Jumat, 25 Januari 2013

Agar Perizinan Polri Pro-Kreativitas Warga


Agar Perizinan Polri Pro-Kreativitas Warga
Samsul Wahidin ;  Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unmer Malang
JAWA POS, 25 Januari 2013



PERIZINAN yang menjadi kewenangan Polri untuk menggelar aktivitas umum, yang dalam bahasa hukumnya "izin keramaian", memang kontroversial. Tidak ada ukuran kuantitatif tentang batasan waktu dan penyebab, mengapa sebuah izin aktivitas tertentu diberikan dan tidak diberikan. 

Dalam bahasa ketatanegaraan, tidak diberikannya sebuah izin itu melanggar HAM. Menjadi hak setiap orang untuk berekspresi, sepanjang ekspresi itu tidak melanggar hak orang lain. Bahwa ada orang yang merasa terganggu atas sebuah aktivitas, seharusnya tidak boleh dilarang aktivitasnya, namun dengan meniadakan faktor penyebab ketergangguan itu. 

Rencana Slank menggugat kewenangan Polri di bidang perizinan itu sangat apresiatif. Dalam arti tidak saja bagi pegiat keramaian, tapi juga bagi Polri sendiri, sebagai satu pengujian apakah kinerja dalam menafsirkan UU tentang kewenangannya dalam menerbitkan perizinan untuk penyelenggaraan keramaian itu konstitusional atau tidak.

UU Kepolisian 

Ketentuan yang menjadi krusial dan dinilai bermasalah itu adalah pada pasal 15 ayat 1 huruf k, bahwa Polri memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian. Pada ayat 2 dinyatakan bahwa Polri sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang: memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya. Untuk tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud itu diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. 

Ketentuan itu bersifat multiinterpretatif (mengandung banyak penafsiran). Pertama, dari sisi gramatical interpretative, dan ini yang dijadikan dasar oleh Polri - bahwa jelas kewenangan untuk memberikan izin itu didelegasikan kepada Polri. Artinya, Polri berwenang menjabarkan ketentuan tersebut sesuai dengan visinya tentang penyelenggaraan keamanan.

Penilaian subjektif atas penyelenggaraan keamanan mempertimbangkan mulai tingkat kerawanan yang muncul, kekuatan antisipasi yang dimiliki, sampai kepada akibat yang akan muncul baik ketika aktivitas diselenggarakan maupun sesudahnya, beserta hal teknis lain. Untuk itu, rekam jejak berbagai penyelenggaraan aktivitas sejenis dan penyelenggara yang sama menjadi evaluasi Polri dan menentukan izin layak diberikan atau tidak.

Kedua, sociologische interpretatie, atau penafsiran sosiologis atas suatu aktivitas dikaitkan dengan kondisi sosial dalam arti luas. Misalnya, dalam penyelenggaraan izin sepak bola, dikaitkan dengan fanatisme sosial di sekitar penyelenggaraan. Sekitar, dalam arti lokasi maupun waktunya. Demikian pula keramaian yang berhubungan dengan aktivitas musik. Fanatisme para penonton terhadap jenis, profil, dan waktu serta tempat tertentu memang diakui sering berefek samping kerusuhan yang mengganggu.

Ketiga, pada tataran normatif memang hak mengeluarkan pendapat dan ekspresi dijamin konstitusi yang tidak boleh dibatasi oleh siapa pun. Baik oleh pemerintah bahkan oleh negara sekalipun. Kewenangan yang dimiliki pemerintah adalah mengatur (regelen), agar sebuah aktivitas tidak mengganggu keamanan dan ketertiban. 

Bahwa pengaturan itu berpretensi pembatasan, di sinilah yang seharusnya diklarifikasi dan tak boleh inkonstitusional. Bahwa penjabaran berikutnya secara administratif sudah memenuhi syarat yaitu dalam peraturan pemerintah tentang prosedur standar bagaimana seseorang atau sekelompok orang mengadakan keramaian dan mengajukan izin, itu satu hal. Namun, pada sisi lain, dan justru letak permasalahannya adalah pada penilaian yang secara kuantitatif tidak terukur. Dalih bersifat standar demi keamanan dan menimbulkan gangguan (hinder), adalah satu parameter yang sangat subjektif.

Diskresi Kepolisian

Dimensi administratif yang berkait dengan interpretasi dalam masalah perizinan ini adalah sebagai diskresi (discretionary) Polri, ketika menjabarkan sebuah ketentuan yang menjadi kewenangannya. Namun, penjabaran itu harus tetap tak boleh keluar dari konstitusi. 

Makna diskresi (sistem Anglo Amerika) atau freies ermessen (Eropa Kontinental) adalah pembuatan atau pengambilan kebijakan, karena hal itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Selama ini aplikasinya bersifat induktif, yaitu berangkat dari sifat kasuistik dan kondisional baru kemudian diorientasikan pada komunitas sosial yang lebih luas. Jadi, dari kasus per kasus kemudian diorientasikan kepada keadaan yang lebih umum. 

Paradigma diskresi seharusnya diubah dengan sifat deduktif, yaitu berangkat dari komunitas sosial yang lebih luas, baru kemudian kepada yang lebih teknis, pada aktivitas dan komunitas yang lebih spesifik. Secara administratif, penafsiran dari sisi Polri sudah tepat karena sesuai dengan kewenangan konstitusional. Hanya, prinsip induktif yang menjadi dasar pijakan bisa ditafsirkan mengeliminasi hak warga untuk berkreasi dan dipersepsikan represif.

Idealnya, pola yang bersifat deduktif layak dijadikan dasar pengambilan keputusan untuk memberikan atau menolak pemberian izin atas aktivitas tertentu. Berangkat dari sifat kasuistik sejatinya dapat diuniversalkan dengan kadar homogenitas akomodasi masyarakat terhatap sebuah aktivitas.

Konkretnya, ketika aktivitas itu berupa olahraga, seluruh masyarakat disumsikan sudah berintelektual tinggi sehingga tidak perlu ada penundaan atau tepatnya penolakan izin sepak bola. Demikian juga pada aktivitas seperti musik. Mengingat kondisi sosial masyarakat yang sudah semakin rasional, tidak perlu ada pembekuan atau penolakan izin untuk aktivitas musik.

Apa bila hal di atas diterapkan secara konsisten, bisa mengikuti dinamika kreativitas masyarakat dan tercitra lebih sejuk dan bersahabat. Dengan semangat inovasi, marga masyarakat tidak jumud, dan Polri sebagai pengawal perizinan juga tidak jumud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar