Kamis, 24 Januari 2013

Meneladani Praktik Politik Nabi


Meneladani Praktik Politik Nabi
Mohammad Nasih ;  Pengajar “Pemikiran Politik Islam” di Program Pascasarjana 
Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, 
Ketua Umum Perkumpulan Pemimpin Muda Indonesia (PPMI)  
SINDO, 24 Januari 2013



Muhammad bin Abdullah merupakan seorang pribadi paripurna (insan kamil) dan karena itu memperoleh berbagai predikat mulia dari dulu hingga sekarang. 

Berbagai kelebihan pada dirinya telah membuatnya menjadi orang paling berpengaruh di seluruh dunia (lihat juga Michael Heart) dan pengaruhnya kian besar karena makin diakui, tidak hanya oleh orang-orang yang memeluk agama Islam, tetapi juga oleh orang-orang non-Islam, bahkan yang menentang kerasulannya sekalipun. Orang-orang yang menentangnya pada masanya sesungguhnya semata karena kekhawatiran kehilangan posisi duniawi yang telah ada pada mereka.

Sebab, mereka berkalkulasi sederhana bahwa mengakui Muhammad adalah nabi dan utusan Allah akan berimplikasi pada perubahan konstelasi pengaruh dalam masyarakat yang salah satu kemungkinan terbesarnya adalah degradasi pengaruh mereka karena tersedot oleh pesona Muhammad yang luar biasa. Saat ini,makin banyak ilmuwan dan peneliti Barat yang dengan tegas mengakui berbagai kelebihan Nabi Muhammad yang membuat sebagian mereka mengakui kebenaran kerasulannya. 

Di antara prestasi besar Nabi Muhammad adalah keberhasilannya membangun peradaban politik di Madinah. Tak lama setelah hijrah ke Madinah, dengan modal kepercayaan kalangan Anshar, Nabi Muhammad berhasil membangunnya sebagai sebuah negara yang maju. Kemajuan tersebut bisa diraih karena Nabi Muhammad berhasil menggalang persatuan di antara berbagai entitas politik yang ada di sana.

Masyarakat dengan pluralitas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang sebelumnya sering terlibat konflik dan saling bunuh, ditambah lagi dengan kaum imigran (muhajirin), kemudian mampu hidup berdampingan dengan paradigma sangat inklusif di bawah kepemimpinan politik Nabi Muhammad. Di Madinahlah Nabi Muhammad memainkan dua peran sekaligus, tidak hanya sebagai pemimpin agama bagi para pengikutnya, tetapi juga pemimpin politik-kenegaraan bagi seluruh warga-negara Madinah. 

Membangun Konsensus 

Nabi Muhammad berhasil membangun konsensus dengan berbagai kelompok sebagai aturan main demi menjamin kebersamaan di antara mereka dan terutama untuk mempertahankan eksistensi negara Madinah dari ancaman luar. Konsensus tersebut kemudian terkenal dengan sebutan Piagam Madinah (Mîtsâq al-Madînah) dan konsensus tersebut dijalankan secara konsisten oleh Nabi Muhammad sebagai pemimpin politik tertinggi. 

Dalam konsensus tersebut tidak ada perbedaan antara satu entitas SARA yang satu dengan yang lain di hadapan negara. Siapa pun yang melakukan pelanggaran ditindak secara tegas. Bahkan terhadap keluarga sendiri, Nabi Muhammad menerapkan prinsip ketegasan tersebut. Kepemimpinan yang tegas tersebut tampak dalam sabda Nabi: “Seandainya Fathimah putri Muhammad mencuri, maka akan kupotong sendiri tangannya.
Dalam konteks penegakan aturan main dalam konsensus inilah Yahudi terusir dari Madinah dan mendapatkan hukuman berat. Itu terjadi bukan karena mereka beragama Yahudi, melainkan karena kalangan Yahudi melakukan pelanggaran terhadap perjanjian, di antaranya berkomplot dengan kalangan di luar Madinah untuk merongrong negara Madinah dan itu terjadi berkali-kali sehingga berkali-kali kalangan Yahudi dari sukusuku yang berbeda mendapatkan hukuman sehingga mereka habis sama sekali. 

Berbeda dengan kalangan Nasrani dan yang lain yang tetap tunduk dan patuh kepada konsensus, mereka tetap bisa hidup berdampingan di Madinah. Dalam menjalankan kepemimpinan, Nabi Muhammad tampil sebagai seorang yang sangat profesional. Profesionalitas Nabi Muhammad sesungguhnya telah dikenal jauh-jauh hari sebelum diangkat sebagai nabi dan rasul. Sejak belia, Muhammad telah mendapatkan gelar al-amin (yang dapat dipercaya). 

Bahkan karena track record-nya yang selalu berkata benar itu, Abu Bakar, ketika didatangi oleh seseorang yang meragukan kabar Muhammad telah mengalami proses Israk Mikraj, hanya mengatakan: “Jika Muhammad mengatakan demikian, itu adalah benar.” Dalam konteks ini, kepemimpinan Nabi sesungguhnya adalah kepemimpinan berdasarkan rekam jejak yang mengagumkan yang dilihat secara langsung oleh masyarakatnya. 

Panggilan 

Nabi menjalankan kepemimpinan politik di Madinah sebagai panggilan untuk menata kehidupan masyarakat. Cita atau semangat kemajuan yang dimilikinya tampak dengan perubahan nama Yatsrib menjadi Madinah, yang berarti kota. Kata madinah memberikan orientasi kepada masyarakatnya tentang keadaban dan keberadaban, meninggalkan kebiadaban. Perbedaan antara masyarakat Mekkah dengan Madinah adalah pada semangat keberadabannya itu. 

Keduanya memiliki pluralitas yang samasama tinggi, tetapi di dalamnya terdapat cara hidup yang berbeda. Di Mekkah, masyarakat yang terdiri atas berbagai entitas SARA hidup dalam suasan asarat konflik karena masing-masing ingin menjadi unggul dengan merendahkan dan menghinakan yang lain. Sementara di Madinah, masyarakat bisa hidup berdampingan dengan sangat baik karena memandang bahwa pluralitas bukanlah alasan untuk melakukan konflik, apalagi saling menegasikan dan membinasakan. 

Nabi Muhammad juga mampu menunjukkan bahwa dirinya bukanlah orang yang menjalankan peran sosial politik untuk memperoleh keuntungan demi pribadi dan/atau keluarganya. Hal itu nyata dari fakta bahwa Nabi Muhammad mengonstruksi sebuah tatanan atau sistem politik yang di dalamnya kekuasaan diwariskan. Nabi tidak pernah mewariskan kekuasaan yang ada padanya kepada siapa pun, termasuk kepada keluarganya. 

Dengan demikian, kekuasaan politik yang ada pada Nabi Muhammad selama hidupnya tidak jatuh kepada seseorang karena pertimbangan garis kekeluargaan, melainkan karena kualitas pribadi para khalifah dengan kapasitas, kapabilitas, dan akseptabilitas yang mereka miliki. Kepemimpinan pasca-Nabi ditentukan oleh umat sendiri yang bersepakat untuk mengangkat siapa yang layak menjadi pemimpin mereka. 

Dan salah satu bukti pendukung bahwa peran sosial politik Nabi dijalankan karena panggilan jiwa adalah pada saat yang bersamaan dengan itu ia memiliki kemapanan finansial. Nabi Muhammad tidak menjadikan kekuasaan politik yang ada padanya sebagai kesempatan untuk memperbesar akumulasi kapital. 

Bahkan, Nabi Muhammad meninggal dunia dalam keadaan papa karena harta kekayaannya habis untuk perjuangan sehingga sebuah baju perangnya masih tergadai pada seorang Yahudi. Itulah berbagai contoh terbaik yang seharusnya menjadi teladan bagi politisi sekarang agar bisa membangun negara bangsa Indonesia sebagai negara yang maju, yang bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dalam pergaulan dunia. Wallahu a’lam bi alshawab. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar