|
SUARA
KARYA, 25 Januari 2013
Konflik antarkelompok
yang dipicu oleh perbedaan nilai, sikap dan kepercayaan, kembali mengoyak
harmonisasi kehidupan masyarakat. Sumbawa sebagai salah satu basis pluralisme
di Indonesia Timur juga terkoyak oleh pertikaian antar kelompok dalam jerat
SARA yang membahayakan integrasi nasional.
Secara esensial,
konflik antar-kelompok yang tidak menghiraukan nilai kebersamaan merupakan
persoalan serius bangsa yang mengancam fondasi kebhinekaan. Oleh sebab itu,
untuk mencegah ataupun meminimalisir konflik, para elite dalam kekuasaan
negara, bukan hanya mengeksplorasi kecaman dengan berpijak pada aspek
legal-formal, tetapi harus mengedepankan strategi komunikasi berbasis empati
terhadap kelompok masyarakat yang memiliki sejumlah karakter berbeda.
Namun, persoalannya,
dalam menyikapi konflik antarkelompok, justru komunikasi para elite dalam
tubuh kekuasaan, jauh dari sikap mengedepankan empati dalam kemajemukan.
Justru yang dilakukan adalah menyalahkan pihak yang kalah atau mereka yang
berbeda dengan karakteristik mayoritas sebagai sebagai biang keladi konflik
maupun keberingasan massa.
Padahal menurut Melvin
Urofsky (2001: 5), dalam menegakkan demokrasi dan menjaga kemajemukan,
me-lindungi hak mereka yang terpinggirkan dan minoritas, harus tumbuh dari
empati ataupun kehendak mayoritas dalam masyarakat. Penyejajaran kedudukan
adalah bagian penting dari perkembangan demokrasi universal yang menghargai
toleransi.
Semangat untuk menjadi
makin inklusif dan mengulurkan tangan pada mereka yang memiliki keyakinan
dasar tidak sehaluan dengan kelompok mayoritas, bukan hanya melindungi
terhadap perlakuan semena-mena, namun harus memberikan kesempatan untuk
berpartisipasi dalam semua bidang kehidupan yang setara, sebagai warga negara
yang memiliki kesamaan hak serta tanggung jawab terhadap kemajemukan.
Empati
Dalam upaya memba-ngun
harmonisasi hubungan antarkelompok, menge-depankan empati merupakan sumber
kekuatan hu-bungan integratif di ling-kungan masyarakat majemuk. (Samovar,
Porter dan Jain, 2005) Mencaci, menya-lahkan kelompok lain dari sisi negatif
pada ruang-ruang publik, adalah amunisi yang dapat mendorong munculnya
konflik yang menjurus kepada keberingasan massa.
Sebaliknya, dengan
menggunakan komunikasi empati, yang memposisikan seandainya mereka yang
berbeda adalah 'kelompok saya', maka perbedaan nilai, sikap dan kepercayaan
justru menjadi kekuatan dalam mencapai kesejahteraan. Dengan demikian, sudah
sepantasnya jika para pemilik otoritas dalam pemerintahan, menjalankan
komunikasi yang mengeksplorasi empati terhadap kelompok berbeda nilai, sikap
dan kepercayaan.
Memang tidak mudah
mengedepankan empati, sebab mereka yang seharusnya bertanggung jawab terhadap
terjaganya pluralisme, malah terjerat oleh politisasi agama, etnis dan
semangat sub-nasional, yang menafsirkan empati sebagai bentuk 'kekalahan'
menghadapi kelompok lain. Bahkan lebih mengkhawatirkan lagi, perilaku empati
terhadap keberagaman disejajarkan dengan tindakan membela kelompok lain yang berbahaya
bagi pelembagaan nilai-nilai individual yang bersifat sektarian.
Mengutip pendapat
Bennet (1979) bahwa empati adalah kejujuran diri sendiri dalam komunikasi
antarkelompok yang memiliki karakter tidak sama. Berempati bukan berarti
kehilangan jati diri yang mengabaikan norma yang diyakini secara individual
maupun kelompok, tetapi hanya penundaan sementara terhadap identitas diri,
dari atri-but egosentris demi menghargai pihak lain.
Sejalan dengan itu,
Hall (1967) juga menyatakan, individu berada dalam gelembung busa sabun yang
selalu melekat dalam komunikasi dengan pihak lain tanpa kehilangan ruang
privat yang memiliki batas jelas. Dengan kata lain, komunikasi yang empati
merupakan ekspresi dari kejujuran penghargaan terhadap diri sendiri untuk
menyesuaikan dengan tuntutan kehidupan masyarakat majemuk yang memiliki
keragaman perilaku sosial ekonomi dan politik.
Menyikapi kondisi
tersebut, yang menjadi pertanyaan, apakah para elite di tubuh pemerintahan
yang pada umumnya terkooptasi oleh belenggu kekuatan politik praktis,
bersedia mengedepankan empati ketika nafsu berkuasa dalam aroma pencitraan,
dipakai untuk menarik dukungan massa. Jawabnya tentu teramat langka elite
birokrasi 'yang bermain politik' mau berempati secara jujur kepada mereka
yang minoritas dan tidak menjanjikan dukungan politik.
Kalaupun komunikasi
empati mewarnai blantika retorika para elite, semata-mata dalam bingkai
formal yang tidak membumi. Jelas ini tidak sejalan dengan tindakan ideal,
yang mensyaratkan bahwa, pesan empati untuk menjaga toleransi dalam
kemajemukan harus dititikberatkan di lingkungan komunitas sendiri, bukan di
ruang publik yang heterogin. Aksioma komunikasi menegaskan, komunikasi empati
dan pesan toleransi dalam koridor 'homogenitas' jauh lebih efektif untuk
diterima anggota kelompoknya, karena ada kejujuran, kelugasan dan jauh dari
dramaturgi pencitraan.
Namun yang menjadi
persoalan, jerat politik 'kuantifikasi' dalam kontestasi memburu kekuasaan lokal
maupun nasional, menunjukkan bahwa elite telah gagal membangun komunikasi
yang empati terhadap mereka yang berbeda dan minoritas. Akibatnya, konflik
antar kelompok dalam nuansa perbedaan nilai, sikap dan kepercayaan terus
terjadi dan semakin memarginalkan fondasi keanekaragaman masyarakat dalam
kehidupan bernegara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar