Jumat, 25 Januari 2013

30 Menit di Samping Suu Kyi


30 Menit di Samping Suu Kyi
Ya’qud Ananda Gudban ;  Politik Malang,
Anggota DPRD Kota Malang dari Hanura
JAWA POS, 25 Januari 2013

  
SELAMA dua hari, 15-16 Januari lalu saya mendapat kesempatan berkunjung ke Myanmar untuk menghadiri dua kegiatan penting. Pertama, menjadi pembicara dalam pelatihan bertajuk Women Leading Democracy Building in Myanmar, lokakarya kepada para perempuan Myanmar sebagai persiapan mereka terjun ke politik. Kegiatan tersebut mendapat sambutan anstusias dari para perempuan di negeri tersebut.

Saya diundang sebagai pembicara dalam kapasitas saya sebagai ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia Malang, anggota DPRD, dan ketua partai.                     Workshop digagas oleh dua lembaga donor Wilson Center dan Ratiu Fondation dengan menghadirkan pembicara dari berbagai negara dengan tujuan untuk berkontribusi pada perempuan Myanmar. Ketika pemerintah militer mulai membuka diri, masyarakat mulai antusias untuk ambil peran dalam bidang politik.

Kedua, acara yang paling ditunggu adalah bertemu pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi di rumah dinasnya di ibu kota baru Myanmar, Naypyidaw, untuk menyerahkan award dari dua lembaga donor itu. Meskipun sudah dijadwal, rombongan yang terdiri atas Prof Rangita de Silva de Alwis dari Wilson Center dan Nicolae Ratiu dari Ratiu Fondation dan beberapa tokoh lain belum mendapat kepastian kapan akan bertemu Daw Suu ("daw" bermakna harfiah "bibi" sebagai penghormatan). 

Rombongan tetap berangkat dari Yangoon menuju Naypyidaw (bermakna "singgasana" atau "ibu kota") sejauh 320 km menggunakan bus, karena tidak ada penerbangan antardua kota penting tersebut. Pemerintah Myanmar benar-benar menyiapkan Naypyidaw sebagai ibu kota baru menggantikan Yangon. Kota dengan akses tol itu sangat bagus dengan bangunan indah, penataan lingkungan yang cantik. Meski demikian, kota baru ini masih sepi. 

Setelah menempuh perjalanan sejak pagi sampai sore, rombongan sampai di rumah dinas Daw Suu. Rumah itu dikelilingi pagar tinggi, dilengkapi kawat berduri sebagai pengaman, tidak tampak penjagaan yang ketat. Untuk bisa bertemu tokoh partai NLD Myanmar itu tidak mudah, harus melewati beberapa tahap. Sebenarnya Daw Suu tidak mau menerima penghargaan tersebut karena sudah banyak lembaga yang memberikannya. 

Sebagai orang yang sangat dicintai rakyat Myanmar beliau sebenarnya tidak ingin menjadi ikon bagi mereka. Sosok sederhana itu adalah orang yang terpelajar, karena sebagai anak jenderal dan pendiri Burma, Aung San, beliau menghabiskan pendidikan di Inggris. Mengentaskan bangsanya dari keterbelakangaan merupakan perjuangan lebih berat dibanding yang lain, apalagi pihak junta militer enggan dengan perubahan. Daw Suu khawatir, kalau orang-orang luar banyak memberikan penghargaan kepadanya pemerintah militer akan marah dan menutup celah kebebasan. Makanya, Daw Suu sangat menjaga aktivitasnya agar tidak membuat pemerintah militer naik darah.

Setelah menunggu beberapa waktu, rombongan mendapat kepastian diterima Daw Suu setelah dubes Jepang. Itu pun tidak semua rombongan yang berjumlah 50 orang bisa masuk. Pihak ring satu penjaga Daw Suu hanya mengizinkan tujuh orang. Tentu saja Prof Rangita dan Nicolae Ratiu mendapat prioritas karena akan menyerahkan award kepada Daw Suu, sementara yang lain diseleksi. Alhamdulillah, saya termasuk yang terpilih untuk bisa bertemu tokoh yang sangat dicintai rakyat Myanmar tersebut. Saya berdebar. Tokoh ini sangat istimewa, memenangkan Nobel Perdamaian karena perjuangan politik dengan kesabaran panjang dan tanpa kekerasan. 

Saya sudah mengadakan kunjungan ke berbagai negara.Tapi, kunjungan ke Myanmar dan bertemu Daw Suu sangat berbeda. Sebelum masuk, kami bertanya kepada penjaga, bagaimana kami memberi salam, apakah dengan jabat tangan atau tidak. Akhirnya disepakati memberi hormat seperti orang menyembah. Saat yang ditunggu akhirnya tiba, kami masuk ke ruang kerja Daw Suu.

Kami semua merasa takjub saat kali pertama menatap Daw Suu. Menurut pandangan saya, dia sangat cantik meskipun di usia yang sudah tidak muda (lahir 1945). Wajahnya menabur senyum memesona dengan kulit bersih. Pakaian yang dikenakan sangat serasi dengan tubuhnya yang langsing, mengesankan keanggunan yang luar biasa. Prof Rangita yang berada di depan mendapat kesempatan pertama memberi salam dengan penuh hormat, membungkukkan badan cukup lama. Sementara yang lain hanya memberikan isyarat seperti menyembah. Tapi, giliran saya, justru Daw Suu mengulurkan tangan untuk mengajak bersalaman. Saya menyambutnya dengan gemetar. 

Penyerahan award dari dua lembaga pun dilakukan. Setelah itu Daw Suu memberikan sambutan yang tidak terlalu panjang. Beliau mengatakan perlunya kerja sama antarnegara, terutama dalam situasi berat seperti yang dialami Myanmar saat ini. Dukungan dan bantuan negara-negara sahabat sangat dibutuhkan untuk memperbaiki keadaan di negaranya. Sambutannya memang tak ada sesuatu yang mengentak.

Saat tahu bahwa saya dari Indonesia, Daw Suu mengutarakan keinginannya untuk berkunjung ke Indonesia dan negara-negara ASEAN. Selama setengah jam acara itu diadakan, saya selalu berada di samping perempuan anggun tersebut. Dengan penuh perhatian beliau melihat pakaian yang saya kenakan. Saya katakan ini batik, kain khas Indonesia. Beliau tampak kagum dan senang sambil mengelus pundak saya. 

Inilah momen 30 menit tak terlupakan dalam hidup saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar