|
SINAR
HARAPAN, 25 Januari 2013
Jakarta masih dalam
suasana berkabung. Banjir telah membawa bencana, tak sekadar kerugian materi,
tapi juga nyawa manusia. Banjir telah menjadi tragedi. Banjir bukan peristiwa
alam yang sama sekali nihil prediksi.
Dalam sejarah Batavia
hingga Jakarta modern, daerah Ibu Kota memang selalu punya catatan peristiwa
banjir. Bahkan setiap musim penghujan banjir Jakarta sudah bisa dipastikan
terjadi. Tapi sayang penanganannya selalu cenderung accidental. Pemerintah
belum benar-benar mahir dalam merumuskan pembangunan berkelanjutan. Itu salah
satu persoalan kenapa banjir berujung tragedi.
Tragedi banjir merupakan sebuah peristiwa alam yang cukup tegas memberikan kritik atas pola pembangunan. Terlepas banjir Jakarta adalah banjir kiriman atau luapan sungai, kenyataan tersebut merupakan kelemahan pemerintah dalam mengembangkan pola pembangunan lingkungan.
Kepentingan pasar dan
urbanisasi dibiarkan berkembang tanpa perhitungan dampak lingkungan. Sebut
saja misalnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak kunjung berhasil
memenuhi kewajiban proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30 persen
berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Meretas Pertanian Kota Jika pemerintah patuh terhadap amanat undang-undang tersebut, banjir mungkin dikendalikan. Proposi ruang hijau bisa dimanfaatkan untuk dibangun konsep pembangunan sektor pertanian kota.
Baumgartner dan Belevi
(2007), secara sederhana mendefinisikan konsep pertanian kota (Urban agriculture) sebagai usaha tani,
pengolahan, dan ditribusi dari berbagai komoditas pangan, termasuk sayuran
dan peternakan di dalam atau pinggir kota di daerah perkotaan.
Sektor pertanian untuk
wilayah Ibu Kota nyaris tak terpikirkan. Ini karena orientasi pembanguan
Jakarta hanya bertumpu pada pembangunan sektor jasa dan industri.
Kecenderungan pembangunan Jakarta yang berorientasi pada sektor jasa dan industri jelas merupakan kepentingan korporat dan pasar yang bernafaskan kapitalisme. Urbanisasi menjadi konsekuensi yang tak akan mudah dikendalikan. Banjir adalah kritik alam atas itu semua.
Itulah kenyataan yang
dikritik keras oleh Fritjof Capra (2002), bahwa ketika napas kapitalisme
terus berdetak kencang, alam dan manusianya akan semakin terdesak pengap.
Ideologisasi pembangunan yang berbasis pro
poor dan pro job seperti konsep
pertanian kota perlu sebagai alternatif.
Dari tahun ke tahun, Jakarta semakin mengalami penyusutan lahan. Pemerintah kehilangan cara berpikir pembangunan opsional sektor, baik untuk pengembangan ekonomi atau kelestarian lingkungan. Sektor pertanian sama sekali lenyap dari ingatan pemerintah untuk dikembangkan di wilayah Jakarta.
Padahal Jakarta masih
memungkinkan untuk dibuka lahan pertanian. Jakarta dibangun menjadi kota
hijau, dengan konsep pertanian kota. Pemerintah bisa berkaca pada Amsterdam,
London, Stockhol, Berlin, Montreal, dan New York. Mereka telah menjadikan
konsep pertanian kota sebagai perencanaan pembangunannya.
Belum Dilirik Dari data Dinas Pertanian tahun 2002, di Jakarta hampir 17 persen wilayahnya, atau seluas 11.240 hektare, dipergunakan sebagai lahan pertanian. Dari lahan seluas itu, 2.845 hektare adalah lahan sawah dan 8.395 hektare sisanya tanah darat. Pada 2005 terdata ada sekitar 20.000 orang bekerja di sektor pertanian. Potensi itu sepi dari perhatian pemerintah untuk dikelola lebih serius.
Jika kenyataan itu
dikelola dengan terencana maka akan ada implikasi kebijakan yang serius untuk
menata sistem irigasi, di mana pada tahap selanjutnya bisa dikembangkan
sebagai pengendalian banjir. Tiga hal, antara banjir, irigasi dan sektor
pertanian memiliki hubungan yang dekat, bahkan bersangkut-paut.
Konsep pertanian kota tidak sekadar akan berimplikasi pada pengendalian banjir. Tapi akan mendorong penyebaran pusat ekonomi ke daerah di luar Jakarta. Urbanisasi akan lebih mudah untuk dikendalikan.
Di lain pihak akan
berimplikasi pada desakan penguatan otonomi daerah. Kesediaan pemerintah
untuk melirik konsep pembangunan pertanian kota adalah pola pembangunan
alternatif untuk Jakarta. Setidaknya sebagai langkah awal untuk merancang
pembangunan Ibu Kota yang bersifat berkelanjutan.
Secara kalkulasi sektor kerja, penguatan sektor pertanian akan menjadi sektor kerja alternatif bagi masyarakat Jakarta. Hal itu terungkap dari riset Ning Purnomohadi, pakar lingkungan Universitas Indonesia (UI), “Pertanian Kota sebagai Sebuah Strategi Alternatif untuk Menghadapi Krisis Ekonomi”.
Bahwa sektor pertanian
di Jakarta sempat berkembang menyusul krisis ekonomi yang mulai menerpa
Indonesia sejak paruh akhir 1997. Ketika itu ribuan orang kehilangan
pekerjaan formal. Temuan itu sama sekali tak memberikan pengaruh terhadap
kepekaan pemerintah untuk membangun Jakarta dengan konsep pembangunan
pertanian kota.
Menurut Rohman
Yuliawan (Pertanian Dibalik Gemerlap
Jakarta; 2009), luas lahan pertanian di Jakarta mengalami penyusutan
drastis. Salah satunya karena adanya kebijakan pemerintah untuk memperlebar
badan-badan sungai untuk mengantisipasi banjir. Petak-petak pertanian di
bantaran sungai pun ikut tergusur.
Misalnya, petak-petak
tanah yang ditanami sayuran di sepanjang saluran banjir kanal, dari wilayah
Jakarta Timur hingga Jakarta Pusat, digusur untuk perluasan aliran saluran
pencegah banjir yang konon juga akan dimanfaatkan untuk jalur angkutan air.
Pengendalian banjir tidak disertai kebijakan yang bersifat memberdayakan
secara sosial dan ekonomi.
Dari konteks tersebut, tidak terlalu keliru jika banjir dilihat sebagai konsekuensi dari ketidakpekaan pemerintah dalam merespons nasib hidup “masyarakat pinggiran”. Pemerintah kecolongan untuk merumuskan pembangunan yang pro poor dan pro job. Isu pembangunan Jakarta sepi dalam merespons nasib masyarakat kecil.
Artinya, di satu sisi
banjir mencerminkan sebuah kritik atas pola pikir perencanaan pembangunan
yang selama ini dikembangkan oleh pemerintah. Di sisi lain, tragedi banjir
merupakan momentum mengevaluasi pola pikir perencanaan pembangunan.
Setidaknya, pertanian kota merupakan wacana alternatif di tengah wacana
pemindahan kota. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar