Jumat, 25 Januari 2013

Mencabut Mahkota Jakarta


Mencabut Mahkota Jakarta
Toeti Prahas Adhitama ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 25 Januari 2013



MENYAKSIKAN tayangan tentang banjir besar yang menyerang Jakarta sungguh memilukan. Kita melihat bagaimana Ibu Kota kehilangan wibawa karena kepungan air; dengan lebih 40 ribu penduduk berhari-hari terkapar memelas di tempattempat pengungsian. Jakarta sedang kena musibah. Seluruh rakyat Indonesia menyaksikan tragedi itu, dibarengi berbagai komentar yang mencoba menganalisis apa yang sedang terjadi dan apa yang bisa dilakukan.

Sebagian secara spiritual berkomentar, inilah takdir yang memberi peringatan: Jakarta sebagai miniatur Indonesia menunjukkan betapa timpangnya penghidupan masyarakat Indonesia. Betapa keangkuhan dan keserakahan penduduk telah mengabaikan lingkungan yang menopang hidup mereka selama berabad-abad.

Tiba-tiba, tanpa dibebani rasa bersalah, tercetus wacana memindahkan ibu kota negara ke lokasi baru. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Jakarta yang sedang sengsara tidak lagi dielu-elukan. Dia ibarat orang menua yang kehilangan kesetiaan pasangan yang memilih tempat berlabuh baru.

Orang agaknya melupakan jasa Jakarta yang sejak awal mendukung bangsa ini membangun negara republik baru setelah ratusan tahun berada di genggam penjajahan. Istana-istananya bisa mengisahkan baik pengalaman para penguasa penjajah maupun mereka yang memimpin negara republik ini; antara lain ikut mendengarkan bagaimana Bung Karno pada awal-awal republik ini mengucapkan pidato menggelegar di depan istana. Bung Karno meneriakkan pekik-pekik merdeka pada tiap akhir pidato untuk memompakan semangat kebangsaan kepada ribuan penduduk yang hadir. Itu sekadar contoh sekelumit peristiwa sejarah Jakarta, di samping ribuan lainnya yang tidak kalah penting.

Kita berarti kehilangan a sense of history bila membiarkan Jakarta kehilangan mahkotanya sebagai ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukan salah kotanya, melainkan hanya karena banjir yang antara lain akibat kecerobohan kita yang tidak mengatur daerah resapan air dan mengurus kondisi sungaisungai yang mengaliri wilayah ini sejak masa silam.

Saksi Sejarah Sejak Masa Silam

Bila kita simak sejarah ibu kota di banyak negara di dunia, umumnya mereka dipertahankan menjadi tonggak dan saksi sejarah. Sebagian berusia berabad-abad, khususnya mereka yang menjadi ibu kota negara-negara tua. Tersebutlah antara lain Roma, ibu kota Italia, yang telah berdiri sekitar 29 abad, sejak abad 8 SM; Kairo, ibu kota Mesir, yang sudah berdiri sekitar 11 abad; London, ibu kota Inggris Raya, semula bernama Londinium, kota jajahan Romawi terpenting di wilayah itu.

Pada abad 3 M, luas wilayah Londinium 120 ha, dengan penduduk sekitar 40 ribu orang. Tujuh belas abad kemudian jumlah penduduk London sekitar 7 juta orang. Dapat kita bayangkan betapa kaya pengalaman kota-kota tersebut setelah menyaksikan pergolakan sejarah negeri masing-masing selama berabad-abad.
Dengan berawal sebagai tempat pemusatan penduduk yang sederhana, dengan segala pahit getirnya kota-kota tersebut telah berkembang luar biasa sampai saat ini. Mereka tentunya pernah pula menjadi pergunjingan pada awal pertumbuhannya, tidak ubahnya seperti Jakarta yang belum tujuh dasawarsa usianya menjadi ibu kota NKRI. Alangkah memelasnya Jakarta bila batal mempertahankan mahkotanya sebagai ibu kota NKRI.

Demi kearifan sejarah, demi a sense of history, dengan kapasitas berpikir maju rakyat Indonesia yang tidak bisa disangsikan, tentunya Jakarta masih bisa diremajakan sehingga kelangsungan hidupnya sebagai ibu kota bisa dipertahankan.

Menua Dalam Keanggunan

Jakarta yang luasnya lebih dari 660 km2, dan yang sekarang berpenduduk tetap mendekati 10 juta jiwa, tergolong salah satu ibu kota terpadat di dunia. Dia bukannya tanpa sejarah masa silam yang mengesankan; seperti yang dijelaskan dalam kata pengantar buku Catatan Seorang Gubernur, yang disiapkan dan diterbitkan Pemprov DKI Jakarta menjelang akhir masa jabatan Gubernur Wiyogo Atmodarminto (alm) pada 1992. Antara lain dikisahkan ketika Fatahillah merebut Bandar Sunda Kelapa dari tangan Portugis pada 22 Juni 1527, dan mengganti nama bandar kecil itu menjadi Jayakarta, yang artinya Kemenangan Akhir. Tentu tidak ada yang mengira bahwa hari kemenangan itu menjadi hari jadi ibu kota NKRI.

Juga dikisahkan, ketika Jan Pieterszoon Coen menjabat Gubernur Jenderal Belanda (1619-1623) dan membangun istana di muara Sungai Ciliwung--daerah yang sekarang disebut Pasar Ikan--tentu dia tidak membayangkan daerah Batavia yang dibangunnya setelah membakar habis perkampungan di muara Ciliwung itu kemudian sangat meluas ke barat, ke timur, dan ke selatan.

Sekitar dua abad kemudian istana gubernur jenderal pun akhirnya pindah ke selatan, ke Rijswijk. Itu merupakan daerah paling cantik di Batavia pada masanya, yang sekarang dinamakan Jalan Veteran dan menjadi tempat pusat pemerintahan NKRI.
Jejak-jejak pendudukan bangsa Portugis, Inggris, dan Belanda tentu membekas pada wajah Kota Jakarta, terutama pada bangunan-bangunan kuno dan tata ruang di bagian lama Kota Jakarta. Sekarang, dengan mencuatnya puluhan gedung pencakar langit, berdesakannya ribuan bangunan tempat tinggal bergaya modern, dan malang melintangnya ratusan jalan darat dan jalan layang, Jakarta yang berciri metropolitan ialah hasil ciptaan bangsa Indonesia sendiri.

Dengan segala pengalaman sejarah dan jerih payah penduduk yang berabad-abad menghidupi dan dihidupinya, tegakah kita mencabut mahkota Jakarta sebagai ibu kota NKRI? Apa akibat mencabut akar kehidupan dan penghidupan 10 juta penduduk tetapnya, dan 1 juta lainnya yang datang di siang hari dari daerah sekitar Jakarta karena tarikan pekerjaan? Meremajakan Kota Jakarta tentu bukan suatu kemustahilan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar