Jumat, 25 Januari 2013

Dilema Sistem Multipartai Sederhana


Dilema Sistem Multipartai Sederhana
Thontowi Jauhari ;  Alumnus Magister Ilmu Politik Undip, Anggota DPRD Boyolali
SUARA MERDEKA, 25 Januari 2013



"Dengan 10 partai peserta Pemilu 2014 saja sebenarnya telah memberangus hak-hak demokrasi di daerah"

KETERCIPTAAN sistem multipartai sederhana akhirnya terwujud melalui Pemilu 2014. Verifikasi faktual KPU terhadap 34 parpol hanya menyisakan 10 partai untuk berkontestasi dalam pemilu mendatang. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu mensyaratkan seluruh partai harus lolos verifikasi faktual di tingkat provinsi, dan untuk lolos di tingkat provinsi mensyaratkan setidaknya lolos di 75% tingkat kabupaten/kota, dan untuk lolos di tingkat kabupaten/kota harus mempunyai kepengurusan minimal 50% dari jumlah kecamatan.

Tampaknya, pengaturan ini efektif untuk menyeleksi partai peserta pemilu. Nantinya, partai-partai itu masih diadang ’’seleksi’’ parliamentary threshold (PT), jika perolehan suara atau kursi di DPR tidak mencapai 3,5% dalam pemilu, partai ter-sebut tidak berhak mendudukkan caleg terpilihnya di parlemen.

Artinya, Pemilu 2014 adalah starting point menciptakan sistem multipartai sederhana, diharapkan pada pemilu berikutnya sistem multipartai akan makin sederhana. Idealnya, jumlah partai peserta pemilu hanya 3-5, yang mewakili ideologi (1) nasionalis-tradisional; (2) nasionalis-progresif; dan (3) partai (berbasis) Islam.

Namun, sebenarnya ada dilema dalam sistem multipartai sederhana tersebut. Di satu pihak, sistem ini dibutuhkan dalam rangka memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Praktik sistem pemerintahan kita masih belum jelas, apakah presidensial atau parlementer, terutama melihat sistem kepartaiannya.

Menurut Janedjri M Ghaffar (2009), dari satu sisi, sistem yang dikembangkan memenuhi ciri-ciri sistem presidensial, tetapi di sisi lain, jika dilihat dari sistem kepartaian yang multipartai, hal itu lebih dekat dengan sistem parlementer. DPR juga dipandang memiliki kekuasaan yang lebih besar dan sering memasuki wilayah pemerintah.

Sistem multipartai bukanlah perangkat efektif pendukung sistem presidensial. Sistem ini tidak memungkinkan suatu partai memenangi pemilu secara mutlak, atau menguasai parlemen. Dukungan parlemen juga tidak tepat jika kemudian dibentuk koalisi partai seperti yang dipraktikkan saat ini. Karena,  partai yang bergabung dalam koalisi sejatinya tidak secara murni mendukung presiden, kecuali hanya untuk tujuan pragmatis kekuasaan.

Pada pihak lain, sistem multipartai sederhana memberangus hak-hak demokrasi di tingkat lokal, dan dapat mengancam persatuan bangsa. Heteroginitas bangsa ini telah menjadi semacam taken for granted, bahkan menjadi salah satu pilar negara. Mematikan berbagai kepentingan politik lokal, menjadi bagian yang bertentangan dengan konstitusi.

Dengan 10 partai politik peserta Pemilu 2014 ini saja sebenarnya juga telah memberangus hak-hak demokrasi di daerah. Partai semacam Partai Damai Sejahtera (PDS) dan Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) telah dikebiri secara nasional, padahal dua partai tersebut cukup besar di Indonesia timur.

Partai Lokal

Lantas, kebijakan apa yang mesti diambil, yang dapat mengakomodasi kepentingan nasional, yakni memantapkan sistem pemerintahan presidensial, tanpa harus mengebiri hak-hak demokrasi di daerah? Perlu ada  legitimasi hukum melalui UU akan kehadiran partai lokal, sehingga tercipta sistem kepartaian tingkat nasional dan  lokal. Nantinya pemilu diikuti oleh partai nasional dan lokal, seperti dipraktikkan di Daerah Istimewa Aceh Nanggroe Darussalam saat ini.

Hal ini mesti menjadi salah satu agenda pemerintahan hasil Pemilu 2014. Parliamentary threshold (PT) agar semakin ditingkatkan untuk partai nasional, hingga tercipta penyederhanaan partai secara alamiah untuk mendukung sistem pemerintahan presidensial yang efektif dan stabil. Untuk tingkat lokal, juga perlu ada PT agar tercipta penyederhanaan partai. Dalam rangka efesiensi anggaran, pemilu serentak perlu dilaksanakan.

Hal yang kemudian menjadi urgen, setelah terbentuk sistem kepartaian tingkat nasional dan lokal, pemilu serentak perlu dilaksanakan. Pemilu nasional  dalam rangka memilih presiden-wakil presiden, anggota DPR dan DPD. Pemilu lokal memilih gubernur-wakil gubernur, anggota DPRD provinsi, bupati/wali kota-wakil bupati/wali kota, dan anggota DPRD kabupaten/kota.

Pemilu legislatif nasional hanya diikuti partai tingkat nasional, sedangkan pemilu lokal legislatif diikuti oleh perwakilan partai nasional di daerah dan partai lokal.
Setidak-tidaknya ada empat keuntungan yang bisa diambil. Pertama; terjadi efisiensi anggaran yang luar biasa besar.  Kedua; tahun politik hanya akan berkonsentrasi pada tahun tertentu, sehingga energi bisa digunakan untuk hal lain yang langsung bersentuhan dengan rakyat.

Ketiga; partai politik dapat berkonsolidasi secara ideologis, sekaligus pengaderan bisa berjalan. Selama ini, khususnya di tingkat DPP, partai selalu disibukkan dengan rekomendasi calon dalam pilkada. Jika dirata-rata secara nasional, tiap 8 hari ada pilkada.

Keempat; memudahkan perencanaan program pembangunan secara berkelanjutan. Dengan periodisasi yang sama, akan mempermudah koordinasi, sinkronisasi, dan pencapaian target.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar