebenarnya obyek utama dari ideal-ideal hukum justru jadi korban atau sumber eksploitasi dari proses hukum. Maka, korban pun menderita pukulan dua kali yang mematikan: (1) korban dari tindak kejahatan; dan (2) dari praktik hukum yang mengeksploitasi dan menyubordinasinya.
Nusantara ini bukanlah negeri yang tidak memiliki hukum. Masyarakat kita sudah memiliki peraturan-peraturan yang berlaku secara eksklusif bagi tiap-tiap kesatuan masyarakat. Peraturan itu juga berlaku secara eksklusif bagi anggota masing-masing komunitas yang sering kita sebut sebagai hukum adat.
Umumnya, hukum adat tak mengenal perbedaan antara hukum privat dan hukum publik, seperti yang dikenal dalam hukum modern. Semua satu kesatuan, baik yang dikenal sebagai hukum acara pidana ataupun perdata. Begitu pula lembaga-lembaga yang mengaturnya.
Seseorang dapat dinyatakan bersalah bila dianggap mengganggu keseimbangan yang ada dalam masyarakat tersebut. Dalam logika oriental, pandangan rakyat Indonesia terhadap alam semesta merupakan suatu totalitas. Manusia beserta makhluk yang lain dengan lingkungannya merupakan satu kesatuan. Menurut alam pikiran ini, yang paling utama adalah keseimbangan atau hubungan harmonis antara satu dan yang lain.
Karena itu, segala perbuatan yang mengganggu keseimbangan merupakan pelanggaran hukum (adat). Di setiap pelanggaran hukum, para pemangku adat akan mencari jalan bagaimana mengembalikan keseimbangan yang terganggu dalam bentuk upaya atau berupa pembayaran keseimbangan yang terganggu. Pembuktiannya didasarkan pada apa yang namanya kekuasaan atau kehendak Tuhan.
Keadilan Restoratif
Dalam kaitan itu, akhir-akhir ini muncul pemikiran tentang keadilan restoratif yang dianggap sebagai pendekatan dan arus utama berpikir tentang perlunya perubahan menyangkut sistem hukum di Indonesia. Secara umum, keadilan restoratif merupakan konsep yang merespons sistem peradilan pidana yang menitikberatkan pada pelibatan masyarakat dan korban yang teralienasi dalam mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada.
Penganut paham ini berpendapat, hukum bertitik tolak tidak hanya pada pelaku, juga pada korban, masyarakat, dan penegak hukum itu sendiri. Dalam hal ini, korban utamanya bukannya ”negara” seperti yang dianut oleh sistem peradilan pidana sekarang, tetapi seluruh unsur peradilan pidana, yakni penegak hukum, masyarakat, korban, dan pelaku. Dengan kata lain, keadilan restoratif merupakan suatu paham untuk menumbuhkan tanggung jawab bersama sebagai respons konstruktif atas kesalahan dari semua pihak.
Dari sini kiranya perlu perenungan bagi semua pemangku hukum untuk mencari dan mendapatkan landasan filosofi dan epistemologi bagi sistem hukum yang benar-benar sesuai kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia. Melalui hukum adat dari berbagai suku bangsa yang ada di negeri ini, yang telah mempraktikkan sepanjang ratusan atau ribuan tahun, kiranya dapat diteliti apa sesungguhnya landasan hukum yang sesuai bagi bangsa Indonesia. Sebuah usaha keras dan sungguh-sungguh perlu dilakukan.


Republik yang Tersandera


Republik yang Tersandera
Agus Hernawan ;  Pernah Studi Advocacy di SIT-Vermont, Amerika Serikat
KOMPAS, 31 Januari 2013

  
If you repeat a lie often enough, it becomes politics
Ungkapan sinis di atas tampaknya paling tepat dan mewakili opini publik sepanjang 2012. Publik kecewa terhadap segala kebohongan dan prestasi buruk para politisi kita. Baik di pusat maupun daerah, masyarakat menyaksikan semua tingkah laku yang tidak pantas dalam pemberitaan media.
Kepercayaan publik terjun bebas ke titik terendah. Advokasi berbagai kasus pun terpaksa dilakukan secara swadaya melalui situs jejaring sosial, meninggalkan ”rumah wakil rakyat” yang sudah menjadi pasar jual-beli kepentingan kaum tebar pesona.
Kultur kekuasaan politik yang dibidani demokrasi justru menjadi sumber resesi demokrasi. Ia menganga sebagai lubang hitam dalam kehidupan kebangsaan. Di daerah, kekuasaan politik menjadi cara untuk merampok kekayaan daerah.
Sementara itu, di tingkat nasional, kekuasaan politik menjadi ajang pelembagaan dinasti politik. Kekuasaan politik makin jauh dari pemaknaan modalitas keadaban dan kebajikan kepada publik.
Untuk kepemimpinan nasional, opini publik tidak jauh beda. Perhitungan kualitatif pada hasil survei sejumlah lembaga survei yang dirilis tahun lalu, seperti CSIS (Februari 2012), Soegeng Sarjadi Syndicate (Juni 2012), Saiful Mujani Research & Consulting (Juli, 2012), Indonesia Network Election Survey (19 November 2012), Lembaga Survei Indonesia (28 November 2012) menegaskan hal itu.
Sebanyak 25,2 persen menginginkan pemimpin yang jujur, 22,1 persen memilih pemimpin yang tegas, 20,3 persen pada kapabilitas kepemimpinan, 14,8 persen pada pemimpin yang bersih dan tak pernah terlibat KKN, 11,1 persen menginginkan pemimpin yang dapat dipercaya, 2,3 persen memilih pemimpin tidak pernah terlibat kriminal, 1,6 persen pada pemimpin yang prorakyat, dan 1,4 persen pada pemimpin yang cerdas, serta 1,2 persen memilih pemimpin yang mengedepankan pluralisme.
Preferensi mayoritas ialah lahirnya pemimpin yang jujur, bersih, dan dapat dipercaya. Inilah harapan dan impian banyak orang di 2014.
Kultur Kekuasaan Politik
Nelson Mandela, dalam Long Walk to Freedom, menuliskan, ”A leader is like a shepherd. He stays behind the flock”. Konsep kepemimpinan yang disebut leading from behind ini digali Mandela dari khazanah kultur Afrika tentang bagaimana pemimpin itu seharusnya. Dalam praktik, konsep leading from behind ini menjadi kerangka kepemimpinan transformatif dan emansipatif di banyak negara, tidak terkecuali Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Obama.
Di Indonesia, kerangka kepemimpinan masih elitis dan eksklusif. Kekuasaan politik konstitusional yang dilahirkan elektoral supermahal sejauh ini belum berdampak makro pada perbaikan kualitas kehidupan rakyat.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang mestinya jadi acuan standar tata kelola pemerintahan, termasuk pengawasan oleh legislatif, hanya lembar regulasi mati. Pemenuhan pelayanan publik dasar, seperti pendidikan, kesehatan, penyediaan air bersih, sanitasi, dan manajemen limbah, dinomorsekiankan.
Yang lebih dikejar ialah arus masuk investasi lewat strategi konversi lahan produktif dan menyepak petani mandiri untuk menjadi stok buruh murah yang berlimpah. Orientasi jelas bukan untuk distribusi keadilan ekonomi, melainkan konsentrasi akumulasi kapital di genggaman sekelompok orang.
Begitupun, aplikasi Fakta Integritas yang dikembangkan oleh lembaga Transparency International pada tahun 1990-an yang dikuatkan oleh Keppres No 80/2003 sama sekali tidak punya nyawa. Aplikasi Fakta Integritas sebatas di atas kertas. Di sejumlah daerah, Fakta Integritas justru dimusuhi karena menuntut transparansi kontrak-kontrak pemerintah, terutama soal pengadaan barang dan jasa, privatisasi, lelang bagi lisensi ataupun konsesi.


Infrastruktur dan Neraca Perdagangan


Infrastruktur dan Neraca Perdagangan
Mirza Adityaswara ;  Pengurus Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI)
KOMPAS, 31 Januari 2013



Apa hubungan defisit infrastruktur dengan defisit neraca perdagangan?
Defisit infrastruktur berarti infrastruktur publik kurang: jalan, transportasi umum, air bersih, jembatan, bandara, pelabuhan, waduk, listrik, pencegah banjir, dan lain lain. Defisit neraca perdagangan berarti nilai impor barang lebih tinggi daripada nilai ekspor barang, baik minyak dan gas maupun nirmigas. Hubungan keduanya terletak pada ketersediaan dana.
Pembangunan infrastruktur di Indonesia di masa desentralisasi dan demokrasi ini membutuhkan kemampuan perencanaan dan eksekusi yang tangguh sebab pembebasan tanah di zaman ini berlarut-larut. Namun, pembangunan infrastruktur juga butuh dana besar. Di zaman desentralisasi ekonomi, beban tanggung jawab penyediaan infrastruktur publik lebih besar bertumpu pada pemerintah daerah. Sayangnya, pemda tak punya sumber daya yang cukup untuk menyediakan infrastruktur publik yang butuh dana besar.
Pada APBN 2013 pemerintah pusat, alokasi dana infrastruktur sekitar Rp 201 triliun. Kelihatan- nya besar, tetapi sebenarnya lebih kecil daripada pengeluaran bagi subsidi energi yang dianggarkan Rp 274 triliun dari seluruh anggaran pengeluaran pemerintah yang Rp 1.683 triliun itu.
Kealotan negosiasi pendanaan penanganan banjir dan pembangunan transportasi cepat massal (MRT) di Jakarta kian meya- kinkan kita bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus berbagi mengalokasikan dana yang besar untuk infrastruktur.
Kota-kota Besar
Jika dalam 20 tahun menda- tang pertumbuhan ekonomi di daerah naik pesat, sudah saatnya kota besar seperti Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Palembang, dan Makassar mempersiapkan transportasi umum ala MRT atau monorel serta infrastruktur pencegah banjir agar warganya tidak stres. Warga yang stres akan mengganggu stabilitas politik dan keamanan.
Berbeda dengan sektor infrastruktur yang kurang dana, defi- sit neraca perdagangan di Indonesia justru terjadi karena melimpahnya dana. Hanya saja, dana itu bersumber dari subsidi yang penggunaannya tak produktif. Neraca perdagangan yang defisit—selama 50 tahun tak pernah terjadi—kita alami pada 2012. Ini disebabkan peningkatan impor nonmigas dan penggunaan dana subsidi untuk impor BBM.
Peningkatan konsumsi BBM, ditambah dengan produksi minyak yang menurun, membuat impor hasil minyak terus naik sehingga tak mampu lagi ditutup oleh ekspor migas. Sementara itu, subsidi BBM sebagian didanai oleh penerbitan utang baru pemerintah. Namun, kenyataannya pengorbanan itu malahan dinikmati mereka yang mampu beli mobil, bahkan mobil mewah.
Tentu saja BBM subsidi banyak dinikmati warga pesepeda motor. Namun, kebanyakan anggota masyarakat beli sepeda motor karena terpaksa: tak tersedia transportasi publik yang memadai. Yang memprihatinkan, murahnya harga BBM di dalam negeri ditengarai telah membuat kebocoran. BBM bersubsidi digu- nakan industri besar dan mendo- rong penyelundupan BBM. Artinya, pemerintah menyubsidi BBM dengan menerbitkan utang baru serta menggunakan devisa mengimpor BBM yang ternyata tak dinikmati oleh orang miskin.
Dalam kurun Januari-November 2012, ekspor migas hanya 34 miliar dollar AS, sementara impor migas sudah mendekati 39 miliar dollar AS. Terjadi defisit hampir 5 miliar dollar AS. Defisit neraca perdagangan migas merupakan faktor penyebab utama pelemahan (depresiasi) kurs rupiah akhir-akhir ini.
Lagi pula, melemahnya ekspor komoditas nonmigas, seperti batubara, kelapa sawit, dan nikel, kian menekan kinerja ekspor Indonesia dan mengganggu stabilitas cadangan devisa. Akibatnya, neraca perdagangan Indonesia defisit 1,3 miliar dollar AS, padahal di tahun 2011 dalam kurun sama (Januari-November) surplus besar: 25 miliar dollar AS.
Penurunan kinerja ekspor nonmigas telah menurunkan pula kinerja penerimaan pajak nonmigas pada 2012. Subsidi energi pada 2012 mencapai Rp 306 triliun. Memang betul, defisit APBN masih aman dipandang dari sisi rasionya terhadap PDB: di bawah 2 persen PDB. Jumlah kumulatif utang pemerintah juga di bawah 30 persen PDB (patokan bahaya adalah jika utang pemerintah di atas 60 persen PDB).
Selama utang dipakai untuk kegiatan produktif, boleh saja individu, perusahaan, atau pemerintah berutang. Yang mengkhawatirkan adalah APBN 2012 sudah defisit primer Rp 72 triliun. Artinya, penerimaan tak cukup membiayai pengeluaran di luar utang. Akibatnya, bayar utang harus dengan utang baru.
Problem Serius
Semakin besar subsidi BBM, semakin besar defisit anggaran pemerintah. Ini mengorbankan hak warga memperoleh infrastruktur dan fasilitas kesehatan yang lebih baik. Dana pengembangan inovasi teknologi dan penguatan pertahanan keamanan pun berkurang. Jika kita tak serius menangani penyebab defisit neraca perdagangan migas, dalam beberapa tahun ini bisa menjadi problem serius: menjalar menjadi defisit stabilitas sektor keuangan seperti kita alami pada 2005 dan 2008.
Kurs rupiah yang melemah sa- at ini masih terkendali sehingga dapat mengurangi impor nonmigas dan meningkatkan daya kompetisi produk ekspor nonmigas. Namun, apabila investor pasar keuangan tidak lagi percaya kepada kualitas pengelolaan makroekonomi Indonesia, itu tidak baik bagi stabilitas sistem keuangan. Para spekulan akan menyerang pasar rupiah dan pada gilirannya mengganggu stabilitas produksi barang dan jasa di masyarakat.
Saat ini minat investor di pasar modal dan penanaman modal asing sedang tinggi ke Indonesia karena kondisi negara maju yang sedang suram. Pada saat seperti ini kebijakan ”sedikit’ pengura- ngan subsidi BBM harus diambil sebelum terlambat.


Takluknya Hukum di Tangan Bandar


Takluknya Hukum di Tangan Bandar
Mariyadi Faqih ;  Kandidat Doktor Ilmu Hukum di PPS Universitas Brawijaya
MEDIA INDONESIA, 30 Januari 2013



“JIKA dalam diri seseorang masih memberi tempat liberal bagi hedonisme (pemujaan kesenangan), para penjahat akan terus menjadikannya sebagai lahan empuknya,“ demikian pernyataan Syafik A Hasan (2011) yang sebenarnya mengingatkan setiap elemen sosial supaya tidak gandrung dengan perburuan kesenangan seperti kepuasan instan.

Sayangnya, tidak sedikit ditemukan elemen sosial di negara ini yang lebih memilih dan menyukai pendewaan kesenangan atau perburuan kepuasan sesaat, meski kepuasan sesaat itu jelas-jelas menyesatkan dan potensial menghancurleburkan diri dan orang lain.

Itu dapat terbaca dalam kasus keterperangkapan sejumlah artis atau selebritas terhadap penyalahgunaan narkoba. Mereka itu seperti tidak berkutik ketika penjahat menjual dan menyebarkan narkoba sebagai `teror' yang mematikan dirinya. Dirinya seperti sudah menyerah pasrah dilucuti dan dijadikan objek mainan oleh para produsen dan distributor narkoba.

Para artis yang menyerah di tangan pebisnis narkoba itu tak ubahnya zombi (mayat hidup). Konsekuensi sebagai mayat hidup itu ialah menerima diperintah pihak-pihak yang menguasainya. Mereka kehilangan kecerdasan moral dan intelektualnya, tidak bisa dan tidak terbiasa melakukan penolakan saat para pebinis narkoba menguasai mereka. Konstruksi pikiran dan gerakannya selalu mengikuti rumus-rumus atau doktrindoktrin jagat bisnis sesat yang dikonstruksikan pihak yang mencengkeramnya.

Para selebritas itu menjadi sangat gampang dicengkeram atau dijadikan lahan empuk oleh pebisnis narkoba lebih karena praktik `korupsi' moral profetik yang dilakukan oknum hakim yang juga menyerah, dan takluk di bawah kekuatan mafioso narkoba.
Karena yang dikuasai pebisnis narkoba ialah kekuatan utama di lini penegakan hukum (law enforcement), jelas akibatnya tentulah sangat fatal bagi keberlanjutan hidup bangsa. Bukan hanya norma yuridis, jagat peradilan, atau wilayah berlakunya hukum yang terdestruksi, melainkan juga konstruksi kehidupan masyarakat rusak di sanasini. Jaringan pebisnis narkoba menjadi kian liberal dan akseleratif.

Dosa Hakim

Terbukti, negeri ini semakin lama semakin nyaman bagi pebisnis narkoba. Mereka tak pernah jera karena para pengelola negeri ini masih saja gemar bermainmain dengan hukum. Beberapa tahun lalu, Indonesia cuma menjadi negara transit oleh sindikat internasional. Namun, label itu telah lama luntur dan l berubah wajah menjadi destib nasi penjualan.

Indonesia bahkan mulai dikenal sebagai sentra produksi narkoba itu. Narkoba dari mancanegara tiada henti membanjiri negeri ini. Ingat saja bagaimana Polda Metro Jaya menyita 351 kg sabu asal China, Mei 2012. Dua pekan berikutnya, aparat Badan Narkotika Nasional (BNN) mengamankan 1,5 juta pil ekstasi juga asal China. Setelah tiarap beberapa saat, gembong narkoba kembali menggila akhir-akhir ini. 

Pada Kamis (11/10), sebanyak 2,6 kg sabu dicoba diselundupkan di Bandara Internasional sional Lombok, tapi d i ga galkan aparat. Dua hari berselang, di tempat yang sama, giliran 3,7 kg hasyis atau olahan ganja dapat disita. Begitu juga 5 kg sabu yang hendak diselundupkan lewat Bandara Ahmad Yani, Semarang, Jawa Tengah.

Kasus tersebut tidak bisa tidak kecuali menuntut pertanggungjawaban moral aparat penegak hukum (hakim). Hakim menanggung dosa yang tidak ringan terkait dengan maraknya bisnis narkoba dan berbagai bentuk dampak serius yang menyerang bangsa ini akibat distribusi narkoba. Selebritas yang makin banyak terlibat narkoba hanya menjadi contoh. Mereka menjadi contoh pembenaran bahwa pebisnis narkoba semakin sukses menjadikan negeri ini sebagai ‘zamrud khatulistiwanya’.

Dampak itulah yang sering tidak menjadi substansi cerdas dan empiriknya konsiderasi putusan hakim. Hakim barangkali hanya terfokus menjatuhkan vonis sesuai dengan pengetahuan dan kemampuannya, dan tidak benarbenar mempertimbangkan sisi dampak yang terjadi di tengah masyarakat akibat putusan yang dijatuhkannya. Apa yang diputuskannya lebih condong pada kepentingan formalisme hukum dan hak asasi pelaku, serta perkoncoannya dengan pebisnis. Sementara itu, kepentingan publik terabaikan.

Gurita Jaringan

Praduga terhadap kinerja beberapa oknum hakim dan relasinya dengan sindikat narkoba itu setidaknya dapat dikaitkan dengan kondisi berikut; pertama, ditangkapnya seorang hakim saat sedang menjadi pecandu atau pengguna narkoba. Sangat disayangkan masyarakat, sosok yang diharapkan menjadi subjek hukum yang teguh menjalankan (menegakkan) norma-norma yuridis justru terlibat dalam perkara pidana yang pidana yang sedang menjadi musuh bersama di tengah masya rakat.

Kedua , `keberanian' hakim dalam menjatuhkan putusan yang meringankan atau menggagalkan putusan hukuman mati atas pelaku narkoba. Hukuman mati bagi pelaku narkoba itu sudah tepat seiring dengan kebijakan pemerintah yang memang sudah menetapkan pebisnis narkoba ialah musuh bersama yang wajib dihukum seberat-beratnya.

Faktanya pebisnis narkoba tidak bisa dianggap main-main oleh siapa pun, termasuk oleh hakim yang memeriksa atau memutus perkara narkoba.

Pebisnis narkoba merupakan salah satu rezim global yang mempunyai jaringan besar dan kuat untuk mengamankan, memperluas, dan melanggengkan bisnis mereka. Mereka tidak ingin jaringan bisnis sampai diputus, dilemahkan, atau dibuat kehilangan pasar strategisnya akibat ulah aparat penegak hukum.

Kuatnya pasar narkoba itu dapat terbaca dalam data BNN yang menunjukkan di negara ini, bisnis narkoba merupakan profesi `primadona'. Terbukti sebanyak 49,5 ton sabu, 147 juta ekstasi, 242 ton ganja, dan hampir 2 ton heroin lepas dari jerat petugas sepanjang 2011.

Profesi `primadona' itu semakin mendapatkan tempat akibat kinerja peradilan (hakim) yang bersedia menjadi zombi atau menyerah memperlakukan dirinya sebagai mesin mati yang dioperasikan pebisnis narkoba.

Para peneliti atas putusan hakim menyampaikan testimoni konklusi mereka, bahwa Indonesia sudah sampai taraf darurat narkoba. Sekitar 15 ribu warga setiap tahun mati percuma. Kita miris, tetapi lebih miris lagi lantaran pengelola negara ini justru terus larut dalam ketidakberdayaan (empowerless). Ketidakberdayaan itu dapat terbaca dengan gampang melalui kinerja hakim yang memanjakan pebisnis narkoba. Mereka membuat pebisnis itu masih berpeluang besar memperluas dan memperbesar jaringan.

Sebagaimana diungkap Subhan Hadi (2011), ketertaklukan aparat penegak hukum di tangan sindikat narkoba merupakan wujud kemenangan pebisnis narkoba. Narkoba tidak hanya mampu mengalahkan aparat atau membuat aparat penegak hukum kehilangan kecerdasan nurani dan intelektualitasnya, tetapi juga kehilangan sensitivitasnya terhadap kebutuhan bangsa ini atas kualitas moral generasi.

Ketertaklukan hakim untuk dimainkan sindikat (pebisnis) narkoba telah terbukti mengakibatkan jagat hukum mengalami centang-perenang atau sengkarut. Jagat hukum bisa dinilai oleh publik bukan sebagai lembaga pengayom dan penjaga keberlanjutan hidup manusia, tetapi dinilainya sebagai mesin-mesin pembunuh atau korporasi yang merestui penjagalan hak hidup masyarakat.

Hukum yang menurut filsuf Van Kant berorientasi memberikan kedamaian bagi manusia justru menjadi instrumen untuk menyebarkan atau merestui merajalelanya ‘teror’ lewat zat-zat adiktif. Ulah hakim agung yang menganulir vonis mati gembong narkotika (kasus Hanky Gunawan) tidak boleh ditiru dan dikembangkan hakim lainnya. Pebisnis narkoba itu telah secara sistematis dan masif melakukan pembunuhan terhadap generasi muda, termasuk secara tidak langsung menjadikan selebritas sebagai lahan pembantaian.

Idealnya hakim bisa memutus jaringan narkoba dengan cara menjaga konsistensi di lini penegakan hukum maksimal dan progresif terhadap berbagai keinginan terpidana atau narapidana, kecuali hakim itu memang telah menyerah dalam cengkeraman pebisnis narkoba itu. Jika hakim bermental demikian itu tidak berusaha menyembuhkan dirinya, ditakutkan negeri ini akan semakin mengabsolut untuk dijadikan lahan pemasaran utama para pebisnis narkoba, di samping keberadaan hakim tak lebih hanya menjadi aktor terjadinya penyebaran berbagai ragam penyakit yang menggerogoti dan mematikan setiap elemen bangsa.