|
SUARA
MERDEKA, 25 Januari 2013
ANGELINA Sondakh, terpidana kasus korupsi
di Kemendikbud dan Kemenpora dijatuhi hukuman penjara 4 tahun 6 bulan. Jumlah
hukuman yang tidak sampai setenga
hnya dari tuntutan jaksa KPK yang meminta
vonis 12 tahun penjara.
Dari sisi keadilan vonis,
kita bisa berdebat panjang mengingat rasa adil dan keadilan itu memiliki
sifat cenderung subjektif. Mungkin bagi Angie dan keluarga, hukuman yang
dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta sudah adil. Mungkin juga
bagi sebagian besar orang, putusan majelis hakim tidak adil.
Belum lagi, duit negara
yang disangka dikorupsi hampir Rp 32 miliar, cuma diganjar 4 tahun 6 bulan.
Apalagi, sistem remisi atau pengurangan masa hukuman negeri ini yang tak
terlalu ketat.
Dari hukuman kurang dari 5
tahun itu paling-paling ia menjalani hanya 3 tahun. Rasanya tak adil bagi
rakyat yang sudah dicuri uangnya yang dibayarkan ke negara melalui pajak.
Baiklah, mari kita
tanggalkan dahulu rasa adil dan keadilan yang subjektif. Saya ingin
mendiskusikan satu hal, minimal menurut saya sangat penting dari hiruk-pikuk
vonis Angie, namun kurang terpantau oleh publik atau media. Yakni, dugaan
Angie mengaktifkan twitternya pada saat ditahan di Rutan Pondok Bambu,
Jakarta.
Twitter @SondakhAngelina
mengatakan, ''ini semua hanya permainan
politik dan yang berperan penting semua adalah pejabat tinggi partai, saya
tetap sabar dan berdoa,'' (Indopos, 14/01/13). Begitu kicauan Angie yang
diduga sedang dalam tahanan.
Dari tweet tersebut, yang
ingin saya bincangkan kali ini bukan soal permainan politik yang bagaimana,
atau partai politik apa, ataupun siapakah si elite partai yang ditengarai
bermain dalam kasus yang sedang menjerat Angie, melainkan bagaimana mungkin
Angie-jika benar tweet dari akun @SondakhAngelina itu dioperasikan oleh
Angie-bisa mengetik tweet dari dalam tahanan? Bukankah bila demikian,
kejadian ini adalah perihal serius, yang mungkin luput dari pantauan publik?
Awal 2012, tepatnya 3
Januari 2012, Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham menerbitkan Surat
Edaran Nomor Pas-01.01.04.01 Tahun 2012 tentang Pencegahan dan Penindakan
terhadap Penggunaan Handphone di Lapas, Rutan, dan Cabang Rutan. Angka 3
Huruf b surat edaran tersebut memerintahkan agar blok dan kamar hunian steril
dari telepon genggam (handphone).
Petugas, tahanan/ narapidana, dan siapa pun dilarang membawa dan menggunakan
telepon genggam ke dalam lingkungan blok dan kamar hunian.
Sikap
Tegas
Tahun 2009, Dirjen
Pemasyarakatan juga menerbitkan Surat Edaran Nomor Pas-09.PK.04.01 Tahun 2009
bertanggal 3 Januari 2009 tentang Larangan Penggunaan Handphone di Lapas/Rutan/Cab.
Rutan.
Artinya, dalam jangka 4
tahun diterbitkan dua aturan oleh Dirjen Pemasyarakatan tentang larangan
membawa dan menggunakan telepon genggam di dalam lapas, rutan, dan cabang
rutan. Larangan itu berlaku untuk petugas dan tahanan/ narapidana.
Lalu bagaimana dengan
Angie, atau diduga Angie, menggunakan telepon genggam, padahal posisinya
sedang di dalam rutan Pondok Bambu? Apakah Angie membawa sendiri telepon
genggamnya? Apakah ada petugas membawakan? Apakah ada keluarga atau penasihat
hukum yang membawakan? Bila ada pelanggaran terhadap surat edaran Dirjen
Pemasyarakatan, apa hukumannya?
Mengenai apakah memang
benar Angie yang mengoperasikan twitter @Son-dakhAngelina, belum ada titik
terang.
Katakanlah, jika benar
Angie yang mengoperasikannya, apakah ia atau orang yang memasukkan telepon
genggam Angie ke blok tahanan bisa dihukum?
Konstruksi hukum surat
edaran adalah mengatur ke dalam (internal) dari masing-masing instansi. Surat
edaran yang diterbitkan Dirjen Pemasyarakatan, maka akan berlaku mengikat
bagi subjek yang ada di dalam direktorat itu, dari pusat sampai ke daerah.
Memang tidak ada sanksi
pidana di dalam pelanggaran surat edaran. Namun, apabila ada pelanggaran,
atasan dapat mengusulkan penundaan pangkat dan hak yang diterima oleh bawahan.
Pengawasan terhadap pelaksanaan surat edaran itu harus dilakukan ketat kepada
petugas ataupun tahanan.
Pendek kata, kalau benar
ada petugas main mata dengan tahanan/narapidana yang memasukkan telepon
genggam ke blok Angie, sikap tegas harus diambil oleh atasan.
Hukuman berupa penundaan
pangkat dan pemberian fasilitas, termasuk bonus, remunerasi, harus
dihentikan.
Adapun bagi Angie, kasus
telepon genggam ini jika terbukti, harus menjadi dasar bagi Dirjen
Pemasyarakatan menolak memberikan surat pengantar pemberian remisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar