|
SUARA
MERDEKA, 25 Januari 2013
"Dengan 10 partai peserta Pemilu 2014 saja sebenarnya telah
memberangus hak-hak demokrasi di daerah"
KETERCIPTAAN sistem multipartai sederhana
akhirnya terwujud melalui Pemilu 2014. Verifikasi faktual KPU terhadap 34
parpol hanya menyisakan 10 partai untuk berkontestasi dalam pemilu mendatang.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu mensyaratkan seluruh partai
harus lolos verifikasi faktual di tingkat provinsi, dan untuk lolos di
tingkat provinsi mensyaratkan setidaknya lolos di 75% tingkat kabupaten/kota,
dan untuk lolos di tingkat kabupaten/kota harus mempunyai kepengurusan
minimal 50% dari jumlah kecamatan.
Tampaknya, pengaturan ini efektif untuk
menyeleksi partai peserta pemilu. Nantinya, partai-partai itu masih diadang
’’seleksi’’ parliamentary threshold
(PT), jika perolehan suara atau kursi di DPR tidak mencapai 3,5% dalam
pemilu, partai ter-sebut tidak berhak mendudukkan caleg terpilihnya di
parlemen.
Artinya, Pemilu 2014 adalah starting point menciptakan sistem
multipartai sederhana, diharapkan pada pemilu berikutnya sistem multipartai
akan makin sederhana. Idealnya, jumlah partai peserta pemilu hanya 3-5, yang
mewakili ideologi (1) nasionalis-tradisional; (2) nasionalis-progresif; dan
(3) partai (berbasis) Islam.
Namun, sebenarnya ada dilema dalam sistem
multipartai sederhana tersebut. Di satu pihak, sistem ini dibutuhkan dalam
rangka memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Praktik sistem
pemerintahan kita masih belum jelas, apakah presidensial atau parlementer,
terutama melihat sistem kepartaiannya.
Menurut Janedjri M Ghaffar (2009), dari
satu sisi, sistem yang dikembangkan memenuhi ciri-ciri sistem presidensial,
tetapi di sisi lain, jika dilihat dari sistem kepartaian yang multipartai,
hal itu lebih dekat dengan sistem parlementer. DPR juga dipandang memiliki
kekuasaan yang lebih besar dan sering memasuki wilayah pemerintah.
Sistem multipartai bukanlah perangkat
efektif pendukung sistem presidensial. Sistem ini tidak memungkinkan suatu
partai memenangi pemilu secara mutlak, atau menguasai parlemen. Dukungan
parlemen juga tidak tepat jika kemudian dibentuk koalisi partai seperti yang
dipraktikkan saat ini. Karena, partai yang bergabung dalam koalisi
sejatinya tidak secara murni mendukung presiden, kecuali hanya untuk tujuan
pragmatis kekuasaan.
Pada pihak lain, sistem multipartai
sederhana memberangus hak-hak demokrasi di tingkat lokal, dan dapat mengancam
persatuan bangsa. Heteroginitas bangsa ini telah menjadi semacam taken for
granted, bahkan menjadi salah satu pilar negara. Mematikan berbagai
kepentingan politik lokal, menjadi bagian yang bertentangan dengan
konstitusi.
Dengan 10 partai politik peserta Pemilu
2014 ini saja sebenarnya juga telah memberangus hak-hak demokrasi di daerah.
Partai semacam Partai Damai Sejahtera (PDS) dan Partai Demokrasi Kebangsaan
(PDK) telah dikebiri secara nasional, padahal dua partai tersebut cukup besar
di Indonesia timur.
Partai Lokal
Lantas, kebijakan apa yang mesti diambil,
yang dapat mengakomodasi kepentingan nasional, yakni memantapkan sistem
pemerintahan presidensial, tanpa harus mengebiri hak-hak demokrasi di daerah?
Perlu ada legitimasi hukum melalui UU akan kehadiran partai lokal,
sehingga tercipta sistem kepartaian tingkat nasional dan lokal.
Nantinya pemilu diikuti oleh partai nasional dan lokal, seperti dipraktikkan
di Daerah Istimewa Aceh Nanggroe Darussalam saat ini.
Hal ini mesti menjadi salah satu agenda
pemerintahan hasil Pemilu 2014. Parliamentary
threshold (PT) agar semakin ditingkatkan untuk partai nasional, hingga
tercipta penyederhanaan partai secara alamiah untuk mendukung sistem
pemerintahan presidensial yang efektif dan stabil. Untuk tingkat lokal, juga
perlu ada PT agar tercipta penyederhanaan partai. Dalam rangka efesiensi
anggaran, pemilu serentak perlu dilaksanakan.
Hal yang kemudian menjadi urgen, setelah
terbentuk sistem kepartaian tingkat nasional dan lokal, pemilu serentak perlu
dilaksanakan. Pemilu nasional dalam rangka memilih presiden-wakil
presiden, anggota DPR dan DPD. Pemilu lokal memilih gubernur-wakil gubernur,
anggota DPRD provinsi, bupati/wali kota-wakil bupati/wali kota, dan anggota
DPRD kabupaten/kota.
Pemilu legislatif nasional hanya diikuti
partai tingkat nasional, sedangkan pemilu lokal legislatif diikuti oleh
perwakilan partai nasional di daerah dan partai lokal.
Setidak-tidaknya ada empat keuntungan yang
bisa diambil. Pertama; terjadi efisiensi anggaran yang luar biasa
besar. Kedua; tahun politik hanya akan berkonsentrasi pada tahun
tertentu, sehingga energi bisa digunakan untuk hal lain yang langsung
bersentuhan dengan rakyat.
Ketiga; partai politik dapat berkonsolidasi
secara ideologis, sekaligus pengaderan bisa berjalan. Selama ini, khususnya
di tingkat DPP, partai selalu disibukkan dengan rekomendasi calon dalam
pilkada. Jika dirata-rata secara nasional, tiap 8 hari ada pilkada.
Keempat; memudahkan perencanaan program
pembangunan secara berkelanjutan. Dengan periodisasi yang sama, akan
mempermudah koordinasi, sinkronisasi, dan pencapaian target. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar